Belanda yang Lain

Berpose dengan Conservator Museum Bronbeek, Drs Hans
van den Akker
Tulisan versi pendek bisa dibaca di sini

Sebagai putra Aceh, tentu saja saya ‘sudah’ akrab dan familiar dengan sesuatu yang berbau Belanda. Sejak kecil hingga sekarang, saya sering mendengar dan membaca sejarah tentang kedekatan antara Aceh dan Belanda. Namun, cerita-cerita tersebut, dan juga sejarah yang ditulis, melulu berisi konflik dan konfrontasi.

Dimulai sejak pertama kali memaklumkan perang pada 18 Maret 1873, tak pernah lagi kami mendengar cerita tentang hal-hal baik dari Belanda. Orang tua dan guru-guru dalam memberi pelajaran sejarah tak sekali pun memuji Belanda. “Andai negeri ini tak dijajah Belanda, tentu kita sudah maju seperti Singapore atau Malaysia atau malah lebih,” inilah biasanya kalimat pamungkas dari mereka setiap menutup kisah soal Belanda.

Hal ini kemudian terpatri dalam memori saya (dan juga sebagian besar rakyat Indonesia), bahwa sesuatu yang berbau Belanda berarti jahat. Meski sebenarnya, banyak sekali peran dan andil Belanda terhadap bangsa ini. Bantuan-bantuan, terutama untuk sektor pendidikan, sangat banyak sekali. Setiap tahun Belanda memberikan bantuan beasiswa kepada para mahasiswa Indonesia, serta pegawai pemerintahan.

Sejak itu, saya membayangkan, alangkah beruntungnya jika suatu saat bisa berkunjung ke Belanda. Selain bisa melihat dari dekat negeri yang luasnya jauh lebih kecil dari Aceh, saya juga bisa berkunjung ke beberapa pustaka atau museum. Sebab, di sana disebutkan banyak menyimpan literatur, arsip atau benda-benda bersejarah, yang memiliki keterkaitan langsung dengan Aceh dan Indonesia, negeri kelahiran saya.

Saat kesempatan itu tiba, tentu saya tak menyia-nyiakannya. Seusai mengikuti konferensi internasional tentang Aceh selama 4 hari (22-26 Juli 2010) yang digelar World Acehnese Association (WAA) di Aalborg, Denmark, saya dan beberapa teman dari Aceh memilih berangkat ke Belanda melalui jalan darat. Sebelum masuk ke kawasan Belanda, kami harus melewat Hamburg, sebuah kota di Jerman. Karena terlalu malam (jam 01.00) dan kami sudah cukup lelah, akhirnya kami bermalam di kawasan parkir dalam wilayah Twente. Sebagian dari kami tidur di dalam mobil, dan sebagian lagi di atas aspal. Kebetulan memang di tempat parkir itu tak hanya kami, tapi banyak pengemudi yang beristirahat.

Jam 08.00 pagi waktu setempat kami pun berangkat lagi. Tujuan kami ke Arhem dan melihat museum Bronbeek. Menurut cerita, di museum ini banyak menyimpan benda-benda bersejarah masa perang Aceh melawan Belanda 1873-1942.

Kesan pertama kami, pastilah Bronbeek seperti museum lain. Tak terurus dan sangat tak nyaman dikunjungi. Namun, memasuki areal museum, kami tertegun. Duh, betapa luar biasanya museum ini. Saat masuk, kita langsung dihadapkan pemandangan indah, halaman yang cukup luas dengan taman bunga. Kita juga melihat beberapa prasasti, ukiran batu serta beberapa patung tentara Belanda di depannya—mulai dari patung perwira sampai patung prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger).

Sekilas kita langsung terbayang pada gedung-gedung peninggalan Belanda di tempat. Sangat kuat dan kokoh. Dan pun menjadi takjub, bagaimana rapinya Belanda merawat ingatan bangsanya dengan arsip sejarah: melalui benda-benda perang dan literatur. Hal itu bukti peninggalan sejarahnya selama perang menaklukkan negeri-negeri di bagian timur samudra India (Asia Tenggara sekarang).

Kebiasan kita berkunjung ke tempat asing dan jauh, membuat kita perlu merekam momen itu. Hal itu pula yang kami lakukan. Hampir semua objek di dalam kawasan museum kami abadikan dalam foto-foto, dengan berbagai pose. Persis, tingkah polah kami seperti model pemula, yang siap diminta bergaya apa-saja.

Oya, museum Bronbeek ini termasuk salah satu museum tertua di Belanda. Dari keterangan pengelola atau conservator, Drs. Hans van den Akker, usia museum yang sering disebut Museum Perang ini sudah 150 tahun, sejak pertama kali dibangun oleh Raja Willem III tahun 1863.

