Dalam politik, kita sering beradu debat dan siasat. Tak putus-putusnya, hingga membuat kita terbelah-belah. Dan kita menganggapnya sesuatu yang lumrah. Meski kita tahu, banyak hal yang mesti kita korbankan untuk sesuatu yang kita bilang 'lumrah' itu.
Biasanya, dalam politik yang membuat kita terbelah itu, kita masih bisa berkilah. Malah, dalam kondisi tertentu, sesama kita sudah saling menumpahkan darah. Sebab, kita cenderung memahami politik sebagai perang. Padahal, kita yakini bersama, politik adalah perang yang tidak menumpahkan darah!
Meski dalam politik kita berbeda sikap dan warna, semua kita pasti sepakat olahraga terutama sepakbola bisa menyatukan hati yang terkoyak, memupus dendam yang tak terbalas, meminggirkan ego dan perbedaan-perbedaan. Dalam banyak kisah, ada perang yang terhenti, konflik dan perang saudara mereda. Semua karena sepakbola. Dua kubu bertikai bisa berdamai di depan layar yang menyiarkan pertandingan sepakbola.
Olahraga ini menjadikan dunia tempat kita berpijak menjadi serba indah. Orang-orang yang berbeda haluan dan kendaraan politik luluh dan bahu-membahu membela tim idola. Jika dalam politik saling berhadap-hadapan dan kerap-kali bertulak kisah, tapi dalam urusan sepakbola mereka menyatu bagai saudara. Sepakbola menjadi sarana relaksasi ketika pikiran kita banyak tersita oleh lakon politik.
Karena sepakbola menjadi bahasa universal, merekatkan warga dunia dalam satu irama. Sepakbola tak hanya bercerita soal lapangan hijau, skor, bola bundar, pemain bintang, melainkan menjamah ke semua lini kehidupan. Ada prestasi, ada kebanggaan (prestise), ada sisi perjuangan, sisi humanisme. Bahkan sepakbola sudah dipuja mendekati sebentuk religiusitas masyarakat.
Sampai-sampai, seorang filsuf eksistensialis dari Perancis keturunan Aljazair, Albert Camus mau tidak mau harus memberi perhatian pada olahraga yang diminati sejagat ini. "Dalam hal keutamaan dan
tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola," katanya.
Lalu, kenapa menerbitkan media dengan segmen olahraga, sementara media dengan tema politik lebih diminati? Ini soal pilihan. Kita di sini memilih 'sedikit' menjauh dari hiruk-pikuk politik. Politik sering membuat kita terpecah-belah, bermusuhan, dan sering hanya menghasilkan debat kusir berkepanjangan.
Politik itu tema serius, tak menyediakan ruang untuk relaksasi, sementara masyarakat kita sudah gerah dengan lakon politik yang dibumbui kekerasan. Banyak harapan diusung dan diperjuangkan kawan-
kawan di sini: menerapkan laku jurnalisme secara benar: ada sisi hiburan, pendidikan dan informasi. Intinya, tabloid olahraga kita ini tak akan mengambil salah satu dengan meninggalkan yang lain. Semua akan diberikan porsi yang seimbang. Kita akan menggabungkan sisi entertainment plus infotainment tanpa melupakan sisi informasi dan pendidikan. Kita juga berusaha menjauhkan laku jurnalisme di media kita ini dari sisi propaganda.
Biarlah urusan bersilat lidah dan bertulak kisah cukup kita temukan di media yang meminati konten politik. Kita juga berharap bisa menjaga dari pengaruh fiksi dan rekayasa yang bertujuan menipu publik. Lazim diketahui, bahwa entertainment (hiburan) dan sepupunya infotainment hanya berfokus pada hal-hal yang menggembirakan hati, kesenangan dan hiburan semata. Sementara, propaganda lebih memilih menyeleksi fakta atau mengarang fakta demi kepentingan yang sebenarnya: persuasi dan manipulasi.
Fiksi mengarang skenario untuk sampai pada kesan yang lebih personal dari apa yang disebut kebenaran. Menurut Bill Kovach, dari semua model itu, hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya.
Sebagai jurnalis, kita meyakini ada garis yang tak boleh kita lewati dan langgar. Garis-garis ini bisa berupa kode etik, bisa undang-undang, atau pun kearifan yang kita yakini kebenarannya. Kita
memperlakukan garis ini sebagai panduan dan petunjuk, pembatas, dan titik pemisah, agar kita terus berjalan pada sisi yang benar. Sebab, jika kita sudah melewati garis itu, apapun yang kita lakukan menjadi tidak berguna dan sia-sia.
Kita menyebut garis pembatas itu sebagai 'offside', untuk nama media baru ini. Offside ini suatu istilah yang digunakan dalam sepakbola, dan secara bebas diartikan 'di luar posisi'. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai the mistake of occupying an illegal position on the playing field (kesalahan menduduki posisi ilegal di lapangan bermain). Jika sang pemain yang sudah terjebak dalam posisi offside memasukkan bola ke gawang lawan, gol tersebut akan dianulir (tidak sah).
Kita memilih nama offside untuk tabloid, karena kata ini bisa mewakili keseluruhan isi media ini. Di samping itu, kata ini juga relevan digunakan untuk bidang lain, tak hanya dalam sepakbola. Apapun yang dilakukan selama tidak keluar dari batas yang ditentukan, sah-sah saja.
