Senin (09/04/2012) warga Aceh
memberikan suaranya pada pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada Aceh)
Gubernur/Wakil Gubernur serta 17 Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota. Hasil rekapitulasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menunjukkan
calon yang diusung Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf keluar sebagai pemenang dengan 1.327.695
suara atau 55,75 persen, sementara pesaing terdekat, Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan
hanya mengantongi 694.515 suara (29,18 persen).
Namun, saat itu muncul analisa
yang menyatakan kemenangan pasangan Irwandi-Nazar karena keduanya menggunakan
baju adat Aceh plus kupiah meukutop. Menurut
saya, ini analisa salah kaprah, karena mereka tak memperhitungkan faktor 15
panglima wilayah yang menyokong Irwandi dan Nazar.
Hasil yang dirilis KIP
tersebut tak jauh berbeda dengan penghitungan cepat (quick count) oleh sejumlah
lembaga survei seperti Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia
(LSI) yang juga menunjukkan mantan GAM keluar sebagai pemenang.
Kemenangan telak para
mantan GAM ini semakin menegaskan bahwa mesin politik plus figur masih menjadi
faktor dominan. Selain itu, faktor terkonsolidasi kembali ideologi GAM,
euphoria kemenangan Partai Aceh dalam Pemilu Legislatif 2009 serta keberhasilan
Partai Aceh memaksa agar Pilkada ditunda, turut turut memberi pengaruh pada hasil Pilkada 2012 ini.
Sebelum Pilkada 2012
berlangsung, GAM disibukkan dengan perpecahan, antara kubu Zaini Abdullah
dengan kubu Irwandi Yusuf. Hal ini ternyata tak membawa banyak pengaruh bagi
eksistensi Partai Aceh untuk mendulang suara. Mereka telah belajar dari perpecahan
pada Pilkada 2006 silam sekaligus cara mengelolanya.
Pengalaman Pilkada 2006
Pada Pilkada 2006, kandidat
yang didukung petinggi GAM, Humam Hamid-Hasbi Abdullah (H2O) kalah telak dari Irwandi-Nazar
(Irna). Irwandi-Nazar memperoleh 38,20 persen, sementara H2O dapat 16.17
persen. Saat itu, GAM terpecah dua kubu: kelompok muda (mendukung
Irwandi-Nazar) dan kelompok tua (mendukung H2O).
Dari 17 wilayah (sistem
teritorial dalam komando GAM), 15 panglima wilayah di antaranya menyokong
Irwandi-Nazar, hanya dua wilayah, yaitu Pidie dan Pase mendukung H2O. Panglima
GAM berinteraksi langsung dengan pasukan di lapangan. Secara pengaruh, mereka
masih kuat dan intruksinya didengar.
Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf/Taufik Al Mubarak |
Sementara Pilkada 2012, para
mantan GAM juga terbelah dua: kubu konservatif (mewakili basis ideologi GAM
Swedia dan eks Libya) dan kubu pragmatis (kelompok yang menikmati hasil
kepempinan Irwandi).
Kita tahu, sebagian panglima
GAM yang dulu menyokong Irwandi mendapatkan manfaat secara ekonomi. Mereka
menikmati paket ekonomi dari proyek APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh).
Mau tak mau, mereka harus tetap menyokong Irwandi sebagai politik balas jasa
dan mengamankan aset.
Hanya saja, kondisi
sekarang jauh berbeda dengan 2006 silam. Jika dulu, pengaruh mereka masih cukup
kuat dan didengar pasukan di lapangan, sekarang justru terbalik. Mereka dicap
sebagai pengkhianat dan dipecat dari posisi strategis di Komite Peralihan Aceh
(KPA) dan Partai Aceh. Karenanya, mereka juga tak menguasai struktur dan basis
GAM.
