Pernah dengar hadiah Pulitzer, kan? Itu loh, hadiah paling bergengsi untuk kategori jurnalisme. Rasa-rasanya tak ada wartawan yang menolak dihadiahi Pulitzer. Sebab, inilah pencapaian tertinggi wartawan di Amerika. Nah, sekarang kita akan coba mengenal lebih dekat sosok wartawan yang sangat dihormati di seluruh penjuru dunia itu.
Kisah awal dia terjun pertama kali dalam dunia soal tulis-menulis berita ini termasuk menarik. Awalnya, kisah ini diceritakan sekilas oleh seorang guru saya di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Maskun Iskandar, saat pelatihan Jurnalistik di LPDS Jakarta pada akhir 2006 silam. Kisah ini dia tulis dalam buku terbitan LPDS, Panduan Jurnalistik Praktis (2009).
Kisah awal dia terjun pertama kali dalam dunia soal tulis-menulis berita ini termasuk menarik. Awalnya, kisah ini diceritakan sekilas oleh seorang guru saya di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Maskun Iskandar, saat pelatihan Jurnalistik di LPDS Jakarta pada akhir 2006 silam. Kisah ini dia tulis dalam buku terbitan LPDS, Panduan Jurnalistik Praktis (2009).
Joseph Pulitzer/pulitzer.org |
Suatu hari, seusai perang, pria kelahiran Makó, Hungaria 10 April 1847 ini menghadap redaktur Koran Westliche Post di St. Louis, Missouri. Umur Pulitzer ketika itu baru 21 tahun. Meski dia pernah menjadi tentara, tapi perawakannya kurus dan jangkung. Sama sekali bukan tubuh ideal seorang tentara. Dia duduk dengan tangan gemetaran sambil memegang lutut. Di hadapan redaktur yang akan mengujinya sebagai wartawan, ia terlihat bodoh dan kaku.
“Tadi malam ada pencurian di toko buku Roslein. Coba kamu pergi ke sana! Cari cerita yang menarik dari orang yang bernama Peters. Kamu jangan cari sendiri, enggak bakalan bisa,” kata Redakturnya.
Tanpa bertanya apa-apa lagi, Pulitzer segera meluncur. Saat tiba di lokasi, Pulitzer dihadapkan pada kerumunan orang, sebagian dari mereka memakai pakaian bagus, dagu terangkat, angkuh seperti burung merak, membawa buku catatan dan potlot (bukan bolpoin karena bolpoin baru ditemukan 20 tahun kemudian, 1888). Mereka pasti wartawan, pikirnya. Pulitzer pun mencoba menanyakan yang mana orang bernama Peters, seperti petunjuk redakturnya. Sial, tak seorang pun sudi meladeni pertanyaan Pulitzer.
Peters sendiri adalah koordinator para wartawan. Waktu itu di St Louis, polisi hana memberi informasi kepada Peters. Dan Peters yang kemudian mendistribusikan informasi dari polisi tersebut kepada wartawan. [Coba kalau suatu informasi di-mark-up atau dikorupsi?]
Ketika Peters keluar dari toko buku setelah mewawancarai polisi, para wartawan yang dilihat Pulitzer segera mengerubunginya. “Tak banyak informasi yang kita peroleh pagi ini,” kata Peters. “Perampokan terjadi pagi tadi sebelum pak Roslein sampai di tokonya ini. Kunci pintu dibuka paksa. Peti besi dibongkar. Uang 175 dollar lenyap. Pak Roslein mencurigai seorang yang mondar-mandir tengah malam di depan toko ini. Orangnya tinggi, berambut kuning keemaasan, di pelipisnya ada cacat luka. Polisi juga mencurigai orang itu. Sudah kalian catat?” Peters mengakhirnya info yang didapatnya.
“Cuma itu Peters?” tanya wartawan.
“Ya, cuma itu.”