Karenanya, kita berharap media baru ini tidak melewati batas, terutama yang digariskan oleh kode etik profesi dan undang-undang yang berlalu. Sehingga media ini terus diterima dan menjadi kebanggaan kita bersama. Besar harapan kami, meski tabloid ini produk lokal, mudah-mudahan semangatnya mencerminkan universalitas sepakbola. Selamat membaca!
--->Sudah dimuat di edisi percobaan Tabloid Offside, 15-25 November 2012
Biasanya, dalam politik yang membuat kita terbelah itu, kita masih bisa berkilah. Malah, dalam kondisi tertentu, sesama kita sudah saling menumpahkan darah. Sebab, kita cenderung memahami politik sebagai perang. Padahal, kita yakini bersama, politik adalah perang yang tidak menumpahkan darah!
Meski dalam politik kita berbeda sikap dan warna, semua kita pasti sepakat olahraga terutama sepakbola bisa menyatukan hati yang terkoyak, memupus dendam yang tak terbalas, meminggirkan ego dan perbedaan-perbedaan. Dalam banyak kisah, ada perang yang terhenti, konflik dan perang saudara mereda. Semua karena sepakbola. Dua kubu bertikai bisa berdamai di depan layar yang menyiarkan pertandingan sepakbola.
Olahraga ini menjadikan dunia tempat kita berpijak menjadi serba indah. Orang-orang yang berbeda haluan dan kendaraan politik luluh dan bahu-membahu membela tim idola. Jika dalam politik saling berhadap-hadapan dan kerap-kali bertulak kisah, tapi dalam urusan sepakbola mereka menyatu bagai saudara. Sepakbola menjadi sarana relaksasi ketika pikiran kita banyak tersita oleh lakon politik.
Karena sepakbola menjadi bahasa universal, merekatkan warga dunia dalam satu irama. Sepakbola tak hanya bercerita soal lapangan hijau, skor, bola bundar, pemain bintang, melainkan menjamah ke semua lini kehidupan. Ada prestasi, ada kebanggaan (prestise), ada sisi perjuangan, sisi humanisme. Bahkan sepakbola sudah dipuja mendekati sebentuk religiusitas masyarakat.
Sampai-sampai, seorang filsuf eksistensialis dari Perancis keturunan Aljazair, Albert Camus mau tidak mau harus memberi perhatian pada olahraga yang diminati sejagat ini. "Dalam hal keutamaan dan
tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola," katanya.
logo Tabloid Offside |
Politik itu tema serius, tak menyediakan ruang untuk relaksasi, sementara masyarakat kita sudah gerah dengan lakon politik yang dibumbui kekerasan. Banyak harapan diusung dan diperjuangkan kawan-
kawan di sini: menerapkan laku jurnalisme secara benar: ada sisi hiburan, pendidikan dan informasi. Intinya, tabloid olahraga kita ini tak akan mengambil salah satu dengan meninggalkan yang lain. Semua akan diberikan porsi yang seimbang. Kita akan menggabungkan sisi entertainment plus infotainment tanpa melupakan sisi informasi dan pendidikan. Kita juga berusaha menjauhkan laku jurnalisme di media kita ini dari sisi propaganda.
Biarlah urusan bersilat lidah dan bertulak kisah cukup kita temukan di media yang meminati konten politik. Kita juga berharap bisa menjaga dari pengaruh fiksi dan rekayasa yang bertujuan menipu publik. Lazim diketahui, bahwa entertainment (hiburan) dan sepupunya infotainment hanya berfokus pada hal-hal yang menggembirakan hati, kesenangan dan hiburan semata. Sementara, propaganda lebih memilih menyeleksi fakta atau mengarang fakta demi kepentingan yang sebenarnya: persuasi dan manipulasi.
Fiksi mengarang skenario untuk sampai pada kesan yang lebih personal dari apa yang disebut kebenaran. Menurut Bill Kovach, dari semua model itu, hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya.
Sebagai jurnalis, kita meyakini ada garis yang tak boleh kita lewati dan langgar. Garis-garis ini bisa berupa kode etik, bisa undang-undang, atau pun kearifan yang kita yakini kebenarannya. Kita
memperlakukan garis ini sebagai panduan dan petunjuk, pembatas, dan titik pemisah, agar kita terus berjalan pada sisi yang benar. Sebab, jika kita sudah melewati garis itu, apapun yang kita lakukan menjadi tidak berguna dan sia-sia.
Kita menyebut garis pembatas itu sebagai 'offside', untuk nama media baru ini. Offside ini suatu istilah yang digunakan dalam sepakbola, dan secara bebas diartikan 'di luar posisi'. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai the mistake of occupying an illegal position on the playing field (kesalahan menduduki posisi ilegal di lapangan bermain). Jika sang pemain yang sudah terjebak dalam posisi offside memasukkan bola ke gawang lawan, gol tersebut akan dianulir (tidak sah).
Kita memilih nama offside untuk tabloid, karena kata ini bisa mewakili keseluruhan isi media ini. Di samping itu, kata ini juga relevan digunakan untuk bidang lain, tak hanya dalam sepakbola. Apapun yang dilakukan selama tidak keluar dari batas yang ditentukan, sah-sah saja.
Karenanya, kita berharap media baru ini tidak melewati batas, terutama yang digariskan oleh kode etik profesi dan undang-undang yang berlalu. Sehingga media ini terus diterima dan menjadi kebanggaan kita bersama. Besar harapan kami, meski tabloid ini produk lokal, mudah-mudahan semangatnya mencerminkan universalitas sepakbola. Selamat membaca!
--->Sudah dimuat di edisi percobaan Tabloid Offside, 15-25 November 2012
Tags:
editorial