Sebelumnya, saya sudah menuliskan beberapa kisah pengalaman saat akhir Juli 2010 lalu berada di Denmark, dan di beberapa Negara yang sempat saya kunjungi. Kali ini, saya akan menceritakan lagi beberapa pengalaman, mungkin juga tak kalah menarik dari cerita sebelumnya.
Awalnya, saya menganggap ini hanyalah pemandangan biasa. Namun, karena hampir di sejumlah tempat pemandangan itu terlihat, saya pun merasa ini pastilah sangat aneh. Saya pun mencoba memperhatikan, terutama setiap melewatinya.
Di beberapa tempat, terutama di pinggir jalan, saya melihat tumpukan barang, benda atau hasil alam yang dijual bebas. Dibiarkan begitu saja tanpa ada orang yang menjaganya. Namun, barang-barang itu tetap aman. Tak pernah hilang dari tempatnya.
Jika ada orang tertarik membeli, mereka cukup membayar sejumlah harga barang yang ingin dibeli. Harga barang sudah tertera pada bungkusan masing-masing barang. (Di tempat kita mungkin hal ini akan kita temukan di mall, mini market atau swalayan). Jika pembeli tak memiliki uang pas, dia bisa mengambil sendiri kembaliannya, biasanya ada di tempat menaruh uang.
Pemandangan seperti ini (tak ada penjual) sebelumnya saya lihat saat pengisian BBM di SPBU. Sang sopir mengisi langsung sejumlah liter yang diinginkannya, tapi terlebih dulu memasukkan sejumlah uang atau menggunakan kartu kredit. Ada beberapa SPBU, setelah kita mengisi bahan bakar, kita membayarnya ke swalayan yang mengelola SPBU tersebut.
“Lihat cara orang Denmark berdagang. Mereka tak perlu seharian menjaga barangan dagangannya, waktu mereka bisa digunakan untuk keperluan lain,” ujar Tarmizi M Yunus, seorang pengungsi politik Aceh yang sudah 6 tahun mendiami Negara yang termasuk paling diinginkan sebagai tempat tinggal.
Tarmizi menceritakan, di Denmark sudah hal biasa menjual barang tanpa penjual menjaganya. Mereka biasa meletakkan barang dan tempat uang di sembarang tempat. Mereka sama sekali tak khawatir jika barang itu dicuri. “Biasanya pagi mereka meletakkan barang untuk dijual lengkap dengan daftar harganya, dan sore hari sepulang dari kerja, mereka mengambil barang yang tinggal dan sejumlah uang dari hasil barang yang laku. Coba di tempat kita, barang dan uangnya pasti sekalian hilang,” katanya.
Dari Tarmizi, saya jadi tahu orang Denmark sangat jujur dan tak tamak. Saya melihat perumahan mereka, semua sangat sederhana. Jarang kita lihat mereka membangun rumah besar-besar laksana istana seperti di tempat kita. Bagi mereka, memiliki tempat berteduh yang nyaman sudah cukup. Kita tentu mengira mereka pasti tak sanggup membangunnya, tapi mereka kebanyakan makmur. Malah, Negara mereka terkenal dengan kemakmurannya.
Semua orang hidup dengan tingkat kesejahteraan yang merata. Negara mengontrol dengan teliti warganya. Geuchik Don, sapaan warga Aceh di sana untuk Zulkifli Yahya, seorang tokoh Aceh di Denmark, memberitahukan saya bahwa di Denmark Negara mengontrol ketat keuangan warga. Dalam perjalanan, misalnya, kita tak dibolehkan membawa uang cash lebih dari 10 ribu Kroner. Menurut Geuchik Don, jika ada warga kedapatan membawa uang cash melebihi ketentuan yang dibolehkan akan disita oleh polisi. Orang itu wajib membayar pajak 38%.
