Di kalender masehi, hari ini tercetak tanggal 4 Desember. Seperti tanggal-tanggal lainnya, 4 Desember bukan sesuatu yang istimewa. Ia berbeda dengan tanggal 29 Februari, misalnya. Sebab, 4 desember tak pernah hilang dalam kalender, sementara 29 Februari, sering hilang dan hanya muncul pada setiap tahun kabisat, setiap 4 tahun sekali (menurut kalender Gregorian).
Tapi, jangan lupa. 4 Desember menjadi begitu istimewa bagi sebagian orang Aceh. 4 Desember tak hanya sebagai penanda (sebuah ideologi), tapi juga pembeda (kita dan mereka). Ada dua batas ideologi yang saling berbeda; ideologi Aceh dan ideologi Indonesia. Kedua ideologi ini, sepanjang 30 tahun lalu saling berlawanan. Keduanya sulit untuk diajak akur.
Namun, pertentangan keduanya meredam dan jadi pasif pasca sebuah kesepakatan damai diteken di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam. Tak ada pihak yang keluar sebagai pemenang atau kalah. Keduanya memilih mundur selangkah sebagai empati atas bencana kemanusiaan, tragedi tsunami. Perang (karena ideologi) pun berhenti.
Pascaperang itu, orang Aceh, diminta agar tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Aceh orang harus bergerak ke depan, jika ingin maju. Disebutkan, jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak akan pernah maju. Mengungkit masa lalu, dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Seruan itu tak hanya disampaikan pemerintah, melainkan juga dari mulut orang-orang yang pernah membela ideologi Aceh mati-matian.
Saya berharap tulisan ini tak dianggap ‘mengungkit masa lalu’ dan kemudian dianggap ‘tak ikhlas menerima perdamaian’. Saya sangat mafhum, jika semua pihak di Aceh sekarang begitu mensakralkan perdamaian. Di mana-mana saya baca spanduk atau pamflet ‘Damai itu indah’. Damai menjadi kata keramat.
Dua hari lalu, melalui jejaring sosial facebook saya menulis, ‘Yogya siap-siap mengobarkan perang dengan RI, Aceh bagaimana?’ Tak pelak status yang hanya saya maksudkan sebagai refleksi ditanggapi beragam. Ada yang meminta saya tak menyulut perang dan merusak suasana damai, yang katanya indah itu. Saya jadi bertanya-tanya, benarkah damai itu indah? Mohon dijawab dalam hati masing-masing.
Lalu, pertanyaannya sekarang, apakah kita tidak boleh lagi mengingat 4 Desember? Jika tak boleh, sungguh betapa berdosakah kita. Bukankah sudah banyak darah yang tumpah bersebab 4 Desember? Kenapa kita harus melupakannya, apalagi jika hanya karena sudah berdamai? Saya tak bisa menerima jika hanya karena mengungkit masa lalu (sejarah) kita langsung disebut tak ikhlas menerima perdamaian. Bukankah sejarah (masa lalu) itu harus diperlakukan dengan sikap ganda yang seimbang seperti diserukan filosof yang paling banyak disalahmengertikan, Friedrich Nietzsche.
Dalam sejumlah bukunya, seperti dikutip Ignas Kleden dalam Menulis Politik; Indonesia Sebagai Utopia (2001), Nietzsche mengingatkan kita bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang, yaitu mengingat dan sekaligus berlupa. Menurutnya, orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat, karena dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang sudah berulangkali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah.
Sebaliknya, sebut Nietzsche, orang yang tak sanggup berlupa juga akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh demikian banyak ingatan akan peristiwa di masa lampau, yang terus menerus mengungkungnya dan menjadikannya tawanan masa silam, yang tak sanggup menerobos keluar dari ingatannya.
Benar seperti kata penulis Zarathrustra, bahwa kita harus memperlakukan sejarah itu secara seimbang. Selain sebagai cermin juga sebagai pengalaman yang cukup berharga. Sehingga tidak terus-menerus mengulang-ulang kesalahan. Masa lalu itu harus dijadikan sebagai patron, bagaimana membentuk masa depan. Hanya saja, kita tak boleh dibuat terlena oleh masa lalu, yang membuat kita menjadi generasi tak produktif.
Tapi, seperti kata Sir Bertrand Russel, pemenang Nobel untuk kesusastraan, bahwa kita memang harus mempelajari (mengingat) sejarah dalam arti kita tidak boleh melupakan masa lalu. Namun, katanya, dalam kenyataan yang lebih sering terjadi adalah sebuah kenyataan pahit bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah!
