Selasa (15/2), saya menerima beberapa SMS yang isinya hampir sama: soal pengerahan massa, yang katanya, untuk mendukung Irwandi Yusuf sebagai calon Gubernur. Saya tak meresponnya, kecuali memforward kepada sejumlah kawan yang menurut saya penting, sehingga saya bisa mendapatkan sedikit pencerahan.
Maklum, di zaman yang serba politis ini, semua hal bisa saja dipolitisir. Rakyat yang lugu sering jadi korban. Caranya bisa bermacam-macam. Yang lazim kita dengar, rakyat dijebak dengan kegiatan doa bersama, meski pada akhirnya yang ada hanya sebuah ‘doa’ politik.
Maklum, di zaman yang serba politis ini, semua hal bisa saja dipolitisir. Rakyat yang lugu sering jadi korban. Caranya bisa bermacam-macam. Yang lazim kita dengar, rakyat dijebak dengan kegiatan doa bersama, meski pada akhirnya yang ada hanya sebuah ‘doa’ politik.
Tak pelak, hal ini mengundang kecaman, seperti SMS yang saya terima (besar kemungkinan SMS ini sudah duluan beredar dari Hp ke Hp). Berikut beberapa poin yang bisa saya catat dari SMS yang asalnya dari Ardian Desky, mengaku dari Gerakan Mahasiswa Anti Pembodohan (GMAP). Sebagai informasi, saya tak menerima langsung SMS darinya, melainkan mendapati SMS itu atas namanya.
Dalam SMS tersebut, ditulis, Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh) harus bertanggung jawab kepada masyarakat Kota Banda Aceh atas aksi penggalangan massa yang dilakukan melalui Wan DP, karena telah mengusik masyarakat warga Kota Banda Aceh dalam menyambut Maulid Rasul. Irwandi juga diminta bertanggung jawab atas terkatung-katungnya massa peserta aksi. Karena menurut Tgk Sabri, salah satu panitia aksi, mereka ditipu dan dijebak oleh Wan DP karena mereka berangkat untuk doa bersama di Masjid Raya Banda Aceh, nyatanya sampai di Banda Aceh disuruh demo dukung Irwandi dan kantor Partai Aceh yang disebut-sebut untuk menghina petinggi Partai Aceh.
Isi SMS tersebut juga menyebutkan, bahwa pada tanggal 13 Februari 2011, pukul 23.54 Wib, Mahdi Olo (ajudan Irwandi Yusuf) mengantar uang pada Wan DP sebesar Rp700 juta di taman Ratu Safiatuddin, tapi Wan DP hanya memberikan kepada peserta aksi Rp100 ribu per orang untuk biaya konsumsi selama 3 hari; Korlap Aksi Rp80 juta dan uang per mobil Rp1,8 juta yang dijanjikan akan diberikan besok sore jam 17.00 (Selasa, 15/2 hari ini) sebagai trik menahan massa di Banda Aceh. “Ini pembohongan karena sebelumnya dijanjikan Rp10 juta per mobil,” tulis Ardian Desky dalam SMS yang juga dijadikan status sejumlah pengguna Facebook.
“Wahai Bapak Irwandi, sudah cukup memanfaatkan rakyat kecil demi kepentingan pribadi, masyarakat digiring ke Banda Aceh sedangkan bapak di Jakarta bersama anak istri,” sambungnya.
Selain itu, Ardian juga meminta kepada rakyat Aceh untuk tidak terjebak dengan politik pembodohan yang dilakukan Irwandi.
Irwandi Membantah
Lalu, bagaimana tanggapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf terhadap tudingan tersebut? Saat berbicara dengan Murizal Hamzah di Jakarta, Gubernur Irwandi membantah telah menyerahkan Rp700 juta untuk biaya mobilisasi masyarakat dari pantai Barat Selatan ke Banda Aceh. Irwandi menyebutkan, dua hari sebelumnya, Wan DP memberitahukan bahwa ada ribuan pemuda Barat Selatan ke Banda Aceh untuk mendukung dirinya.
“Saya katakan tidak perlu dukungan atau show of force sebab saya yakin dengan diam saja rakyat Aceh memilih saya untuk gubernur ke depan. Saya juga minta rally diurungkan saja,” sebut Irwandi kepada Harian Aceh, Senin (14/2) di Jakarta.
“Ajudan saya tidak mungkin menyerahkan dana sebesar itu kepada pihak rombongan pemuda. Demi Allah tidak pernah menyerahkan uang sepeser pun untuk itu,” ucapnya. Irwandi bahkan balik menuding, bahwa ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan martabatnya sembari menyebut orang yang memfitnahnya berinisial SH. Hal itu, kata mantan penerjemah rilis GAM ini, diketahui berkat teknologi pelacakan dan pemetaan jaringan komunikasi yang canggih.
“Toh suatu ketika calon gubernur yang moralnya seperti itu akan kena batunya juga,” ungkap Irwandi sambil menyebutkan SH ini sebagai calon gubernur.
Saya sendiri cukup geli mencermati politik mobilisasi massa seperti ini. Menurut saya ini politik murahan, semakin menunjukkan bahwa sang pemimpin yang sedang berkuasa sangat haus akan kekuasaan, dan berharap kekuasaan itu lama dalam genggamannya. Segala cara seakan ‘halal’ dilakukan yang penting keiginannya merawat kekuasaan hingga puluhan tahun tercapai.
Tapi saya yakin dan sangat percaya bahwa rakyat Aceh yang sudah cukup berpengalaman ini jarang mau diperlakukan sebagai massa, apalagi massa mengambang.
Lalu, apakah berbeda antara rakyat dan massa? Menjawab ini, saya harus merujuk Eep Saifullah Fattah (2001). Eep membedakan secara nyata dan jelas antara rakyat dan massa. Menurutnya, jika rakyat percaya diri di atas kesepakatan tentang hak dan kewajiban, massa biasanya membangun surplus percaya diri atas nama jumlahnya, dan dengan itu, menularkan virus ketakutan sambil menuntut kepatuhan, bahkan sikap tunduk tekuk lutut.
“Jika rakyat adalah pendesak yang sehat, massa adalah kerumunan besar yang suka bertabiat buruk: meletupkan kekecewaan dan kemarahan lewat teror,” tulisnya. Namun, masalahnya, massa seperti ini kerap dimanfaatkan oleh penguasa untuk menyuarakan kepentingan penguasa.
Ke depan saya yakin, akan semakin banyak muncul politik mobilisasi seperti yang dilakukan ini. Semoga saja rakyat Aceh tak mau selamanya diperlakukan massa, yang bisa digiring ke mana saja, tanpa tahu hakikatnya. Kita ingin merawat demokrasi yang mulai tumbuh ini dengan cara-cara yang sehat dan wajar. Proses demokrasi ini bukan paksaan, dan bukan pula ajang bagi mayoritas untuk menindas dan menunjukkan kekuasaannya. Demokrasi berarti memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyuarakan apa yang diinginkannya.
“Demokrasi kerap tak butuh pemimpin besar, melainkan cukup orang tahu diri,” kata Eep Saifullah Fattah dalam sebuah kolomnya di Republika.[]