“Baik kebebasan pers maupun kebebasan menyatakan pendapat berada dalam satu paket, yaitu paket kebebasan berekspresi”—Atmakusumah Astraatmadja
Pascareformasi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, ruang kebebasan pers terbuka lebar. Media baik cetak maupun elektronik (termasuk media online) terus bermunculan hingga hari ini. Menerbitkan dan menyiarkan suatu informasi semudah membalik telapak tangan.
Namun, kondisi itu tak selamanya bermakna positif. Karena ada kalanya, ruang kebebasan yang terbuka itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu hanya sekedar mencari keuntungan pribadi dengan menyebarkan berita-berita bohong, fitnah dan juga dunia esek-esek.
Namun, kondisi itu tak selamanya bermakna positif. Karena ada kalanya, ruang kebebasan yang terbuka itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu hanya sekedar mencari keuntungan pribadi dengan menyebarkan berita-berita bohong, fitnah dan juga dunia esek-esek.
Bisa jadi, kalangan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh merancang sebuah Qanun Penyiaran Aceh yang mencoba mengatur soal norma-norma yang harus dihormati oleh kalangan media, terutama media siaran, agar tidak melanggar kekhasan Aceh.
Namun, langkah KPID Aceh itu, tak semulus meloloskan sebuah kebijakan di kampung yang jauh di pedalaman. Kalangan media, terutama kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menentang habis langkah KPID itu. Mereka juga membawa masalah draf Qanun yang dituding menghambat kebebasan pers hingga ke Dewan Pers.
Penolakan itu berangkat dari ketakukan bahwa tidak boleh lagi ada kebijakan yang menghambat kebebasan pers yang sudah dinikmati ini setelah rezim otoriter tumbang. Apalagi saat rancangan draf Qanun Penyiaran Aceh, kalangan pers tidak dilibatkan. Sehingga masukan dan saran dari kalangan media tidak dimasukkan.
Sehingga wajar, jika isi draf Qanun itu, mengundang penolakan keras, sebelum sempat disahkan sebagai Qanun. Ada sejumlah isi, yang berpotensi menghambat kebebasan pers seperti, larangan bagi lembaga penyiaran menayangkan fitur, berita investigasi, film dokumenter, sinetron, lagu, musik, iklan, bahkan kuis sekalipun yang tidak berkepentingan mengajarkan agama Islam; larangan bagi lembaga penyiaran menyajikan siaran tentang valentine, rekonstruksi pidana, kasus mesum, kekerasan, penggalangan dana, yang tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, termasuk acara yang menjurus ke dakwah agama selain Islam; larangan atas penayangan iklan serta berbagai produk penyiaran yang tidak sesuai dengan nilai Islam; film-film yang akan disiarkan di stasiun televisi yang memiliki nilai siar di Aceh harus disensor dulu dengan lembaga sensor Aceh sebelum dapat disiarkan di wilayah Aceh.
Penolakan itu berangkat dari ketakukan bahwa tidak boleh lagi ada kebijakan yang menghambat kebebasan pers yang sudah dinikmati ini setelah rezim otoriter tumbang. Apalagi saat rancangan draf Qanun Penyiaran Aceh, kalangan pers tidak dilibatkan. Sehingga masukan dan saran dari kalangan media tidak dimasukkan.
Sehingga wajar, jika isi draf Qanun itu, mengundang penolakan keras, sebelum sempat disahkan sebagai Qanun. Ada sejumlah isi, yang berpotensi menghambat kebebasan pers seperti, larangan bagi lembaga penyiaran menayangkan fitur, berita investigasi, film dokumenter, sinetron, lagu, musik, iklan, bahkan kuis sekalipun yang tidak berkepentingan mengajarkan agama Islam; larangan bagi lembaga penyiaran menyajikan siaran tentang valentine, rekonstruksi pidana, kasus mesum, kekerasan, penggalangan dana, yang tidak ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, termasuk acara yang menjurus ke dakwah agama selain Islam; larangan atas penayangan iklan serta berbagai produk penyiaran yang tidak sesuai dengan nilai Islam; film-film yang akan disiarkan di stasiun televisi yang memiliki nilai siar di Aceh harus disensor dulu dengan lembaga sensor Aceh sebelum dapat disiarkan di wilayah Aceh.