Kita tentu saja tak ingin disebut sebagai generasi yang tak pernah belajar dari sejarah. Sebab, pada 4 Desember itu banyak sejarah tercipta; sejarah konsistensi sebuah perlawanan dan juga sejarah pengkhianatan. Karena itu, 4 Desember layak dijadikan sebagai titik balik refleksi. Bersebab, 4 Desember, tak lagi hanya sebagai pembeda dua ideologi, melainkan pertanda duka.
Memang, tak cukup sebuah tulisan untuk merekam duka nestapa. Dia membentang dari timur ke barat, utara ke selatan. Dari rumoh geudong di Pidie hingga Rancung Aceh Utara. Dari gampong janda hingga Cot Panglima. Sejarah-sejarah kelam itu tercetak rapi di buku dan ingatan orang Aceh. Tak cukup sekedar dihapuskan bersebab kita sudah berdamai.
Belum lagi menyebut duka sebagai akibat dari pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Berderet luka dan air mata. Tapi sudahlah, biarlah pengalaman duka itu menjadi bukti sejarah saja. Kisah itu memang menjadi ‘seksi’ untuk diceritakan kembali, tapi sama sekali tak enak dijalani dulunya oleh mereka yang menjadi korban.
Kini, terserah bagi kita, bagaimana memperlakukan 4 Desember, tanpa disebut subversif dan separatis. Tanpa mengingat 4 Desember, kita sama sekali buta terhadap apa yang pernah terjadi di Aceh. Jika dulu, saat Aceh masih dibalut konflik, kita selalu disuguhi amanat dari Wali Nanggroe Hasan Tiro, tentang refleksi 4 Desember, dan bisa diakses melalui website GAM, kini hal itu tak pernah terjadi lagi. Wali Nanggroe Hasan Tiro pun sudah tiada. Website GAM (www.asnlf.net) sendiri tak pernah diupdate pasca MoU Helsinki. Bisa jadi pejuang GAM sudah lupa pada website yang pernah jadi medium menyebarkan ideologi Aceh saat konflik dulunya.
Karena itu, sebagai gerakan perlawanan yang memilih berjuang di jalur politik, saya kira, GAM butuh update (pembaruan) lagi. Banyak hal yang perlu dijernihkan dan sebagai medium perenungan: Aceh seperti apa yang ingin kita bentuk di masa depan?
Harian Aceh, Sabtu 4 Desember 2010
Tapi, jangan lupa. 4 Desember menjadi begitu istimewa bagi sebagian orang Aceh. 4 Desember tak hanya sebagai penanda (sebuah ideologi), tapi juga pembeda (kita dan mereka). Ada dua batas ideologi yang saling berbeda; ideologi Aceh dan ideologi Indonesia. Kedua ideologi ini, sepanjang 30 tahun lalu saling berlawanan. Keduanya sulit untuk diajak akur.
Namun, pertentangan keduanya meredam dan jadi pasif pasca sebuah kesepakatan damai diteken di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam. Tak ada pihak yang keluar sebagai pemenang atau kalah. Keduanya memilih mundur selangkah sebagai empati atas bencana kemanusiaan, tragedi tsunami. Perang (karena ideologi) pun berhenti.
Pascaperang itu, orang Aceh, diminta agar tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Aceh orang harus bergerak ke depan, jika ingin maju. Disebutkan, jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak akan pernah maju. Mengungkit masa lalu, dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Seruan itu tak hanya disampaikan pemerintah, melainkan juga dari mulut orang-orang yang pernah membela ideologi Aceh mati-matian.
Saya berharap tulisan ini tak dianggap ‘mengungkit masa lalu’ dan kemudian dianggap ‘tak ikhlas menerima perdamaian’. Saya sangat mafhum, jika semua pihak di Aceh sekarang begitu mensakralkan perdamaian. Di mana-mana saya baca spanduk atau pamflet ‘Damai itu indah’. Damai menjadi kata keramat.
Dua hari lalu, melalui jejaring sosial facebook saya menulis, ‘Yogya siap-siap mengobarkan perang dengan RI, Aceh bagaimana?’ Tak pelak status yang hanya saya maksudkan sebagai refleksi ditanggapi beragam. Ada yang meminta saya tak menyulut perang dan merusak suasana damai, yang katanya indah itu. Saya jadi bertanya-tanya, benarkah damai itu indah? Mohon dijawab dalam hati masing-masing.
