Gamang dan membingunkan. Mungkin inilah kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi terakhir di tubuh Partai Aceh terkait pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Pilkada Oktober mendatang. Petinggi KPA/PA dalam situasi gamang saat mengusung nama Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf.
Pemunculan nama ini bukan tanpa pertimbangan, melainkan berdasarkan analisa yang cukup matang. Petinggi KPA/PA pasti banyak belajar dari kegagalan paket H2O saat Pilkada 2006 lalu, di mana kandidat yang didukung tidak mendapatkan dukungan dari mantan kombatan GAM di lapangan.
Kita tentu saja berharap, kekuasaan bukan dipandang sebagai tujuan akhir dari perjuangan organisasi yang dibentuk Hasan Tiro ini. Karena tujuan sebenarnya adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan bargaining Aceh dengan Jakarta serta bagaimana menciptakan masyarakat Aceh berdaulat di tanah sendiri.[]
Pemunculan nama ini bukan tanpa pertimbangan, melainkan berdasarkan analisa yang cukup matang. Petinggi KPA/PA pasti banyak belajar dari kegagalan paket H2O saat Pilkada 2006 lalu, di mana kandidat yang didukung tidak mendapatkan dukungan dari mantan kombatan GAM di lapangan.
Jika hanya mengandalkan nama Zaini Abdullah (apalagi) berpasangan dengan calon di luar KPA/PA, sudah pasti pasangan ini akan kalah sebelum bertanding. Diakui, meski menjabat Menteri Luar Negeri GAM, nama Zaini Abdullah tak cukup populer di mata mantan GAM lapangan, kecuali di Pidie. Atas pertimbangan ini, petinggi KPA/PA kemudian memasang nama Muzakkir Manaf untuk menarik dukungan dari mantan GAM di lapangan. Muzakkir sengaja diplot sebagai umpan. Mantan anggota GAM di lapangan pasti akan berpikir seratus kali untuk melawan panglima perang yang dipujanya di masa konflik.
Sementara di sisi lain, munculnya rilis dari Juru Bicara Partai Aceh, Ir Linggadinsyah, yang menolak secara tegas keputusan petinggi PA mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir, tentu saja memunculkan masalah baru: mantan GAM terbelah! Tak pelak, protes secara terbuka dengan mengatasnamakan sejumlah Ketua PA/KPA Wilayah membingunkan masyarakat dan mantan GAM di lapangan.
Polemik itu pun tak berhenti pada siapa yang didukung oleh siapa, melainkan sudah menjurus pada pembunuhan karakter. Jika sebelumnya masyarakat tidak begitu memerdulikan kondisi internal Partai Aceh, maka sekarang akan lain ceritanya. Masyarakat akan segera tahu friksi dan riak-riak kecil di tubuh mantan GAM belum mereda. Belum lagi, Muzakkir Manaf menyebut Ir Linggadinsyah sebagai Juru Bicara haram dalam konferensi Senin (7/2). Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas pernyataan Lingga sebelumnya yang menolak semua hasil keputusan petinggi yang mendukung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf.
Kondisi seperti ini, bukan yang pertama muncul di tubuh mantan GAM pasca MoU Helsinki. Sudah menjadi rahasia umum, jika pasukan GAM di lapangan mulai menyiratkan kekecewaan kepada para pimpinan, dari soal pemerataan kesejahteraan hingga pemaksaan kehendak. Perlawanan secara terbuka terjadi saat Pilkada 2006 lalu. Mayoritas panglima wilayah plus sejumlah petinggi GAM di Luar Negeri menolak keputusan sebagian elite GAM mendukung pasangan Humam-Hasbi (H2O). Sehingga untuk menghindari konfrontasi antara mantan pasukan dengan pimpinan saat itu, diambil sebuah keputusan bijak: GAM tidak mencalonkan diri dalam Pilkada 2006, dan GAM fokus pada Pemilu legislatif 2009.
Bukan tidak mungkin, jika salah diantisipasi, kondisi ini bisa lebih buruk dari kejadian 2006 lalu. Perpecahan di tubuh mantan GAM ini tidak hanya soal dukung mendukung calon gubernur, melainkan menjurus pada pertumpahan darah. Akibatnya, politik dengan warna kekerasan kembali menjadi menu siap saji untuk masyarakat. Padahal, selayaknya, politik bukan arena menumpahkan darah. Masyarakat akan melihat ini sebagai bentuk kerakusan mantan GAM terhadap kekuasaan. Sebagai partai pemenang Pemilu, kiprah para politisi PA cukup mengecewakan masyarakat.
Tags:
editorial