Para wartawan pun kemudian pulang. Sebagai wartawan baru, Pulitzer jelas bingung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Jika pulang, dia belum cukup dapat informasi, jika pun bertahan dia masih bingung harus melakukan apalagi. Soalnya, sang Redaktur tidak memberi pengarahan apa yang harus dilakukan oleh seorang wartawan (maklum masih magang). Pulitzer jelas heran dengan ulah para wartawan terhormat itu yang langsung pulang begitu dapat sedikit informasi. Bagi Pulitzer keterangan yang diberikan Peters banyak yang tidak jelas. Ia pun segera menghampiri Peters, dan dengan sangat sopan mencoba mencari informasi tambahan.
“Maaf tuan Peters, saya Joseph Pulitzer dari harian Westliche Post. Baru hari ini saya bekerja. Boleh saya bertanya, mengapa polisi mencurigai orang yang berambut kuning keemasan?”
Peters seperti tersadar dari mimpi mendapat pertanyaan itu. “Mengapa? Ya…ya…ya… mengapa. Tadi sama sekali tak terpikir oleh saya untuk bertanya mengapa? Begini saja, kamu langsung tanya sendiri pada polisi, tuh mumpung dia masih ada di dalam toko,” saran Peters.
Pulitzer bergegas masuk. Karena saking tergesa-gesanya, Pulitzer nyaris saja menabrak polisi gendut yang berdiri di balik pintu.
“Buka matamu!” bentak polisi itu. “Baca enggak tulisan di luar bahwa toko ini ditutup! Ini perintah polisi: Keluar! Kamu haru keluar!”
“Maaf pak polisi. Saya Pulitzer, Joseph Pulitzer, wartawan baru dari Westliche Post. Saya...” Pulitzer tercekat, tak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Aku baru saja memberi keterangan pada Peters. Tanya saja sama dia, kecuali kalau kamu mau tahu cara menuliskan namaku, nih baca: BACKUS. B-a-c-k-u-s. Jelas? Sekarang kamu keluar!”
Pria yang meniti karir sebagai tentara di Kerajaan Austria ini kelabakan. Untung saja pemilik toko datang menghampiri polisi. Rupanya dia mendengar percakapan tadi. Lalu berkata pada polisi. “Pak, pemuda ini saya kenal. Ia sering datang ke toko ini. Kalau bapak tidak keberatan, berilah kesempatan baginya. Ini hari pertama dia bekerja sebagai wartawan. Jadi, harap maklum kalau…”
“Ya…ya…ya…cukup! Sekarang kamu, Tuan wartawan! Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Terima kasih. Saya ingin tahu jam berapa persisnya pencurian itu terjadi.”
“Ya, enggak bisa persisnya, dong! Emang aku melihat pencurian itu terjadi! Tapi kira-kira pukul 6 pagi. Soalnya, waktu Pak Roslein tiba di sini pukul 7 gembok pintu sudah kedapatan dirusak. Pukul 5 ada satpam lewat melihat gembok masih utuh.”
“Yang buka pintu,” kata Pulitzer, “mestinya, John, pembantu Pak Roslein, apakah Pak polisi sudah menanyai John…”
Polisi itu kemudian bertanya sama Pak Roslein, “Apa Bapak punya pembantu?”
“Iya, Pak!” jawab Roslein. “John Eggers namanya. Hari ini dia tidak masuk. Kemarin minta izin tidak masuk kerja, katanya tidak enak badan.
“Pak,” kata polisi kepada Roslein. “Kenapa tadi bapak tidak bilang punya pembantu?”
“Maaf, pak polisi. Saya kira itu tidak penting. Lagi pula dia itu sakit.”
“Apakah John tahu nomor kode peti besi?”