Sebenarnya, kemesraan
Irwandi dan kelompok GAM ideologis sempat terbangun pada Pemilu Legislatif
2009. Irwandi terlibat memberi andil dan membesarkan Partai Aceh. Namun, petinggi
PA tak mencalonkan dia sebagai kandidat gubernur. Sikap petinggi ini dapat
dipahami dan terkait erat balas dendam politik (kasus Pilkada 2006).
Terlemparnya Irwandi dari Partai
Aceh jelas merugikan mantan propagandis GAM itu, apalagi kemudian dia dilabeli sebagai pengkhianat. Politik label cukup berpengaruh membunuh karakter tokoh di Aceh. Siapa pun yang menerima label pengkhianat, dia akan dihabisi dan dilawan. Sebagai contoh, pada
Pemilu Legislatif 2009, Partai SIRA mendapat label pengkhianat dan menjadi
bulan-bulanan sehingga tak mendapat satu kursi pun di DPRA.
Faktor Figur
Keberanian Partai Aceh
menduetkan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf menjadi faktor kunci kemenangan mantan
kombatan GAM. Zaini Abdullah merupakan juru runding GAM dan orang penting di
tubuh GAM. Sementara Muzakkir Manaf adalah mantan Panglima GAM dan Ketua Partai
Aceh.
Pilihan figur ini bukan
tanpa pertimbangan. Zaini Abdullah dianggap refresentatif ideologis GAM, karena
merupakan bawahan Wali Nanggroe Hasan Tiro, sementara Muzakkir Manaf refresentatif
GAM lapangan.
Partai Aceh lebih mudah
memperkenalkan pasangan ini kepada simpatisan di lapangan sebagai kelompok
pejuang murni. Mereka bisa mengklaim pasangan ini mewakili ideologi GAM.
Apalagi, secara struktur (mesin politik) pasangan Zaini-Muzakkir (Zikir) mereka
lebih siap di banding calon lain. Irwandi tak memiliki struktur sekuat Partai
Aceh meski beberapa pendiri Partai Aceh menyokongnya.
Pada Pilkada 2006, kelompok
tua GAM sulit mempengaruhi keyakinan GAM di lapangan karena faktor Humam Hamid.
Humam dianggap bukan dari kelompok pejuang. Selain itu ada black campaign bahwa Human Hamid ikut andil memuluskan Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989 sehingga mengundang resistensi dari
anggota GAM lapangan. Trauma penindasan saat DOM masih melekat dalam memori
masyarakat, terutama keluarga GAM.
Pada Pilkada 2012 kita
melihat faktor terkonsolidasinya kembali ideologi GAM. Faktor ini mewujud dalam
konten kampanye. Secara terus-menerus mereka menyebutkan diri sebagai pihak
yang terlibat langsung dalam penandatanganan MoU Helsinki. Hanya jika mereka
menang mampu mengimplementasikan butir-butir kesepakatan damai (MoU).
Satu hal lagi yang menarik
dicatat, bahwa faktor kinerja buruk para senator Partai Aceh tak mempengaruhi
peluang pasangan GAM ini untuk menang. Selama 2011, DPRA yang mayoritas diisi
kader PA hanya mampu mengesahkan 2 qanun dari beberapa qanun prioritas. Sementara
para Bupati dari kalangan GAM juga tak menunjukkan hasil menggembirakan.
Beberapa di antaranya terjerat masalah, seperti Bupati Aceh Utara Ilyas A Hamid,
terlibat masalah deposito 250 miliar. Sementara Pidie, hingga kini masih
dibalut defisit.
Di atas segalanya, rakyat Aceh
sudah menentukan pilihan. Kita hanya berharap momentum kemenangan kandidat
Partai Aceh menjadi awal konsolidasi rakyat Aceh. Momentum Pilkada 2012 harus menjadi
solusi bagi penyelamatan perdamaian dan demokratisasi. Semua konflik dan
perbedaan pendapat diakhiri demi membangun Aceh ke arah lebih baik. Banyak
agenda pembangunan dan kesejahteraan yang perlu dibenahi. Dan itu membutuhkan
niat baik semua pihak, termasuk pemerintah pusat.
Tags:
Artikel