Aku dua kali menjalani ibadah puasa di Jakarta, 2003 dan 2004. Saat itu, aku dan beberapa teman aktivis Aceh mengungsi ke Jakarta setelah seluruh Aceh diberlakukan Darurat Militer (DM). Di Jakarta kami hidup pas-pasan dan bekerja serampangan untuk bertahan hidup. Dua bulan pertama, memang biaya hidup kami ditanggung oleh sebuah LSM. Tapi, setelah itu, kami harus bisa mandiri dan bekerja. Hidup kami sangat kekurangan.
Saat puasa tahun pertama di Jakarta kami lalui biasa saja. Tak ada kendala apapun. Hanya saja, puasa di Jakarta banyak godaannya. Tak seperti di Aceh, di Jakarta warung masih buka seperti biasanya. Wanita ibukota berpakaian minim, sehingga menggoda iman.
“Puasa di Jakarta pasti nilainya istimewa, karena banyak godaannya,” kata Muhammadiyah, teman saya sesama warga Aceh. Dia berasal dari Panga, Aceh Jaya dan aktif di Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Aku kebetulan satu kost dengan Muhammadiyah di kawasan Ciputat, Tangerang. Selain dia, ada Hasballah dan Hamzah, keduanya aktif di SIRA. Untuk sahur dan berbuka, biasanya kami masak di rumah. Sesekali kami berbuka di Masjid depan kampus UIN Jakarta. Di masjid ini menyediakan menu berbuka untuk para jamaah.
Suatu hari, entah puasa ke berapa, teman-temanku menghadiri undangan berbuka di sebuah hotel di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Aku sendiri tak berada di kost saat itu. Mereka pun tak mau menunggu, karena takut terjebak macet di jalan.
Saat aku tiba di kost, keadaan sudah sepi. Aku kemudian meminta kunci sama ibu kost (kami sering menitip kunci sama dia). Menjelang waktu berbuka, aku makin gelisah.
Soalnya, saat pulang tadi aku tak membeli makanan berbuka di luar. Di rumah persediaan beras sudah habis. Dalam hati aku yakin bakal tak bisa berbuka, kecuali dengan air putih. Dugaanku benar, aku terpaksa berbuka dengan air kran. Ibu kost sempat menawari makanan, dan aku menolak dengan halus, meski dalam hati menyesal.
Soalnya, saat pulang tadi aku tak membeli makanan berbuka di luar. Di rumah persediaan beras sudah habis. Dalam hati aku yakin bakal tak bisa berbuka, kecuali dengan air putih. Dugaanku benar, aku terpaksa berbuka dengan air kran. Ibu kost sempat menawari makanan, dan aku menolak dengan halus, meski dalam hati menyesal.
Sepulang teman kost, aku cerita sama mereka. Namun, mereka kaget bukan kepalang. Soalnya mereka sudah mengirim SMS dan memberitahu bahwa ada uang Rp5 ribu yang diselipkan di kantong baju di gantungan. Tapi, aku merasa tak ada SMS masuk. Aku coba cek lagi untuk memastikan. Aku tak tahu, apakah karena aku pakai kartu dari operator lain, sementara mereka memakai kartu dari TELKOMSEL.
“Duh, gara-gara SMS gagal masuk, aku harus buka puasa dengan air kran.” Mereka pun tertawa. Tapi untungnya, besoknya aku bisa berbuka di Hotel Indonesia. [Kompasiana]
Tulisan ini awalnya saya posting di blog Kompasiana edisi 30 Agustus 2011. Karena ini menjelang bulan puasa, saya coba posting di sini. Salam
Tags:
catatan