“Oh, ya! Saya beri tahu dia. Dia itu merangkap kasir. Orangnya jujur…”
“Saya berani bertaruh,” kata polisi. “Pencurinya pasti si John. Dia sekarang sudah pergi kea rah barat naik kereta api yang pukul 7 pagi. Besok akan saya tangkap…”
Pulitzer tidak menunggu keterangan polisi selesai. Ia segera menyewa kereta kuda ke stasiun kereta api (saat itu belum zamanya mobil). Dia bertanya-tanya kepada orang-orang di stasiun, apakah mereka melihat John. Pulitzer menceritakan ciri-ciri John. Beberapa orang menyatakan bahwa mereka memang melihat pria dengan ciri-ciri seperti disebut Pulitzer. Setelah itu Pulitzer kembali ke kantor dan membuat berita kasus pencurian uang itu setengah kolom.
Esoknya, pak Redaktur Westliche Post, Koran yang berbahasa Jerman, itu mencak-mencak. Ia memarahi Pulitzer habis-habisan. “Mengapa kamu tidak ikuti kata-kata saya? Bukankah kemarin saya bilang, cukup kamu temui Peters. Tidak usah bertingkah macam-macam. Nih, akibatnya! Koran kita jadi bahan tertawaan. Berita yang kamu buat beda dengan Koran-koran lain. Semua mengatakan pencurinya orang kurus, rambut kuning keemasan…Eh, kamu tulis yang lain. Tahu nggak, ini bisa mengacaukan pekerjaan polisi. Merusak reputasi Koran kita…”
Pulitzer diam saja. Dia tak berani membantah, maklum wartawan magang.
Redaktur penanggung jawab halaman kemudian mengadukan kelakuan Pulitzer kepada atasannya. Sang atasan membaca sepintas semua koran yang memuat berita pencurian itu. “Wah, kamu ternyata telah membuat kesalahan yang buruk sekali. Ini bagaimana ceritanya, kok, bisa sampai begini?” tanya atasan Koran itu kepada Pulitzer.
Saat Pulitzer sedang bercerita, tiba-tiba terdengar suara menyela dari arah pintu. “Anak ini benar. Baru saja saya bertemu dengan pemilik toko buku. Ia mengatakan bahwa pencurinya telah ditangkap dan mengaku terus terang kepada polisi. Pencurinya, ya, si John, seperti yang ditulis di Koran kita. Saya kira besok Westliche bisa memuat cerita bagaimana wartawan kita membantu polisi menangkap pencuri.”
Maka wajar, jika namanya ditabalkan pada penghargaan bergengsi di bidang jurnalis, Pulitzer Prize. Penghargaan ini selain diberikan untuk pencapaian tertinggi dalam jurnalisme, juga diberikan dalam bidang sastra dan gubahan musik. Penghargaan tahunan ini pertama kali diadakan pada 4 Juni 1917, dan sejak beberapa waktu lalu, diumumkan setiap bulan April.
Penerima penghargaan ini dipilih oleh sebuah dewan independen yang secara resmi diatur oleh Columbia University Graduate School of Journalism (Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia) di Amerika Serikat. []
“Tadi malam ada pencurian di toko buku Roslein. Coba kamu pergi ke sana! Cari cerita yang menarik dari orang yang bernama Peters. Kamu jangan cari sendiri, enggak bakalan bisa,” kata Redakturnya.
Tanpa bertanya apa-apa lagi, Pulitzer segera meluncur. Saat tiba di lokasi, Pulitzer dihadapkan pada kerumunan orang, sebagian dari mereka memakai pakaian bagus, dagu terangkat, angkuh seperti burung merak, membawa buku catatan dan potlot (bukan bolpoin karena bolpoin baru ditemukan 20 tahun kemudian, 1888). Mereka pasti wartawan, pikirnya. Pulitzer pun mencoba menanyakan yang mana orang bernama Peters, seperti petunjuk redakturnya. Sial, tak seorang pun sudi meladeni pertanyaan Pulitzer.
Peters sendiri adalah koordinator para wartawan. Waktu itu di St Louis, polisi hana memberi informasi kepada Peters. Dan Peters yang kemudian mendistribusikan informasi dari polisi tersebut kepada wartawan. [Coba kalau suatu informasi di-mark-up atau dikorupsi?]
