Honor Pertama Saya Rp2.500

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman terkait honor tulisan. Ini menarik. Bagi beberapa orang, mereka menulis karena ingin memperoleh honor. Tapi, banyak juga yang tidak memikirkan honor, yang penting tulisannya dimuat dan pemikirannya tersebar luas. Jika ditanya, saya masuk kategori mana? Saya akan dengan jujur menjawab bahwa saya termasuk dua-duanya: honor dan distribusi pemikiran.

Mau tahu tulisan pertama saya yang mendapat honor? Judulnya (kalau tidak salah) 'Pidato Butuh Retorika'. Tulisan ini awalnya hanya tugas kuliah (makalah). Kemudian saya permak dalam bentuk populer. Lalu saya kirim ke Gema Baiturrahman. Kebetulan, saya punya kenalan di Gema. Namanya, Sayed Muhammad Husen. Beliau yang meminta agar saya mengirim tulisan ke Gema. Maka, makalah yang sudah saya permak itu saya kirim. Akhirnya tulisan tersebut dimuat di bulletin yang terbit tiap Jumat itu, kira-kira akhir 2000.

Awalnya, saya sama sekali tak berpikir bahwa tulisan itu ada honornya. Tapi, dalam suatu kesempatan, bang Sayed Muhammad Husen memberi tahu saya bahwa honor untuk tulisan saya sudah cair. Saya pun diminta untuk segera mengambilnya. "Cukuplah buat makan," kira-kira begitu katanya saat itu. Saya berpikir, pasti honornya antara Rp25.000-50.000. Jumlah ini memang lebih dari cukup untuk makan.

Besoknya ketika mampir ke Iskada (Ikatan Siswa Kader Dakwah), saya menyempatkan diri menemui admin Gema Baiturrahman. Namanya, ibu Nora (kalau tidak salah). Setelah memberi tahu maksud saya, saya dipersilahkan duduk. Tak lama saya diminta menandatangani sebuah kwitansi. Beres. Saya pun dikasih uang (Saya lupa apakah saat itu pake amplop atau tidak). Yang pasti, honor pertama tulisan saya 'Pidato Butuh Retorika' itu dibayar RpRp2.500. 'Kalau tahu honornya segitu, saya pasti tak mengambilnya, biarlah itu menjadi sumbangan,' itu yang saya pikir begitu tahu jumlahnya. Tapi itulah honor pertama yang saya terima dari media.

Apakah semua tulisan saya yang dimuat di media dibayar?
Secara jujur saya harus jawab: Tidak! Saya ingat, saat duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA), tulisan saya dalam bentuk puisi dimuat di Majalah Santunan milik Departemen Agama (Depag) Aceh. Ada dua puisi yang dimuat di majalah bulanan tersebut. Seorang teman sekolah saya, kebetulan dia punya famili yang bekerja di kantor Depag, memberi tahu saya bahwa tiap tulisan yang dimuat di majalah Santunan itu ada honornya. Saya terus terang senang. Siapa sih yang nggak senang dapat honor dari tulisan. Tapi hingga saya lulus dari MAN 1 Sigli, tak pernah mendapatkan kiriman wesel.

Apakah itu hanya kejadian pertama? Tidak juga. Soalnya, ketika masih duduk di bangku MAN, saya juga rajin mengirim tulisan ke Harian Waspada. Jika dihitung-hitung, cukup banyak puisi saya yang dimuat di rubrik Abakadabra pada koran terbitan Medan tersebut. Malah, sesekali puisi saya muncul di majalah Dunia Wanita, anak (atau suplemen) Koran tersebut. Tak hanya puisi, karena saya juga rajin mengirim cerita pendek (Cerpen). Ada beberapa cerpen saya yang dimuat seperti Potret Tua, Parjo, dan Kamp Konsentrasi. Waktu itu saya menggunakan nama pena 'Taufik El Campli'. Semua tulisan ini dimuat tahun 1999.

Menurut informasi yang saya terima, tiap tulisan yang dimuat di Koran yang didirikan Muhammad Said dan Ani Idrus tersebut akan menerima honor. Tapi, saya tak pernah mendapatkan kiriman honor dalam bentuk wesel, meski dalam setiap kiriman naskah saya mencantumkan alamat sekolah lengkap. Setelah cerpen pertama, Potret Tua, dimuat, saya menunggu kiriman honor, meski orientasi saya saat itu adalah bagaimana agar nama saya muncul di Koran. Dimuat saja sudah senang, apalagi kalau mendapat honor. Begitu pikir saya saat itu.

Meski tak pernah menerima kiriman honor, kepada teman-teman saya selalu bilang bahwa tulisan saya dibayar. Sehingga saya terpaksa berbohong tiap kali ditanya berapa honor tulisan tersebut. Jangankah teman, saya juga membohongi orang tua. Ini wajar, karena untuk mendukung aktivitas saya menulis, mereka menghadiahkan saya satu unit mesin tik. Makanya, jika ditanya apakah tulisan yang dimuat itu dibayar, saya menjawabnya: dibayar. Tentu dengan menyebutkan angka sekian-sekian.
Begitulah, pengalaman saya merintis karir sebagai penulis. Saat itu, yang kita pikirkan bagaimana nama kita establish dan dikenal orang. Selain itu bagaimana kita terus produktif menulis dan kemampuan menulis makin terasah. Sehingga sama sekali tak begitu memikirkan honor, meski sering menunggu wesel juga. Semua itu bagian dari proses yang harus kita jalani, jangan pernah menyerah pada kondisi. [bersambung]

Sumber gambar: di SINI

Post a Comment

Previous Post Next Post