Padahal, pasal 4 ayat (1) UU No.40/1999 sudah tegas menyatakan, “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”
Bahkan pada pasal 4 ayat (3) dinyatakan, “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Jika media dibatasi, seperti tercermin dalam rancangan Qanun Penyiaran versi KPID, itu menjadi pertanda kebebasan berekspresi dalam ancaman. Tentu saja ini berbahaya. Bukan hanya kalangan media yang dirugikan, melainkan juga masyarakat tidak mendapatkan produk siaran dan pemberitaan yang mencerdaskan, kreatif dan merangsang pencerahan.
Selain itu, pembatasan-pembatasan itu membuat pekerja media takut melahirkan kreativitas. Sehingga berakibat munculnya rasa takut untuk berkarya dan menghasilkan produk jurnalistik yang bernas. Takut berkarya seni, dan juga takut berkarya intelektual, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan tentunya.
Dalam diskusi yang bertema "Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman?" di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Rabu (26/5), Ade Armando, Koordinator Isu Penyiaran Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), menuturkan draf Qanun versi KPID Aceh tidak sejalan bahkan bertentangan dengan UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Rancangan pasal-pasal dalam draf Qanun tersebut dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan pers yang termaktub dalam UU No.40 Tahun 1999. Dalam UU yang lahir pascareformasi itu, sudah melarang dan menghapus soal penyensoran dan pelarangan siaran terhadap karya jurnalistik, seperti dalam pasal 4 ayat (2), “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”
Penolakan dan resistensi sejumlah kalangan terhadap draf Qanun tersebut wajar terjadi. Karena, kalau dilihat dari isinya seperti disinggung di atas, draf Qanun tersebut bisa menghambat kebebasan pers di Aceh, serta akan mendatangkan resistensi secara luas terhadap Qanun tersebut. Padahal, kita berharap, setiap rancangan Qanun yang dibuat harus terlebih dulu disosialisasikan serta harus melibatkan pihak-pihak terkait untuk meminta masukan. Sehingga nantinya tidak muncul penolakan seperti yang terjadi sekarang ini.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil yang hadir dalam diskusi tersebut menganggap isi draf Qanun justru cenderung menempatkan agama Islam dalam kotak kecil. "Sehingga seolah-olah Islam tidak mampu mengikuti perkembangan global," kata dia.
Pun begitu, Nasir tetap mengapresiasi semangat awal draf Qanun yang dinilai untuk memproteksi Aceh dari siaran-siaran negatif yang merusak. "Isi sebuah kebijakan publik itu seharusnya bukan untuk membatasi tapi untuk mengatasi dan melengkapi," kata Nasir menyarankan.
Meski Qanun tersebut masih sebatas wacana karena belum masuk dalam program legislasi daerah 2010, kita tetap berharap agar KPID meninjau ulang draf Qanun tersebut serta meminta masukan dari kalangan pers sehingga nantinya Qanun yang dihasilkan benar-benar berkualitas, dan tentu saja tidak mengundang polemik serta penolakan.