Ketika Peters keluar dari toko buku setelah mewawancarai polisi, para wartawan yang dilihat Pulitzer segera mengerubunginya. “Tak banyak informasi yang kita peroleh pagi ini,” kata Peters. “Perampokan terjadi pagi tadi sebelum pak Roslein sampai di tokonya ini. Kunci pintu dibuka paksa. Peti besi dibongkar. Uang 175 dollar lenyap. Pak Roslein mencurigai seorang yang mondar-mandir tengah malam di depan toko ini. Orangnya tinggi, berambut kuning keemaasan, di pelipisnya ada cacat luka. Polisi juga mencurigai orang itu. Sudah kalian catat?” Peters mengakhirnya info yang didapatnya.
“Cuma itu Peters?” tanya wartawan.
“Ya, cuma itu.”
Para wartawan pun kemudian pulang. Sebagai wartawan baru, Pulitzer jelas bingung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Jika pulang, dia belum cukup dapat informasi, jika pun bertahan dia masih bingung harus melakukan apalagi. Soalnya, sang Redaktur tidak memberi pengarahan apa yang harus dilakukan oleh seorang wartawan (maklum masih magang). Pulitzer jelas heran dengan ulah para wartawan terhormat itu yang langsung pulang begitu dapat sedikit informasi. Bagi Pulitzer keterangan yang diberikan Peters banyak yang tidak jelas. Ia pun segera menghampiri Peters, dan dengan sangat sopan mencoba mencari informasi tambahan.
“Maaf tuan Peters, saya Joseph Pulitzer dari harian Westliche Post. Baru hari ini saya bekerja. Boleh saya bertanya, mengapa polisi mencurigai orang yang berambut kuning keemasan?”
Peters seperti tersadar dari mimpi mendapat pertanyaan itu. “Mengapa? Ya…ya…ya… mengapa. Tadi sama sekali tak terpikir oleh saya untuk bertanya mengapa? Begini saja, kamu langsung tanya sendiri pada polisi, tuh mumpung dia masih ada di dalam toko,” saran Peters.
Pulitzer bergegas masuk. Karena saking tergesa-gesanya, Pulitzer nyaris saja menabrak polisi gendut yang berdiri di balik pintu.
“Buka matamu!” bentak polisi itu. “Baca enggak tulisan di luar bahwa toko ini ditutup! Ini perintah polisi: Keluar! Kamu haru keluar!”
“Maaf pak polisi. Saya Pulitzer, Joseph Pulitzer, wartawan baru dari Westliche Post. Saya...” Pulitzer tercekat, tak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Aku baru saja memberi keterangan pada Peters. Tanya saja sama dia, kecuali kalau kamu mau tahu cara menuliskan namaku, nih baca: BACKUS. B-a-c-k-u-s. Jelas? Sekarang kamu keluar!”
Pria yang meniti karir sebagai tentara di Kerajaan Austria ini kelabakan. Untung saja pemilik toko datang menghampiri polisi. Rupanya dia mendengar percakapan tadi. Lalu berkata pada polisi. “Pak, pemuda ini saya kenal. Ia sering datang ke toko ini. Kalau bapak tidak keberatan, berilah kesempatan baginya. Ini hari pertama dia bekerja sebagai wartawan. Jadi, harap maklum kalau…”
“Ya…ya…ya…cukup! Sekarang kamu, Tuan wartawan! Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Terima kasih. Saya ingin tahu jam berapa persisnya pencurian itu terjadi.”
“Ya, enggak bisa persisnya, dong! Emang aku melihat pencurian itu terjadi! Tapi kira-kira pukul 6 pagi. Soalnya, waktu Pak Roslein tiba di sini pukul 7 gembok pintu sudah kedapatan dirusak. Pukul 5 ada satpam lewat melihat gembok masih utuh.”
