Banyak yang menyebutkan, media atau pers sebagai pilar
keempat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tanpa pers yang
bebas, demokrasi sering menjadi tumbal. Tanpa media yang independen, kebenaran hanyalah bualan
belaka.
Kita tahu, kekuasaan cukup dekat dengan praktik korup.
Kekuasaan yang tidak diawasi dengan baik sering berujung pada salah jalan, dan
cenderung korup. Tak selamanya, ketiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif
dan yudikatif berjalan pada rel yang benar. Ketiganya, sering bersekutu dan
menjadi ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi, serta masa depan kebebasan
pers.
Kita sering disuguhkan fakta legislatif berselingkuh dengan
kekuasaan (eksekutif) dan yudikatif menjadi momok yang menakutkan sebagai alat
penindas. Ketika kita dihadapkan pada kondisi ini, pilihannya adalah mempertahankan
independensi pers sebagai pengontrol. Sebab, ketika pers juga ikut berselingkuh
dengan kekuasaan, maka kita perlu was-was terhadap masa depan demokrasi.
Ada cerita menarik, datang dari Italia, negeri yang dulu
pernah diperintah fasisme Bennito Mussolini. Seperti negara Eropa lainnya,
Italia kini sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat dan
melonggarkan kontrol atas media. Namun, Italia juga bukan tanpa cela. Kita
tahu, beberapa waktu lalu, sebuah undang-undang dirancang dengan memberi
wewenang kepada polisi untuk mengatur soal penyadapan. Undang-undang ini juga
berisi denda berat kepada media yang menerbitkan transkip hasil sadapan.
Anehnya, rancangan itu mendapat dukungan dari senat, meski
kalangan media dan juga hakim menentangnya. Pasalnya, RUU itu dianggap akan
menghambat perjuangan mereka melawan korupsi dan kejahatan tergorganisir.
Sadar bahwa kebebasan pers terancam, koran berhaluan kiri La Repubblica, dalam edisi Jumat
(11/06/2010) terbit dengan halaman satu yang kosong. Bersih dari berita seperti
biasanya. Agar protes itu efektif, mereka memuat sebuah memo kuning kecil
bertuliskan: Undang-undang pemberangusan
akan mencabut hak bagi warga Negara untuk mendapatkan informasi.
Pemimpin Redaksi La
Repubblica, Ezio Mauro, mengatakan, mereka sengaja terbit dengan halaman
depan kosong agar pembaca tahu bahwa kebebasan sedang terancam. “Kami terbit
dengan sebuah halaman kosong untuk memberitahu para pembaca bahwa demokrasi
telah dibuat korslet.”
Cerita kedua berasal dari rakyat Polandia, salah satu sekutu
Soviet (kini Rusia) saat berjuang melepaskan diri dari cengkeraman rezim
komunis. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme,
Bill Kovach, menceritakan, bagaimana seorang warga Polandia, Anna, ingin
menyimak acara kesukaannya 60MPH (Sixty Minutes Per Hour) di radio yang
tergolong kritis untuk ukuran rezim komunis. Namun, yang terdengar hanyalah
suara statis, dia mencoba stasiun lain juga sama, bahkan ada yang tidak ada
suara sama sekali.
Ibunya kemudian memanggil dan memintanya melihat keluar
jendela. Di luar tank-tank milik pemerintah melaju di jalanan. Pemerintahan
militer Polandia telah mendeklarasikan keadaan darurat, dan menyatakan gerakan
Solidaritas pimpinan Lech Walessa sebagai organisasi terlarang.
Saat itu, 13 Desember 1981. Pemerintah komunitas Polandia
juga membungkam media dan menyumbat kebebasan menyatakan pendapat. Era
keterbukaan yang sempat dinikmati rakyat Polandia, telah berakhir.
Namun, rakyat Polandia tidak tinggal diam. Kovach menulis,
di sebuah kota kecil, Swidnik, dekat perbatasan Cekoslowakia, orang-orang
bermunculan dengan anjing di jalan-jalan kota setiap malam pukul 19.30, ketika
stasiun televisi pemerintah ditayangkan. Sementara di Gdanks, terjadi
pembalikan layar televisi. Orang-orang di sini memindahkan pesawat televisi ke
jendela dengan menghadap ke jalan. Rakyat di kedua kota ini sedang mengirimkan
pesan kepada pemerintah; “Kami tidak sudi menonton, kami menolak kebenaran
versimu!” Inilah protes harian dan solidaritas tanpa kata-kata melawan
pemerintahan komunis yang mengekang kebebasan pers dan kebebasan menyatakan
pendapat.
Media
dan Demokrasi
Ada dua hal menarik disimak dari dua cerita di atas. Pertama, kekuasaan yang dipegang oleh
rezim otoriter sama sekali tak memberi tempat bagi hadirnya media yang
benar-benar independen dan berpihak pada kepentingan publik. Berbagai cara
digunakan, seperti melalui regulasi atau dengan kekuatan militer, untuk
membungkan media dan kebebasan.
