Berkunjung ke Eropa atau salah satu negara di Eropa, sama sekali tak pernah terlintas di pikiran saya. Namun, ketika kesempatan itu datang, saya senang sekali dan tak menyia-nyiakannya. Pasti banyak cerita menarik yang bisa dibagi sebagai oleh-oleh dari perjalanan, yang bagi saya meninggalkan kesan mendalam. Pasalnya, inilah perjalanan pertama saya ke negara-negara Eropa.
Saya ingat, medio Juli 2010 silam, mimpi saya mengunjungi benua biru itu bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan hampir jadi kenyataan. Saya merasa inilah kesempatan melihat kemajuan Eropa yang sebelumnya hanya saya saksikan di film-film. Segala persiapan, dari pengurusan visa, tiket dan keperluan lain, benar-benar menyita perhatian saya. Namun, saya tak mengeluh. Ini kesempatan, yang mungkin datang sekali seumur hidup. Saya tak peduli harus pakai dana sendiri untuk biaya hidup di sana, toh, untuk tiket sudah ditanggung oleh Pemerintah Aceh.
Pada 22 Juli 2010. Saya, dan dua teman, Zamah Sari dan Sayyid Machfud Zikri, berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda menggunakan pesawat Batavia Air dengan tujuan Medan. Rute keberangkatan kami ke Denmark memang melalui Banda Aceh-Medan-Singapore-Denmark.
Di Polonia Medan, kami menumpang pesawat Silk Air dengan tujuan Changi Airport di Singapore. Kami berangkat dari Medan sekitar pukul 19.00 malam. Perjalanan dari Medan ke Singapore hanya memakan waktu beberapa jam saja. Sekitar pukul 10 malam, kami tiba di Singapore Changi Airport.
Bagi saya, ini pengalaman pertama berada di bandara yang termasuk salah satu bandara terbesar di Asia. Saya takjub sekali. Kami sempat beristirahat sejenak dan ngopi-ngopi bersama teman-teman, termasuk dua orang dari Aceh Utara, Fahmi dan Tgk Khaidir (anggota DPRK Aceh Utara dari Partai Aceh, kini anggota DPR RI). Kami bertemu mereka secara tak sengaja setelah check in di Bandara Polonia, karena sama-sama tujuan Singapore dan Denmark.
Sambil beristirahat, saya memanfaatkan kesempatan untuk bermain internet di seputaran café tempat kami nongkrong. Kebetulan sekali di bandara ini memang tersedia beberapa computer untuk mengakses internet gratis. Saya memanfaatkannya untuk menghubungi pemesan tiket, meminta agar dikirimkan bukti tiket (e-ticket) kami pulang nantinya. Selain itu, saya manfaatkan untuk memantau berita atau perkembangan terbaru, termasuk status facebook tentunya.
Pukul 01.00 dinihari, kami sudah berada di ruang tunggu internasional Bandara Changi. Tak lama datang dua petugas, satu cowok dan 1 cewek, kru dari Singapore Airlines, mengecek jadwal keberangkatan kami. Kami pun didata kembali dan dimita segera check-in. Tak lama kemudian, sudah ada panggilan untuk segera masuk ke pesawat.
Di dalam pesawat, saya hanya melihat bule dan beberapa orang berwajah Asia. Wajar saja, karena pesawat ini tujuan Denmark, pasti banyak bule. Tak seperti pesawat dari Banda Aceh ke Medan, rame orang Aceh. Hehehe.
Perjalanan udara itu hanya membutuhkan waktu kurang-lebih 10 jam. Tapi, dalam pesawat terasa sangat lama. Tak terhitung, berapa kali kami harus bolak-balik toilet dan tempat duduk. Kami juga menyempatkan diri untuk tidur dan melepaskan kantuk. Setiap kali bangun, kami sadar bahwa masih berada di atas awan. Beberapa kali saya memantau layar di depan tempat duduk, mengecek sudah sampai di mana. Ternyata, di layar kami sudah melewati beberapa Negara, seperti Turki, Rusia, dan lain-lain.
23 Juli 2010. Pukul 08.00 pagi waktu setempat kami mendarat di Copenhagen Airport. Seperti bule-bule lainnya, kami mengikuti saja arah keluar dari bandara. Kami sempat tertahan sebentar di pemeriksaan (Imigrasi). Kami berlima memilih posisi yang berdekatan. Tujuannya, saat diperiksa nanti, kami bisa saling membantu. Untung saja, hanya Tgk Khaidir yang sedikit lama berada di Imigrasi. Mungkin karena wajahnya dipenuhi jenggot, sehingga dianggap berbahaya. Saya sendiri tak ditanya apa-apa, hanya diminta menunjukkan surat undangan dari lembaga yang mengundang.
