KAMIS (22/03/12) merupakan hari pertama kampanye terbuka. Para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota menyampaikan visi dan misi di sidang paripurna DPRA dan DPRK. Berbagai program cet langet dibungkus rapi dalam visi dan misi itu. Kalau dipikir-pikir, program mereka tak jauh berbeda, semuanya bermuara pada bagaimana mewujudkan kesejahteraan sekaligus menjaga perdamaian tetap abadi. Mereka begitu bersemangat membuat rakyat terbius sekaligus terlena pada program-program mereka.
Ini memang lagi musim jual kecap. Tak perlu heran, jika di setiap tempat digelar kecap dagangan, dari kecap berkualitas bagus, sampai kecap basi. Mereka selalu berteriak, “Inilah kecap nomor satu!” Tak ada yang mau disebut menjual kecap nomor dua. Para penjual ini pun sudah cukup pandai peh tem karena memang semuanya jago olah.
Oh ya, mereka juga berkali-kali menandatangani ikrar mewujudkan Pilkada damai. Mereka juga sering mengikrarkan akan bersaing secara sehat, tak menggunakan cara-cara kasar, intimidasi dan teror. Untuk membuktikan keseriusannya mereka produktif mengumumkannya di media. Meski di sisi lain, kita kerap disuguhi fakta yang berbeda.
Bagi saya, inilah saat di mana Aceh memasuki musem luah blang. Suatu musim di mana sejumlah hal tabu yang sebelumnya tak boleh dilakukan, menjadi dibolehkan. Hukum dibuat menjadi lebih longgar. Sanksi ditiadakan.
“Syi perjelas dilee pue musem luah blang?” interupsi seorang kawan saya. Dia memang paling kritis dan selalu memperhatikan hal-hal kecil.
Baiklah, saya akan bercerita dulu soal musem luah blang. Ada atau tidaknya interupsi itu, istilah musem luah blang memang perlu diperjelas. Sebab, sudah tabiat kita di sini, sering membungkus suatu ketidakjelasan ditutup dengan ketidakjelasan lain. Akibatnya, benar-benar menjadi tak jelas!
Secara bebas (terjemahan dari bahasa Aceh ke bahasa melayu) musem luah blang dapat diterjemahkan sebagai ‘musim luas lahan/sawah’. Kedengarannya sangat lucu, bukan? Inilah kelemahan dari penerjemahan: membuat martabat suatu bahasa menjadi rendah makna yang dikandungnya ketika dialihbahasakan.
Istilah musem luah blang merujuk pada kondisi saat petani melakukan panen secara serentak (koh pade). Saat musim koh pade masyarakat di kampung-kampung (terutama kaum perempuan) senang bukan kepalang. Inilah saatnya mereka memanen hasil dan mengumpulkan rupiah dengan cara menjadi pengangkut nimbai (ukuran satu ikat batang padi seukuran genggaman orang dewasa).
Sawah-sawah yang sebelumnya dipenuhi tanaman padi, kini mulai polos berganti hamparan jeundrang dan jerami. Para kaum perempuan lalu lalang di sawah, berpindah dari satu sawah ke sawah lain, untuk angkut nimbai.
Masyarakat di Aceh rata-rata menanam padi dua kali dalam setahun. Sesekali bahkan bisa hingga tiga kali, sering disebut padi salah musim. Maka musem luah blang di Aceh terjadi dua kali setiap tahun, kadang sampai tiga kali.
Dulu saat teknologi pertanian belum maju (belum ada sistem irigasi) serta masyarakat masih mengandalkan hujan (sawah tadah hujan), musem luah blang bisa berlangsung lama. Kondisinya jauh berbeda dengan sekarang. Selesai panen biasanya masyarakat hanya menunggu sebentar dan kemudian bersiap-siap menanam lagi.
Saat musem luah blang, masyarakat akan melepaskan ternak secara bebas. Anak-anak mulai bermain layang-layang di sawah, sebagian lain memilih bermain bola. Ada masyarakat menanam cabai, jagung, tembakau, kedelai atau semangka. Jika tak punya lahan sendiri, mereka menyewa lahan orang lain. Intinya, masyarakat bisa melakukan sesuatu secara bebas.
Namun, saat musim tanam, hal-hal tersebut menjadi ‘haram’ dilakukan. Tak boleh sesuka hati. Jika ingin menanam padi harus dilakukan di lahan sendiri, tak boleh di lahan orang lain. Bagi pemilik ternak tak boleh melepaskan ternah sembarangan. Anak-anak tak boleh bermain layang-layangan, lebih-lebih bermain bola. Bermain di lampoh soh saja yang dekat dengan sawah warga bisa berisiko jika bola jatuh mengenai tanaman padi.
Jika tak mengindahkan larangan-larangan ini alamatnya bisa celaka. Bagi pemilik ternak, jangan harap ternaknya kembali ke kandang dalam kondisi normal. Masih syukur jika dagingnya masih bisa dibawa pulang untuk dikonsumsi. Bagi anak-anak yang bermain layang atau bola pasti akan keunong geulawa.Bolanya bisa ditebas.
Saya pikir, penjelasan singkat di atas bisa memberi gambaran (meski sedikit) untuk membedakan antaramusem luah blang dan musim tanam. Jika boleh membuat tamsilan, saya ingin menamsilkan musem luah blang dengan kondisi kita hari ini, sementara musim tanam seperti masa saat Aceh masih dibalut konflik dan dalam cengkeraman militer (darurat militer).
Saya yakin semua kita punya memori tentang kondisi Aceh ketika berada dalam suasana darurat militer. Bagi yang punya memori pendek dan gampang lupa, bolehlah saya mengajak kita kembali ke saat darurat militer. Hukum yang berlaku adalah hukum militer. Bendera yang boleh dikibarkan adalah merah putih. Media tak boleh sembarang menulis. Wartawan yang meliput harus memiliki surat atau izin dari penguasa militer (Penguasa Darurat Militer Daerah-PDMD). Orang tak boleh sembarangan berleha-leha, sebab sering risikonya mati. Demonstrasi menentang negara dilarang. Rapat-rapat, lebih-lebih rapat gelap dipantau. Pokoknya serba diawasi.
Kini pantangan-pantangan itu sudah tak ada lagi bersebab kesepahaman MoU Helsinki. Istilah yang beberapa tahun belakangan sering disebut, diulang-ulang dengan semangat sambil menepuk dada. Sebab, MoU itu dianggap pencapaian tertinggi, meski sebenarnya adalah sebuah kecelakaan sejarah. Sebuah pengkhianatan pada cita-cita dan ideologi, terutama jika dikaitkan dengan sikap ‘kita akan berdamai jika merdeka adalah solusinya’.
Kita pun masuk dalam musem luah blang. Hal-hal yang saat musim tanam berlabel ‘tabu’ menjadi bebas dilakukan. Jik dulu saat bermain layang-layang kita tak pernah berkelahi, kini karena benang layang kita bergesekan dan tersangkut pada benang layang kawan harus meu-roro-darah. Jika dulu saat bermain bola kita berjibaku hingga berjatuhan, patah pate, kita masih bisa tertawa, kini hanya karena keunong sumbokita tak lagi saling bicara. Kita menjadi gampang mengumbar istilah ‘pengkhianat’ yang dulu hanya ditujukan untuk sang musuh.
Ah, ini kan lagi musem luah blang! Boleh peulheuh layang ubee-be panyang beunueng, tapi tak boleh melampaui layangku! Begitu titah anda sekarang. Hom hai! [Sumber: The Aceh Corner]
Tags:
Artikel