Tak hanya itu, cerita Geusyik Don, Negara juga memantau dengan ketat perputaran uang di rekening warganya. Jika ada transaksi atau ada dana masuk di luar jumlah gaji yang biasanya mereka terima, polisi akan meneliti uang tersebut, sumbernya dari mana, uang untuk keperluan apa, dan kenapa bisa masuk uang sejumlah itu. Jika dicurigai hasil dari penggelapan atau tindakan korupsi, uang itu akan disita untuk negara. Rekening warga setiap bulannya dikenakan pajak.
“Database mereka sudah cukup bagus. Mungkin butuh ratusan tahun untuk mewujudkan hal ini di Negara kita,” katanya.
Sementara Husaini Aziz, seorang pengungsi Aceh di Denmark asal Bireuen, mengisahkan, jika di Denmark ini judi buntut atau Lotere sangat terkenal. Di Denmark mereka menyebutnya Lotto. Negara, kata Husaini, tak akan mempermasalahkan beberapa pun uang hasil menang dari Lotto ini.
“Malah, jika kita menang besar, kita akan diwawancarai oleh Televisi pemerintah, dan semua orang akan tahu. Kita akan terkenal,” katanya sembari berjanji jika suatu saat dia beli Lotto dan menang besar akan mengundang kami kembali ke Denmark dan keliling ke beberapa negara Eropa yang belum sempat kami kunjungi.
Selama di Denmark saya juga jadi tahu, bahwa mereka jarang merokok di dalam ruangan. Jika di luar ruangan, kita boleh merokok di mana saja, kecuali ada tanda larangan, yang penting puntung rokoknya tak dibuang di sembarang tempat. Negara juga mengontrol ketat kesehatan warganya. Jika ada anak-anak yang sakit, pihak dari kepolisian atau petugas pemerintah akan memeriksa seluruh ruangan dalam rumah. Bila petugas menemukan puntung rokok, sang bapak akan dihukum.
Banyak hal yang sebelumnya luput dari perhatian, menjadi tambahan pengetahuan untuk saya. Sebelumnya saya tak pernah tahu apa arti garis-garis yang ada di jalan raya, seperti garis putus-putus, garis tersambung (Di Denmark dalam satu ruas jalan ada empat garis, dua garis di sisi pinggir, dan dua garis di tengah-tengah). Garis di tengah ini, sering putus sambung, tergantung pada kondisi jalan, seperti jika menanjak maka garisnya dibuat lurus, kemudian di setiap simpang juga sama.
Di Denmark saya jadi tahu, bahwa fungsi garis itu cukup vital. Jika tak mengerti fungsi dari garis-garis tersebut, maka setiap saat kita akan jadi korban tabrakan atau menabrak kendaraan orang lain. Misalnya, jika les putih penuh, tandanya kita dilarang mendahului mobil di depan, meski dari arah berlawanan sedang kosong. Sementara jika kita berada di persimpangan, kita harus menunggu mobil di jalan utama lewat dulu meski posisinya masih jauh dari kita, baru setelahnya kita boleh lewat.
Satu lagi, hal unik menurut saya dari salah satu Negara yang masuk dalam rumpun Skandinavia ini. Bagi warga yang memelihara anjing, Negara akan memberi dana 2000 kroner. Syaratnya, anjing itu harus dirawat, dijaga dan malam hari harus dibawa bersama (ke tempat tidur). Anjing itu juga harus dibawa jalan-jalan dan keliling. Pokoknya harus diurus sebaik mungkin.
Pemerintah menyediakan anjing untuk orang buta dan lansia. Anjing ini jadi teman hidup bagi mereka. Untuk mereka pemerintah juga menyediakan uang. Namun, jumlah anjing yang boleh dipelihara dan dibantu oleh pemerintah dibatasi.
Sementara di tempat kita, jangankan untuk anjing, biaya pendidikan saja belum gratis. Entahlah, mungkin butuh 100 tahun lagi, seperti kata teman saya di atas.[]
-----Note: tulisan ini sudah saya ikutkan untuk lomba 'Ngeblog Seharian Kompasiana-Telkomsel' dan sengaja saya posting di sini sebagai arsip.
Tags:
Traveling