Selama 14 hari di Eropa, tentu saja banyak pengalaman yang kami dapatkan. Selain itu, agar kunjungan perdana ini tak sia-sia, kami pun berniat mengunjungi beberapa Negara Eropa terdekat, tak hanya Denmark. Akhirnya, berkat bantuan teman-teman, Tarmizi Busu, dan Husaini, saya (bersama Zamah Sari dan Sayyid Machfud) bisa mengunjungi 7 Negara Eropa, selain Denmark yaitu Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss, Austria, dan Republik Ceko. Sedikitnya, 11 kota besar Eropa kami singgahi seperti Hamburg, Muenchen, Berlin, Amsterdam, Brussels, Paris, Jenewa, Bern, Zurich, Wina, dan Praha.
Mengunjungi Paris
Berada di Paris, salah satu kota terbesar di Eropa, sangat menyenangkan. Kami memasuki kota Paris sore hari. Tujuan kami sudah mantap ingin melihat dari dekat symbol kota Paris yaitu, menara Eifel.
Saya ingat, medio Juli 2010 silam, mimpi saya mengunjungi benua biru itu bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan hampir jadi kenyataan. Saya merasa inilah kesempatan melihat kemajuan Eropa yang sebelumnya hanya saya saksikan di film-film. Segala persiapan, dari pengurusan visa, tiket dan keperluan lain, benar-benar menyita perhatian saya. Namun, saya tak mengeluh. Ini kesempatan, yang mungkin datang sekali seumur hidup. Saya tak peduli harus pakai dana sendiri untuk biaya hidup di sana, toh, untuk tiket sudah ditanggung oleh Pemerintah Aceh.
Pada 22 Juli 2010. Saya, dan dua teman, Zamah Sari dan Sayyid Machfud Zikri, berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda menggunakan pesawat Batavia Air dengan tujuan Medan. Rute keberangkatan kami ke Denmark memang melalui Banda Aceh-Medan-Singapore-Denmark.
Di Polonia Medan, kami menumpang pesawat Silk Air dengan tujuan Changi Airport di Singapore. Kami berangkat dari Medan sekitar pukul 19.00 malam. Perjalanan dari Medan ke Singapore hanya memakan waktu beberapa jam saja. Sekitar pukul 10 malam, kami tiba di Singapore Changi Airport.
Bagi saya, ini pengalaman pertama berada di bandara yang termasuk salah satu bandara terbesar di Asia. Saya takjub sekali. Kami sempat beristirahat sejenak dan ngopi-ngopi bersama teman-teman, termasuk dua orang dari Aceh Utara, Fahmi dan Tgk Khaidir (anggota DPRK Aceh Utara dari Partai Aceh, kini anggota DPR RI). Kami bertemu mereka secara tak sengaja setelah check in di Bandara Polonia, karena sama-sama tujuan Singapore dan Denmark.
Sambil beristirahat, saya memanfaatkan kesempatan untuk bermain internet di seputaran café tempat kami nongkrong. Kebetulan sekali di bandara ini memang tersedia beberapa computer untuk mengakses internet gratis. Saya memanfaatkannya untuk menghubungi pemesan tiket, meminta agar dikirimkan bukti tiket (e-ticket) kami pulang nantinya. Selain itu, saya manfaatkan untuk memantau berita atau perkembangan terbaru, termasuk status facebook tentunya.
Pukul 01.00 dinihari, kami sudah berada di ruang tunggu internasional Bandara Changi. Tak lama datang dua petugas, satu cowok dan 1 cewek, kru dari Singapore Airlines, mengecek jadwal keberangkatan kami. Kami pun didata kembali dan dimita segera check-in. Tak lama kemudian, sudah ada panggilan untuk segera masuk ke pesawat.
Di dalam pesawat, saya hanya melihat bule dan beberapa orang berwajah Asia. Wajar saja, karena pesawat ini tujuan Denmark, pasti banyak bule. Tak seperti pesawat dari Banda Aceh ke Medan, rame orang Aceh. Hehehe.
Perjalanan udara itu hanya membutuhkan waktu kurang-lebih 10 jam. Tapi, dalam pesawat terasa sangat lama. Tak terhitung, berapa kali kami harus bolak-balik toilet dan tempat duduk. Kami juga menyempatkan diri untuk tidur dan melepaskan kantuk. Setiap kali bangun, kami sadar bahwa masih berada di atas awan. Beberapa kali saya memantau layar di depan tempat duduk, mengecek sudah sampai di mana. Ternyata, di layar kami sudah melewati beberapa Negara, seperti Turki, Rusia, dan lain-lain.