Kedua,
sekalipun hidup di bawah rezim otoriter, rakyat selalu memiliki cara melawan
praktik sewenang-wenang ini. Dalam banyak kasus, gerakan demokratisasi sering
keluar sebagai pemenang. Betapa pun kuatnya sebuah rezim otoriter, dia selalu
tumbang oleh perjuangan gigih rakyatnya, termasuk dukungan media.
Dalam sejumlah literatur, kita tahu bahwa penguasa otoriter
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Bagi mereka, media
independen dan kritis menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan kekuasaan
yang dipegangnya. Siapa pun pemimpin otoriter, dia akan menjadikan media dan
orang-orang kritis sebagai musuh dan objek pemusnahan.
Kita memiliki pengalaman bagaimana Indonesia saat dipegang
oleh rezim otoriter Orde Baru selama 32 tahun. Media-media kritis dibredel, dan
orang-orang yang kritis dibungkam. Kasus pembredelan Tempo, Detik dan Editor,
atau penangkapan aktivis pro demokrasi bisa menjelaskan bagaimana berkuasanya
rezim Soeharto saat itu. Tak ada pengadilan, kecuali pengadilan sandiwara untuk
melanggengkan kekuasaan.
Aceh punya pengalaman kelam demokrasi ketika berlangsung
Darurat Militer (2003-2005). Militer menutup Aceh dari dunia luar. Media-media
di Aceh harus menulis seperti kehendak penguasa darurat militer. Sumber-sumber
resmi pemerintah dan militer menjadi sajian utama dalam pemberitaan, sementara
sumber dari pihak lain dilarang. Jika ada media yang memuat berita dari sumber
orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dituduh tidak nasionalis dan patriotis.
Akibatnya, kebenaran sering menjadi taruhan.
Penguasa darurat militer juga memberlakukan aturan ketat
terhadap media dan wartawan. Militer kerap mengontrol pemberitaan yang hendak
naik cetak dan menelepon dapur redaksi. Sementara jurnalis yang ingin meliput
di Aceh harus sepengetahuan dan mengantongi izin dari militer. Kepada mereka
diberi pilihan; ikut kami (militer) atau berpihak pada mereka (GAM). Akibatnya,
beberapa jurnalis yang meliput kegiatan GAM menjadi korban, seperti kasus yang dialami
Ersa Siregar.
Jalan
Demokrasi di Aceh
Angin segar bagi keterbukaan informasi mulai lahir pasca Tsunami
26 Desember 2004 dan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Aceh mulai terbuka bagi
dunia luar. Banyak media baru lahir di Aceh seperti Harian Aceh, Rakyat Aceh, Aceh
Independen, dan Rajapost. Tak ada lagi kontrol terhadap media dari pemerintah.
Perkembangan ini menarik. Bahwa bisnis media (cetak) di Aceh
cukup menjanjikan, apalagi jumlah media harian masih sangat minim. Dengan
jumlah 4,5 juta penduduk dari 31 Kabupaten/Kota, idealnya Aceh harus memiliki
minimal 15 media cetak, yang tersebar di seluruh pelosok.
Dengan banyaknya media, tak hanya daerah dan masyarakat yang
diuntungkan, melainkan pihak media sendiri, terutama dalam menghasilkan karya
liputan mendalam. Masing-masing media ini akan berlomba mengemas isi sebagus
mungkin untuk menarik minat pembaca. Selain itu, berkontribusi dalam
pembangunan daerah sebagai lembaga kontrol sosial.
Namun, faktanya kini, jumlah media cetak harian di Aceh sangat
sedikit. Suatu kondisi yang patut disesali. Sebab, ada segelintir media
berjalan sendiri, nyaris tanpa pesaing. Mereka memonopoli opini dan menulis
sesuka hati. Konten apapun dimuat di Koran tetap ada yang baca. Akibatanya, masyarakat
tak pernah mendapatkan berita-berita mencerahkan dan layak dibaca. Tak jarang, berita-berita
yang muncul sarat dengan kepentingan pemilik media maupun pemerintah.
Padahal, yang kita butuhkan dari media adalah bagaimana
menghasilkan berita-berita yang kredibel, relevan dan penting. Informasi yang
muncul di media benar-benar penting, berguna dan membela kepentingan publik. Kualitas
demokrasi kita sangat tergantung pada seberapa bagus media mengelolanya. Pengambilan
keputusan oleh masyarakat dan kualitas hasilnya sangat bergantung pada
informasi yang mereka terima sebelum berbagai keputusan itu dibuat. Jika
masyarakat mendapat suguhan informasi yang tepat dan berguna, yakinlah rakyat dapat
membuat keputusan yang tepat dan juga bermartabat. []
---Tulisan ini sudah dimuat di Harian Aceh edisi 20 Maret 2012 hasil kerjasama Katahati Institute dengan AJMI dan diposting kembali di blog ini sebagai arsip----
Tags:
Jurnalisme