Sempat muncul polemik di kalangan jurnalis di Aceh, rancangan Qanun Penyiaran Aceh yang digagas Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh, kini mulai menemui titik terang. Tanpa melibatkan wartawan/jurnalis, rancangan Qanun yang dibuat secara sepihak oleh KPID Aceh mulai mendapat penolakan, termasuk dari kalangan aktivis pro-demokrasi.
Rancangan pasal-pasal dalam draf Qanun tersebut dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan pers yang termaktub dalam UU No.40 Tahun 1999. Dalam UU yang lahir pascareformasi, sudah melarang dan menghapus soal penyensoran terhadap karya jurnalistik.
Dalam diskusi yang bertema "Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman?" di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Rabu (26/5), Ade Armando, Koordinator Isu Penyiaran Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), menuturkan draf Qanun tersebut tidak sejalan bahkan bertentangan dengan UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Rancangan pasal-pasal dalam draf Qanun tersebut dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan pers yang termaktub dalam UU No.40 Tahun 1999. Dalam UU yang lahir pascareformasi, sudah melarang dan menghapus soal penyensoran terhadap karya jurnalistik.
Penolakan dan resistensi sejumlah kalangan terhadap draf Qanun tersebut wajar terjadi. Karena, kalau dilihat dari isinya, draf Qanun tersebut bisa menghambat kebebasan pers di Aceh, serta akan mendatangkan resistensi secara luas terhadap Qanun tersebut. Padahal, kita berharap, setiap rancangan Qanun yang dibuat harus terlebih dulu disosialisasikan serta harus melibatkan pihak-pihak terkait untuk meminta masukan. Sehingga nantinya tidak muncul penolakan seperti yang terjadi sekarang ini.
Ada sejumlah isi, yang mengundang penolakan seperti, larangan bagi lembaga penyiaran menayangkan fitur, berita investigasi, film dokumenter, sinetron, lagu, musik, iklan, bahkan kuis sekali pun yang tidak berkepentingan mengajarkan agama Islam; larangan bagi lembaga penyiaran menyajikan siaran tentang valentine, rekonstruksi pidana, kasus mesum, kekerasan, penggalangan dana, yang tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, termasuk acara yang menjurus ke dakwah agama selain Islam; larangan atas penayangan iklan serta berbagai produk penyiaran yang tidak sesuai dengan nilai Islam; film-film yang akan disiarkan di stasiun televisi yang memiliki nilai siar di Aceh harus disensor dulu dengan lembaga sensor Aceh sebelum dapat disiarkan di wilayah Aceh.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil yang hadir dalam diskusi tersebut menganggap isi draf Qanun justru cenderung menempatkan agama Islam dalam kotak kecil. "Sehingga seolah-olah Islam tidak mampu mengikuti perkembangan global," kata dia.
Pun begitu, Nasir tetap mengapresiasi semangat awal draf Qanun yang dinilai untuk memproteksi Aceh dari siaran-siaran negatif yang merusak. "Isi sebuah kebijakan publik itu seharusnya bukan untuk membatasi tapi untuk mengatasi dan melengkapi," kata Nasir menyarankan.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil yang hadir dalam diskusi tersebut menganggap isi draf Qanun justru cenderung menempatkan agama Islam dalam kotak kecil. "Sehingga seolah-olah Islam tidak mampu mengikuti perkembangan global," kata dia.
Pun begitu, Nasir tetap mengapresiasi semangat awal draf Qanun yang dinilai untuk memproteksi Aceh dari siaran-siaran negatif yang merusak. "Isi sebuah kebijakan publik itu seharusnya bukan untuk membatasi tapi untuk mengatasi dan melengkapi," kata Nasir menyarankan.
Meski Qanun tersebut masih sebatas wacana karena belum masuk dalam program legislasi daerah 2010, kita tetap berharap agar KPID meninjau ulang draf Qanun tersebut serta meminta masukan dari kalangan pers sehingga nantinya Qanun yang dihasilkan benar-benar berkualitas, dan tentu saja tidak mengundang polemik serta penolakan. (HA 270510)
Tags:
editorial