23 Juli 2010. Pukul 08.00 pagi waktu setempat kami mendarat di Copenhagen Airport. Seperti bule-bule lainnya, kami mengikuti saja arah keluar dari bandara. Kami sempat tertahan sebentar di pemeriksaan (Imigrasi). Kami berlima memilih posisi yang berdekatan. Tujuannya, saat diperiksa nanti, kami bisa saling membantu. Untung saja, hanya Tgk Khaidir yang sedikit lama berada di Imigrasi. Mungkin karena wajahnya dipenuhi jenggot, sehingga dianggap berbahaya. Saya sendiri tak ditanya apa-apa, hanya diminta menunjukkan surat undangan dari lembaga yang mengundang.
Selama 14 hari di Eropa, tentu saja banyak pengalaman yang kami dapatkan. Selain itu, agar kunjungan perdana ini tak sia-sia, kami pun berniat mengunjungi beberapa Negara Eropa terdekat, tak hanya Denmark. Akhirnya, berkat bantuan teman-teman, Tarmizi Busu, dan Husaini, saya (bersama Zamah Sari dan Sayyid Machfud) bisa mengunjungi 7 Negara Eropa, selain Denmark yaitu Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss, Austria, dan Republik Ceko. Sedikitnya, 11 kota besar Eropa kami singgahi seperti Hamburg, Muenchen, Berlin, Amsterdam, Brussels, Paris, Jenewa, Bern, Zurich, Wina, dan Praha.
Mengunjungi Paris
Berada di Paris, salah satu kota terbesar di Eropa, sangat menyenangkan. Kami memasuki kota Paris sore hari. Tujuan kami sudah mantap ingin melihat dari dekat symbol kota Paris yaitu, menara Eifel.
Setelah puas mengelilingi kota, kami pun memutuskan untuk mencari tempat parkir yang dekat dengan kawasan Eifel. Beruntung, tak jauh dari lokasi itu, kami menemukan tempat parkir gratis. Kami tahu gratis setelah bertanya pada beberapa orang yang lewat. Dan mereka semua mengatakan jika parkir di ruas jalan sempit itu tak perlu bayar.
Dari sana kami berlima berjalan pelan-pelan. Semua pemandangan di hadapan kami tak pernah luput. Kami juga menyempatkan diri berfoto di beberapa lokasi yang menarik. Sesekali mata kami melirik puncak Eifel.
“Ini sangat luar biasa. Tak terduga kita bisa mampir di kota ini,” kata saya pada teman-teman.
Ternyata untuk masuk ke dalam kawasan menara itu tak dipungut biaya. Kita hanya perlu membayar jika ingin menikmati pemandangan dari atas menara. Harganya bervariasi, tergantung berapa puncak yang ingin kita naiki.
Sebenarnya kami ingin mencoba sensasi naik ke atas menara dan ingin melihat kota Paris, tapi karena banyaknya antrian, mencapai puluhan meter dari tiga pintu yang dibuka, membuat kami tak selera dan tak sanggup menunggu. Soalnya, kami juga memburu waktu dan ingin segera bisa mencapai kota lain.
Kira-kira pukul 11 malam, kami semua lapar. Di kawasan menara tak ada yang jual makanan, kecuali minuman beralkohol yang kebanyakan dijajakan oleh pria dari timur tengah. Karena itu, kami pun memutuskan mencari makanan di luar kawasan menara. Itu artinya, kami harus berjalan kaki lagi.
Kawan kami, Tarmizi, segera menyetel GPS dan mencari tempat makan yang terdekat. Karena sulit mencari makanan yang halal, apalagi sudah pukul 11 malam, kami semua memutuskan mencari KFC. Itu makanan yang cukup netral. Di layar GPS terlihat bahwa kami harus berjalan kaki 3 kilometer untuk mencapai lokasi itu. Awalnya kami cukup bersemangat, tapi lama-kelamaan kaki kami makin pegal dan tak sanggup berjalan. Dalam hati kami juga bertanya-tanya, jangan-jangan setelah berjalan sejauh ini KFCnya tutup pula.
Terasa sekali. Soalnya, saya sudah jarang jalan kaki yang jaraknya 3 kilometer. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya. Untunglah, pemandangan kota Paris sangat indah, sehingga tak terasa.
Kawan kami, Husaini, seorang pengungsi politik Aceh di Denmark yang bersama-sama dengan kami, memberi saran agar kami menggunakan sepeda yang disewakan di sejumlah tempat.
Di Paris ini, bersepeda bisa menjadi alternatif transportasi, terutama bagi turis. Gerakan bersepeda sepertinya mendapat dukungan dari pemerintah, dan pemerintah menyediakan semua fasilitasnya. Sistem ini disebut Velib.
Saat kami mencari makan, di sejumlah tempat kami menemui keberadaan sepeda-sepeda ini, tapi dalam keadaan terkunci. Husaini sudah mencoba mencari tempat penyewaan, tetapi sepertinya tak didapat. Padahal, untuk bisa menyewa sepeda itu memerlukan sejenis kartu khusus atau menggunakan kartu kredit. Hal ini kami tahu setelah melihat reklame di lokasi dengan jelas.