Lalu, pertanyaannya sekarang, apakah kita tidak boleh lagi mengingat 4 Desember? Jika tak boleh, sungguh betapa berdosakah kita. Bukankah sudah banyak darah yang tumpah bersebab 4 Desember? Kenapa kita harus melupakannya, apalagi jika hanya karena sudah berdamai? Saya tak bisa menerima jika hanya karena mengungkit masa lalu (sejarah) kita langsung disebut tak ikhlas menerima perdamaian. Bukankah sejarah (masa lalu) itu harus diperlakukan dengan sikap ganda yang seimbang seperti diserukan filosof yang paling banyak disalahmengertikan, Friedrich Nietzsche.
Dalam sejumlah bukunya, seperti dikutip Ignas Kleden dalam Menulis Politik; Indonesia Sebagai Utopia (2001), Nietzsche mengingatkan kita bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang, yaitu mengingat dan sekaligus berlupa. Menurutnya, orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat, karena dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang sudah berulangkali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah.
Sebaliknya, sebut Nietzsche, orang yang tak sanggup berlupa juga akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh demikian banyak ingatan akan peristiwa di masa lampau, yang terus menerus mengungkungnya dan menjadikannya tawanan masa silam, yang tak sanggup menerobos keluar dari ingatannya.
Benar seperti kata penulis Zarathrustra, bahwa kita harus memperlakukan sejarah itu secara seimbang. Selain sebagai cermin juga sebagai pengalaman yang cukup berharga. Sehingga tidak terus-menerus mengulang-ulang kesalahan. Masa lalu itu harus dijadikan sebagai patron, bagaimana membentuk masa depan. Hanya saja, kita tak boleh dibuat terlena oleh masa lalu, yang membuat kita menjadi generasi tak produktif.
Tapi, seperti kata Sir Bertrand Russel, pemenang Nobel untuk kesusastraan, bahwa kita memang harus mempelajari (mengingat) sejarah dalam arti kita tidak boleh melupakan masa lalu. Namun, katanya, dalam kenyataan yang lebih sering terjadi adalah sebuah kenyataan pahit bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah!
Kita tentu saja tak ingin disebut sebagai generasi yang tak pernah belajar dari sejarah. Sebab, pada 4 Desember itu banyak sejarah tercipta; sejarah konsistensi sebuah perlawanan dan juga sejarah pengkhianatan. Karena itu, 4 Desember layak dijadikan sebagai titik balik refleksi. Bersebab, 4 Desember, tak lagi hanya sebagai pembeda dua ideologi, melainkan pertanda duka.
Memang, tak cukup sebuah tulisan untuk merekam duka nestapa. Dia membentang dari timur ke barat, utara ke selatan. Dari rumoh geudong di Pidie hingga Rancung Aceh Utara. Dari gampong janda hingga Cot Panglima. Sejarah-sejarah kelam itu tercetak rapi di buku dan ingatan orang Aceh. Tak cukup sekedar dihapuskan bersebab kita sudah berdamai.
Belum lagi menyebut duka sebagai akibat dari pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Berderet luka dan air mata. Tapi sudahlah, biarlah pengalaman duka itu menjadi bukti sejarah saja. Kisah itu memang menjadi ‘seksi’ untuk diceritakan kembali, tapi sama sekali tak enak dijalani dulunya oleh mereka yang menjadi korban.
Kini, terserah bagi kita, bagaimana memperlakukan 4 Desember, tanpa disebut subversif dan separatis. Tanpa mengingat 4 Desember, kita sama sekali buta terhadap apa yang pernah terjadi di Aceh. Jika dulu, saat Aceh masih dibalut konflik, kita selalu disuguhi amanat dari Wali Nanggroe Hasan Tiro, tentang refleksi 4 Desember, dan bisa diakses melalui website GAM, kini hal itu tak pernah terjadi lagi. Wali Nanggroe Hasan Tiro pun sudah tiada. Website GAM (www.asnlf.net) sendiri tak pernah diupdate pasca MoU Helsinki. Bisa jadi pejuang GAM sudah lupa pada website yang pernah jadi medium menyebarkan ideologi Aceh saat konflik dulunya.
Karena itu, sebagai gerakan perlawanan yang memilih berjuang di jalur politik, saya kira, GAM butuh update (pembaruan) lagi. Banyak hal yang perlu dijernihkan dan sebagai medium perenungan: Aceh seperti apa yang ingin kita bentuk di masa depan?
Harian Aceh, Sabtu 4 Desember 2010
Tags:
Artikel