“Yang buka pintu,” kata Pulitzer, “mestinya, John, pembantu Pak Roslein, apakah Pak polisi sudah menanyai John…”
Polisi itu kemudian bertanya sama Pak Roslein, “Apa Bapak punya pembantu?”
“Iya, Pak!” jawab Roslein. “John Eggers namanya. Hari ini dia tidak masuk. Kemarin minta izin tidak masuk kerja, katanya tidak enak badan.
“Pak,” kata polisi kepada Roslein. “Kenapa tadi bapak tidak bilang punya pembantu?”
“Maaf, pak polisi. Saya kira itu tidak penting. Lagi pula dia itu sakit.”
“Apakah John tahu nomor kode peti besi?”
“Oh, ya! Saya beri tahu dia. Dia itu merangkap kasir. Orangnya jujur…”
“Saya berani bertaruh,” kata polisi. “Pencurinya pasti si John. Dia sekarang sudah pergi kea rah barat naik kereta api yang pukul 7 pagi. Besok akan saya tangkap…”
Pulitzer tidak menunggu keterangan polisi selesai. Ia segera menyewa kereta kuda ke stasiun kereta api (saat itu belum zamanya mobil). Dia bertanya-tanya kepada orang-orang di stasiun, apakah mereka melihat John. Pulitzer menceritakan ciri-ciri John. Beberapa orang menyatakan bahwa mereka memang melihat pria dengan ciri-ciri seperti disebut Pulitzer. Setelah itu Pulitzer kembali ke kantor dan membuat berita kasus pencurian uang itu setengah kolom.
Esoknya, pak Redaktur Westliche Post, Koran yang berbahasa Jerman, itu mencak-mencak. Ia memarahi Pulitzer habis-habisan. “Mengapa kamu tidak ikuti kata-kata saya? Bukankah kemarin saya bilang, cukup kamu temui Peters. Tidak usah bertingkah macam-macam. Nih, akibatnya! Koran kita jadi bahan tertawaan. Berita yang kamu buat beda dengan Koran-koran lain. Semua mengatakan pencurinya orang kurus, rambut kuning keemasan…Eh, kamu tulis yang lain. Tahu nggak, ini bisa mengacaukan pekerjaan polisi. Merusak reputasi Koran kita…”
Pulitzer diam saja. Dia tak berani membantah, maklum wartawan magang.
Redaktur penanggung jawab halaman kemudian mengadukan kelakuan Pulitzer kepada atasannya. Sang atasan membaca sepintas semua koran yang memuat berita pencurian itu. “Wah, kamu ternyata telah membuat kesalahan yang buruk sekali. Ini bagaimana ceritanya, kok, bisa sampai begini?” tanya atasan Koran itu kepada Pulitzer.
Saat Pulitzer sedang bercerita, tiba-tiba terdengar suara menyela dari arah pintu. “Anak ini benar. Baru saja saya bertemu dengan pemilik toko buku. Ia mengatakan bahwa pencurinya telah ditangkap dan mengaku terus terang kepada polisi. Pencurinya, ya, si John, seperti yang ditulis di Koran kita. Saya kira besok Westliche bisa memuat cerita bagaimana wartawan kita membantu polisi menangkap pencuri.”
Maka wajar, jika namanya ditabalkan pada penghargaan bergengsi di bidang jurnalis, Pulitzer Prize. Penghargaan ini selain diberikan untuk pencapaian tertinggi dalam jurnalisme, juga diberikan dalam bidang sastra dan gubahan musik. Penghargaan tahunan ini pertama kali diadakan pada 4 Juni 1917, dan sejak beberapa waktu lalu, diumumkan setiap bulan April.
Penerima penghargaan ini dipilih oleh sebuah dewan independen yang secara resmi diatur oleh Columbia University Graduate School of Journalism (Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia) di Amerika Serikat. []
Tags:
Tips