Velib ini awalnya muncul atas inisiatif Walikota Paris saat itu, Bertrand Delanoe. Diluncurkan pertama kali pada 15 Juli 2007. Pada tahap pertama itu, digelontorkan 7 ribu unit sepeda motor yang tersebar di 750 stasiun penyewaan otomatis, masing-masing bisa menyimpan 15 unit. Tahun berikutnya, tercatat ada 20.600 sepeda yang disebar pada 1.450 stasiun sewa.
Rupanya, untuk menggunakan Velib ini, calon penyewa cukup memasukkan kartu navigo (semacam abonemen transportasi), kartu kredit atau kartu berlangganan ke setiap mesin yang ada di tempat sewa.
Sebagai orang baru di Kota Paris, kami tak tahu menahu. Akhirnya, kami pun hanya melihat saja sepeda yang diparkir secara berderet itu, karena tak tahu cara menyewanya. [bersambung]
Saya, Tarmizi, Zamah, Sayyid Machfud |
“Ini sangat luar biasa. Tak terduga kita bisa mampir di kota ini,” kata saya pada teman-teman.
Ternyata untuk masuk ke dalam kawasan menara itu tak dipungut biaya. Kita hanya perlu membayar jika ingin menikmati pemandangan dari atas menara. Harganya bervariasi, tergantung berapa puncak yang ingin kita naiki.
Sebenarnya kami ingin mencoba sensasi naik ke atas menara dan ingin melihat kota Paris, tapi karena banyaknya antrian, mencapai puluhan meter dari tiga pintu yang dibuka, membuat kami tak selera dan tak sanggup menunggu. Soalnya, kami juga memburu waktu dan ingin segera bisa mencapai kota lain.
Kira-kira pukul 11 malam, kami semua lapar. Di kawasan menara tak ada yang jual makanan, kecuali minuman beralkohol yang kebanyakan dijajakan oleh pria dari timur tengah. Karena itu, kami pun memutuskan mencari makanan di luar kawasan menara. Itu artinya, kami harus berjalan kaki lagi.
Kawan kami, Tarmizi, segera menyetel GPS dan mencari tempat makan yang terdekat. Karena sulit mencari makanan yang halal, apalagi sudah pukul 11 malam, kami semua memutuskan mencari KFC. Itu makanan yang cukup netral. Di layar GPS terlihat bahwa kami harus berjalan kaki 3 kilometer untuk mencapai lokasi itu. Awalnya kami cukup bersemangat, tapi lama-kelamaan kaki kami makin pegal dan tak sanggup berjalan. Dalam hati kami juga bertanya-tanya, jangan-jangan setelah berjalan sejauh ini KFCnya tutup pula.
Terasa sekali. Soalnya, saya sudah jarang jalan kaki yang jaraknya 3 kilometer. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya. Untunglah, pemandangan kota Paris sangat indah, sehingga tak terasa.
Kawan kami, Husaini, seorang pengungsi politik Aceh di Denmark yang bersama-sama dengan kami, memberi saran agar kami menggunakan sepeda yang disewakan di sejumlah tempat.
Di Paris ini, bersepeda bisa menjadi alternatif transportasi, terutama bagi turis. Gerakan bersepeda sepertinya mendapat dukungan dari pemerintah, dan pemerintah menyediakan semua fasilitasnya. Sistem ini disebut Velib.
Saat kami mencari makan, di sejumlah tempat kami menemui keberadaan sepeda-sepeda ini, tapi dalam keadaan terkunci. Husaini sudah mencoba mencari tempat penyewaan, tetapi sepertinya tak didapat. Padahal, untuk bisa menyewa sepeda itu memerlukan sejenis kartu khusus atau menggunakan kartu kredit. Hal ini kami tahu setelah melihat reklame di lokasi dengan jelas.
Velib ini awalnya muncul atas inisiatif Walikota Paris saat itu, Bertrand Delanoe. Diluncurkan pertama kali pada 15 Juli 2007. Pada tahap pertama itu, digelontorkan 7 ribu unit sepeda motor yang tersebar di 750 stasiun penyewaan otomatis, masing-masing bisa menyimpan 15 unit. Tahun berikutnya, tercatat ada 20.600 sepeda yang disebar pada 1.450 stasiun sewa.
Rupanya, untuk menggunakan Velib ini, calon penyewa cukup memasukkan kartu navigo (semacam abonemen transportasi), kartu kredit atau kartu berlangganan ke setiap mesin yang ada di tempat sewa.
Sebagai orang baru di Kota Paris, kami tak tahu menahu. Akhirnya, kami pun hanya melihat saja sepeda yang diparkir secara berderet itu, karena tak tahu cara menyewanya. [bersambung]
Tags:
Traveling