Masihkah bangsa ini memiliki cita-cita 17 Agustus? Saya kadang-kadang ragu, jangan-jangan bangsa ini sudah tidak memiliki cita-cita lagi. Dulu, ketika masih terjajah, bangsa ini bercita-cita menggapai kemerdekaan dan berharap masyarakat dapat hidup makmur, sejahtera dan tidak lagi terjajah.
Tapi, siapa yang berani menjamin bangsa ini tidak lagi terjajah? Kemerdekaan tak hanya harus dipahami terbebas dari penjajahan asing, melainkan bebas dari kemiskinan, keterpurukan ekonomi, konflik komunal dan segala kondisi yang membuat pembangunan bangsa ini jalan di tempat.
Tiap 17 Agustus, bangsa ini disibukkan dengan euphoria kemerdekaan semu: mengibarkan bendera merah putih, memutar film-film perjuangan, kunjungan ke makam-makam pahlawan dan kegiatan seremoni lainnya. Tapi, jarang sekali bangsa ini mempertanyakan hakikat kemerdekaan, seperti sudahkah masyarakat Indonesia menikmati kemerdekaan hakiki?
Kita sering saksikan, masyarakat di kota-kota mengibarkan bendera tanpa lagi rasa takut. Bisa menggelar acara tujuh belasan dengan semarak, mengundang artis bernyanyi. Menghambur-hamburkan uang dengan menggelar permainan rakyat, panjat pinang dan tarik tambang.
Perayaan itu kontras dengan suasana di beberapa pelosok negeri ini. Masih ada anak negeri yang tak bisa mengibarkan bendera karena masih diliputi rasa takut. Di Papua atau Maluku, misalnya, mengibarkan bendera bisa berarti mengantar nyawa. Karena masih ada gerakan-gerakan yang coba memisahkan diri dari Indonesia. Kondisi seperti ini sudah pernah terjadi di Aceh ketika harga satu helai bendera adalah nyawa taruhannya.
Di pelosok yang jauh dari gemerlapnya kota Jakarta, masih ada anak negeri tak sanggup membeli sehalai kain merah putih. Jangankan untuk membeli bendera, untuk makan saja sudah sulit. Mereka belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
Jika kita masih mengaku sebagai bangsa, tentu tak ada lagi anak negeri yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Tak ada lagi jurang pemisah yang lebar, antara si kaya dan si miskin. Korupsi harus dilawan sekuat tenaga. Koruptor adalah penjajah model baru yang menggerogoti kekayaan negeri ini untuk dinikmati sendiri.
Ingatlah, Indonesia masih dapat disebut sebagai bangsa hanya jika masih memiliki perasaan senasib (dalam waktu cukup lama), punya cita-cita yang sama sampai akhir zaman serta memiliki pengalaman geopolitik dengan sikap sama. Artinya, tak boleh ada daerah yang miskin, tak boleh ada cita-cita yang berbeda. Jika ada satu saja warga bangsa ini yang menderita, hendaklah itu juga dirasakan oleh seluruh anak negeri. Jika ada satu daerah yang masih tertinggal, hendaklah itu membuat kita sadar bahwa belum seluruhnya wilayah negeri ini merdeka. Karena ini satu bangsa.
Jadi, perayaan 17 Agustus itu tak hanya soal bendera. Nasionalisme tak pernah cukup hanya sekadar mengibarkan bendera merah putih, di mana begitu 17 Agustus usai, bendera pun hilang entah kemana. Bukan itu, sebenarnya semangat perayaan 17 Agustus. Ada yang lebih penting lagi; bagaimana bangsa ini maju, dan tak ada lagi warga yang sulit mendapatkan bahan makanan, termasuk tak ada warga yang tak bisa membeli bendera!
Tapi, siapa yang berani menjamin bangsa ini tidak lagi terjajah? Kemerdekaan tak hanya harus dipahami terbebas dari penjajahan asing, melainkan bebas dari kemiskinan, keterpurukan ekonomi, konflik komunal dan segala kondisi yang membuat pembangunan bangsa ini jalan di tempat.
Tiap 17 Agustus, bangsa ini disibukkan dengan euphoria kemerdekaan semu: mengibarkan bendera merah putih, memutar film-film perjuangan, kunjungan ke makam-makam pahlawan dan kegiatan seremoni lainnya. Tapi, jarang sekali bangsa ini mempertanyakan hakikat kemerdekaan, seperti sudahkah masyarakat Indonesia menikmati kemerdekaan hakiki?
Kita sering saksikan, masyarakat di kota-kota mengibarkan bendera tanpa lagi rasa takut. Bisa menggelar acara tujuh belasan dengan semarak, mengundang artis bernyanyi. Menghambur-hamburkan uang dengan menggelar permainan rakyat, panjat pinang dan tarik tambang.
Perayaan itu kontras dengan suasana di beberapa pelosok negeri ini. Masih ada anak negeri yang tak bisa mengibarkan bendera karena masih diliputi rasa takut. Di Papua atau Maluku, misalnya, mengibarkan bendera bisa berarti mengantar nyawa. Karena masih ada gerakan-gerakan yang coba memisahkan diri dari Indonesia. Kondisi seperti ini sudah pernah terjadi di Aceh ketika harga satu helai bendera adalah nyawa taruhannya.
Di pelosok yang jauh dari gemerlapnya kota Jakarta, masih ada anak negeri tak sanggup membeli sehalai kain merah putih. Jangankan untuk membeli bendera, untuk makan saja sudah sulit. Mereka belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
Jika kita masih mengaku sebagai bangsa, tentu tak ada lagi anak negeri yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Tak ada lagi jurang pemisah yang lebar, antara si kaya dan si miskin. Korupsi harus dilawan sekuat tenaga. Koruptor adalah penjajah model baru yang menggerogoti kekayaan negeri ini untuk dinikmati sendiri.
Ingatlah, Indonesia masih dapat disebut sebagai bangsa hanya jika masih memiliki perasaan senasib (dalam waktu cukup lama), punya cita-cita yang sama sampai akhir zaman serta memiliki pengalaman geopolitik dengan sikap sama. Artinya, tak boleh ada daerah yang miskin, tak boleh ada cita-cita yang berbeda. Jika ada satu saja warga bangsa ini yang menderita, hendaklah itu juga dirasakan oleh seluruh anak negeri. Jika ada satu daerah yang masih tertinggal, hendaklah itu membuat kita sadar bahwa belum seluruhnya wilayah negeri ini merdeka. Karena ini satu bangsa.
Jadi, perayaan 17 Agustus itu tak hanya soal bendera. Nasionalisme tak pernah cukup hanya sekadar mengibarkan bendera merah putih, di mana begitu 17 Agustus usai, bendera pun hilang entah kemana. Bukan itu, sebenarnya semangat perayaan 17 Agustus. Ada yang lebih penting lagi; bagaimana bangsa ini maju, dan tak ada lagi warga yang sulit mendapatkan bahan makanan, termasuk tak ada warga yang tak bisa membeli bendera!
Tags:
catatan