Kita menginginkan agar kebebasan pers yang sudah lahir itu tidak dengan sendirinya kita hambat dan larang, hanya karena kelemahan kita tidak mampu menghasilkan sesuatu yang lebih bagus. Apapun yang terjadi, hendaknya kebebasan pers itu harus selalu dijaga, karena kita tidak mungkin kembali ke zaman rezim otoriter, di mana setiap informasi, siaran atau terbitan harus seizin pemerintah. Padahal, seperti kutipan kata-kata Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers, “Baik kebebasan pers maupun kebebasan menyatakan pendapat berada dalam satu paket, yaitu paket kebebasan berekspresi.” Nah, bagaimana dengan kita sekarang? Apakah kita membiarkan saja pembungkaman itu terjadi, atau kita harus terus melawan! Semua pilihan terpulang pada kita. []
Bahkan pada pasal 4 ayat (3) dinyatakan, “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Jika media dibatasi, seperti tercermin dalam rancangan Qanun Penyiaran versi KPID, itu menjadi pertanda kebebasan berekspresi dalam ancaman. Tentu saja ini berbahaya. Bukan hanya kalangan media yang dirugikan, melainkan juga masyarakat tidak mendapatkan produk siaran dan pemberitaan yang mencerdaskan, kreatif dan merangsang pencerahan.
Selain itu, pembatasan-pembatasan itu membuat pekerja media takut melahirkan kreativitas. Sehingga berakibat munculnya rasa takut untuk berkarya dan menghasilkan produk jurnalistik yang bernas. Takut berkarya seni, dan juga takut berkarya intelektual, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan tentunya.
Dalam diskusi yang bertema "Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman?" di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, Rabu (26/5), Ade Armando, Koordinator Isu Penyiaran Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), menuturkan draf Qanun versi KPID Aceh tidak sejalan bahkan bertentangan dengan UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Rancangan pasal-pasal dalam draf Qanun tersebut dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan pers yang termaktub dalam UU No.40 Tahun 1999. Dalam UU yang lahir pascareformasi itu, sudah melarang dan menghapus soal penyensoran dan pelarangan siaran terhadap karya jurnalistik, seperti dalam pasal 4 ayat (2), “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”
Penolakan dan resistensi sejumlah kalangan terhadap draf Qanun tersebut wajar terjadi. Karena, kalau dilihat dari isinya seperti disinggung di atas, draf Qanun tersebut bisa menghambat kebebasan pers di Aceh, serta akan mendatangkan resistensi secara luas terhadap Qanun tersebut. Padahal, kita berharap, setiap rancangan Qanun yang dibuat harus terlebih dulu disosialisasikan serta harus melibatkan pihak-pihak terkait untuk meminta masukan. Sehingga nantinya tidak muncul penolakan seperti yang terjadi sekarang ini.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil yang hadir dalam diskusi tersebut menganggap isi draf Qanun justru cenderung menempatkan agama Islam dalam kotak kecil. "Sehingga seolah-olah Islam tidak mampu mengikuti perkembangan global," kata dia.
Pun begitu, Nasir tetap mengapresiasi semangat awal draf Qanun yang dinilai untuk memproteksi Aceh dari siaran-siaran negatif yang merusak. "Isi sebuah kebijakan publik itu seharusnya bukan untuk membatasi tapi untuk mengatasi dan melengkapi," kata Nasir menyarankan.
Meski Qanun tersebut masih sebatas wacana karena belum masuk dalam program legislasi daerah 2010, kita tetap berharap agar KPID meninjau ulang draf Qanun tersebut serta meminta masukan dari kalangan pers sehingga nantinya Qanun yang dihasilkan benar-benar berkualitas, dan tentu saja tidak mengundang polemik serta penolakan.
Kita menginginkan agar kebebasan pers yang sudah lahir itu tidak dengan sendirinya kita hambat dan larang, hanya karena kelemahan kita tidak mampu menghasilkan sesuatu yang lebih bagus. Apapun yang terjadi, hendaknya kebebasan pers itu harus selalu dijaga, karena kita tidak mungkin kembali ke zaman rezim otoriter, di mana setiap informasi, siaran atau terbitan harus seizin pemerintah. Padahal, seperti kutipan kata-kata Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers, “Baik kebebasan pers maupun kebebasan menyatakan pendapat berada dalam satu paket, yaitu paket kebebasan berekspresi.” Nah, bagaimana dengan kita sekarang? Apakah kita membiarkan saja pembungkaman itu terjadi, atau kita harus terus melawan! Semua pilihan terpulang pada kita. []
Tags:
Artikel