Urueng Aceh galak meuprang
Jika sempat ke Aceh pas malam lebaran, harap jangan terkejut. Meski terdengar suara dentuman bersahut-sahutan, anda tak perlu khawatir. Itu bukan bunyi granat atau bom. Bukan pula GAM dan TNI sedang kontak senjata. Sebab, sejak 15 Agustus 2005 silam, GAM dan RI sudah sepakat berdamai sekaligus berhenti berperang.
Sudah menjadi tradisi di Aceh, setiap menyambut Idul Fitri, masyarakat Aceh, tua-muda, menggelar toet karbet (bakar meriam karbit) dan beude trieng (meriam bambu). Jauh-jauh hari, masyarakat menyiapkan puluhan drum minyak sebagai wadah untuk menghasilkan suara dentuman dari karbit yang dibakar, khusus disiapkan menyambut lebaran.
Urueng padang galak meuniaga
Urueng Batak galak duek di ganto
Nyang meu ato syit urueng jawa
Urueng Batak galak duek di ganto
Nyang meu ato syit urueng jawa
Jika sempat ke Aceh pas malam lebaran, harap jangan terkejut. Meski terdengar suara dentuman bersahut-sahutan, anda tak perlu khawatir. Itu bukan bunyi granat atau bom. Bukan pula GAM dan TNI sedang kontak senjata. Sebab, sejak 15 Agustus 2005 silam, GAM dan RI sudah sepakat berdamai sekaligus berhenti berperang.
Sudah menjadi tradisi di Aceh, setiap menyambut Idul Fitri, masyarakat Aceh, tua-muda, menggelar toet karbet (bakar meriam karbit) dan beude trieng (meriam bambu). Jauh-jauh hari, masyarakat menyiapkan puluhan drum minyak sebagai wadah untuk menghasilkan suara dentuman dari karbit yang dibakar, khusus disiapkan menyambut lebaran.
Tradisi toet karbet yang cukup populer ada di Gampong Ulee Ceue, Ulee Tutong, Dayah Tutong Meunasah Tanoh (semuanya di Kecamatan Pidie). Selain itu, masyarakat di bantaran sungai Krueng Baro, seperti Garot, Indrajaya, dan Gampong Aree, Delima juga punya tradisi serupa. Di sini, drum-drum tersebut berikut beude trieng diletakkan berjejer di tepi sungai. Masing-masing gampong ini seperti berlomba-lomba menunjukkan kehebatan besarnya dentuman suara beude trieng dan toet karbet masing-masing.
Jika diperhatikan sekilas, masyarakat antar gampong itu seperti sedang berperang. Sementara di pinggir jalan puluhan (bahkan ratusan) masyarakat dan pengguna jalan bertindak sebagai penonton. Dentuman dari toet karbit dan beude trieng terdengar hingga ke Kota Sigli dan Beureunuen, Mutiara, saking besarnya suara dentuman tersebut.
Sementara di tempat lain, kebiasaan toet karbet tak seheboh di kecamatan Indrajaya, Pidie dan Delima tersebut. Ada gampong yang malah sekedar toet beude trieng dan membakar marcon. Mereka ini juga berlomba-lomba ingin menunjukkan besarnya suara dari beude trieng atau dari marcon yang mereka punya. Permainan ini bisa berlangsung semalam suntuk dan baru berhenti pas adzan subuh.
Tapi, saat konflik, permainan ini sempat menghilang. Pihak militer melarang permainan begini. Masyarakat juga takut. Sebab, jika terpaksa menggelar toet karbet atau beude trieng bisa disangka sedang kontak senjata, dan imbasnya gampong tersebut aka disisir. Tak jarang masyarakat jadi ajang pelampiasan kebrutalan aparat. Akibatnya, malam lebaran jadi sepi.
Malah, ketika konflik, penjualan marcon dilarang. Penjualan senjata mainan dilarang. Toko-toko yang menjual marcon digeledah dan dirazia. Marcon dan senjata disita. Tak jarang pemiliknya harus berurusan dengan pihak berwajib.
Sehingga suasana lebaran di Aceh tak meriah. Tak ada anak Aceh yang menenteng senjata dan berlagak tentara atau gerilyawan GAM. Tak ada anak-anak yang main perang-perangan. Kondisi ini dapat dimaklumi. Membiarkan anak Aceh main perang-perangan sama dengan menyemai militansi Aceh. Meski sebenarnya konflik itu sendiri pendidikan militer yang cukup efektif.
Saya masih ingat, saat kekuatan GAM memuncak awal 1999 hingga akhir 2000, suasana lebaran dijadikan oleh anak Aceh sebagai ajang latihan peran-perangan. Untuk peralatan perang, mereka beli senjata mainan. Model AK-47 (senjata yang banyak digunakan tentara GAM) laku keras dan jadi senjata favorit. Di antara mereka ada yang berlagak anggota TNI dan GAM. Mereka kerap menggelar ‘perang’ di jalan raya hingga gampong-gampong.
Tak sedikit pula di antaranya meniru perangai para pihak bertikai (TNI dan GAM). Misalnya, ada yang menyetop mobil di jalan dan meminta pungutan liar (persis seperti dilakukan anggota TNI/Polri di pos mereka), serta ada yang menghadang mobil di jalan (mirip penghadangan yang dilakukan GAM terhadap patroli TNI).
Fenomena gemar berperang ini persis seperti bunyi pepatah yang dikutip di awal tulisan, Ureuen Aceh galak meuprang (orang Aceh gemar berperang). Namun, fenomena itu tempat reda saat Aceh ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer (DM) 19 Mei 2003 hingga sebelum tsunami 26 Desember 2004.
Sejak perdamaian tercipta 15 Agustus 2005, lebaran di Aceh kembali menggeliat. Anak Aceh bisa kembali bermain perang-perangan, malam lebaran makin semarak dengan toet karbet dan beude trieng. Penjual marcon dan senjata mainan kembali menuai berkah. Aceh damai anugerah buat semua. []
Tags:
Artikel