Menurut Hans, dulunya Raja Willem III membangun museum ini untuk mengenang pasukan setianya, KNIL sebagai penghormatan atas jasa mereka. Patung gelap pasukan KNIL memegang pedang dan senjata di prasasti depan museum dapat menjelaskan hal ini.

Karena penasaran dengan nama museum yang menurut kami cukup aneh, Bronbeek, kami pun bertanya pada Hans, kenapa museum ini diberi nama Bronbeek? “Di lokasi dibangun museum ini dulunya terdapat sungai kecil asli (bukan sungai buatan),” kata Hans. Dalam bahasa Belanda, Bronbeek berarti aliran air/sungai kecil. Kami sempat melihat bekas sumber aliran sungai itu di belakang museum.    

Bagaimana dengan anggaran pengelolaan museum? Menurut Hans, dananya semua subsidi dari kerajaaan. Segela keperluan untuk museum itu memang menjadi tanggung jawab pihak Kerajaan. Mereka hanya mengurus dan merawatnya.

Oya, Hans ini masih muda. Dia cukup lancar berbahasa Indonesia. Dia bawa kami berkeliling semua sudut museum. Kami juga diajak melihat-lihat sudut khusus tempat menyimpan semua benda dan arsip perang Aceh. Kami sedikit kecewa, karena hasrat kami untuk melihat langsung bendera perang Aceh, tak kesampaian. Menurut Hans, tahun depan jika kami berkunjung lagi, kami bisa melihatnya. Pasalnya, ruangan tempat menyimpan benda-benda itu sedang direhab. Kami sempat melihat beberapa pekerja yang bongkar pasang di situ.

Sementara W.M Adrians, pengelola perpustakaan di museum itu, menceritakan, sebagian kebutuhan buku (termasuk buku klasik) mereka beli dari penerbit lain melalui dana subsidi kerajaan. “Banyak juga penerbit yang menyumbang buku. Jumlahnya mencapai ribuan,” kata Adrian, yang pasih berbahasa Indonesia. Adrian pernah lama tinggal di Indonesia, di kawasan Maluku.

Tak hanya Hans dan Adrian yang bisa berbahasa Indonesia. Sejumlah orang yang kami temui semua mampu berbicara bahasa Indonesia. Mereka rupanya bagian dari 43 veteran perang masa penjajahan Belanda. Kesan mereka kepada kami cukup baik. Mereka cukup bangga pada kami yang dari Aceh. “Orang Aceh kuat-kuat, dan sangat gagah berani,” ujar seorang kakek yang usianya sudah 90 lebih. Setiap hari dia bersama-sama temanya menyapa orang yang berkunjung, membersihkan halaman, dan menyapu. Mereka cukup senang, hal itu kami tahu dari raut wajah mereka yang selalu mengangkat tangan dan menyapa kami, termasuk ketika kami berpamit pulang.

Adrian juga menceritakan, jika sebagian buku-buku di pustaka yang dikelolanya mereka kirim ke Aceh. “Tapi sebagian dari buku itu sudah hilang karena tsunami,” katanya, pelan. Untung saja, sebagian dari buku-buku itu masih bisa diakses dan didownload di www.acehbooks.org secara gratis. Situs ini disedikan dan dibiayai oleh Menteri Pendidikan Belanda, yang dikelola oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde) di Leiden. KITLV tersebut menyedikan sebagian besar literatur tentang Aceh secara digital untuk diserahkan kepada masyarakat Aceh. Proyek tersebut terutama untuk proses digitalisasi sejumlah literatur tentang Aceh diawasi oleh Perpustakaan Kerajaan di Den Haag.

Di website ini terdapat lebih kurang 656 file buku Aceh secara digital dalam format pdf yang bisa didownloads. Informasi dalam website Aceh Books disebutkan bahwa judul-judul lain yang berhubungan dengan Aceh akan ditambahkan seiring tahun 2009. Buku-buku dalam website ini terdapat dalam sejumlah bahasa seperti Indonesia, Aceh, Inggris, Belanda dan juga dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit, baik yang ada di Indonesia maupun di Eropa. Buku-buku tersebut tertanggal mulai abad 17 hingga hari ini.

Apa yang saya lihat ini hanya sedikit dari bentuk kepedulian Belanda pada pengembangan pendidikan. Selain Bronbeek, Museum Leiden sudah duluan terkenal sebagai pusat arsip dunia. Dari secuil pengalaman ini, kita bisa melihat dan menyaksikan Belanda yang berbeda dekat, sebagai pembanding dari memori kelam kita terhadap Negeri Kincir Angin yang bangga dengan Bunga Tulip ini.[]
Previous Post Next Post