Saat kuliah, minat
saya menulis puisi dan cerpen berkurang. Saya lebih tertantang menulis opini.
Pertimbangannya, rubrik puisi atau cerpen itu hanya muncul seminggu sekali di
Serambi Indonesia. Sementara rubrik Opini muncul setiap hari, kecuali Minggu.
Saya paling senang membaca rubrik Opini. Kebiasaan membaca rubrik opini ini
saya lakukan ketika duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP).
Sejak itu saya bercita-cita
suatu saat bisa menempelkan nama di rubrik Opini tersebut. Saya pun ingat,
setidaknya dua-tiga kali mengirim artikel ke rubrik tersebut. Tapi, hingga saya
tamat dari MA, tak ada satu pun tulisan saya yang dimuat. Malah, yang sering
dimuat hanya Surat Pembaca [komentar pembaca]
Bahkan, ketika duduk di bangku kuliah keinginan menulis opini makin menggebu-gebu. Saya sangat tertantang. Ingin sekali melihat nama saya muncul di rubrik tersebut. Apalagi, banyak nama beken yang tulisannya sering saya baca di Tabloid Kontras saat masih duduk di bangku MA juga sering muncul di rubrik opini. Rata-rata yang menulis itu kalangan Dosen atau pengamat. Bayangkan, jika tulisan kita muncul juga di rubrik opini. Duh, betapa bangganya.
Bahkan, ketika duduk di bangku kuliah keinginan menulis opini makin menggebu-gebu. Saya sangat tertantang. Ingin sekali melihat nama saya muncul di rubrik tersebut. Apalagi, banyak nama beken yang tulisannya sering saya baca di Tabloid Kontras saat masih duduk di bangku MA juga sering muncul di rubrik opini. Rata-rata yang menulis itu kalangan Dosen atau pengamat. Bayangkan, jika tulisan kita muncul juga di rubrik opini. Duh, betapa bangganya.
Saya pun mencoba
mengirimkan tulisan. Saya tak tahu, apakah tulisan yang saya kirim itu yang
pertama, kedua atau ketiga. Yang pasti, saat tulisan saya muncul di Serambi,
saya sama sekali tak tahu. Entah karena tulisan yang ditunggu-tunggu tak dimuat
atau ada kesibukan lain. Saya tahu tulisan saya dimuat dua hari kemudian, justru dari orang lain. Saat lagi bicara dengan teman, datang kawan si teman itu, dan memperkenalkan nama saya: Taufik Al Mubarak. "Oh, yang tulisannya dimuat di Serambi kemarin ya?". Saya jadi bingung.
Saya pun sibuk
mencari-cari koran tersebut di kantor Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)
di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh. Akhirnya ketemu. Saya membuka halaman 6
dan melihat nama saya ada di tulisan paling bawah (rubrik Opini memuat
dua artikel tiap harinya), dengan judul tulisan ‘Puasa dari Nafsu Jahat’.
Tertulis ‘Oleh Taufik Al Mubarak MA’ dan di akhir tulisan ada penjelasan:
Penulis adalah Mahasiswa IAIN Ar Raniry. Kebetulan tulisan itu saya tulis
menjelang masuk bulan puasa.
Saya senang bukan
main. Bukan hanya karena tulisan tersebut ada honornya, melainkan karena
akhirnya nama saya bisa disejajarkan dengan penulis-penulis yang kebanyakan
dosen dan pengamat politik. Nama saya ada di antara nama-nama penulis yang saya
kagumi waktu MAN dulunya.
Dulu, pengambilan
honor tulisan harus dilakukan tiap awal bulan. Saya pun menunggunya. Tibalah
saat yang ditunggu. Saya pun mempersiapkan segala keperluan, seperti foto copy
KTP, kliping koran dan tentu saja wajah yang berseri-seri. Sebab, ini merupakan
honor pertama saya dari Serambi Indonesia. Jika tak salah, ketika mengambil
honor saya datang bersama M Rizal Falevi [Jika ingat cerita ini, Falevi pasti akan langsung tertawa]. Pulang kuliah siang, kami meluncur ke
kantor Serambi Indonesia di kawasan Baet—arah Krueng Raya—Aceh Besar. Prosesnya
tak lama, saya pun pulang. Jika tak salah, honor yang saya terima waktu itu
Rp40.000. Uang itu cukup untuk makan dan minum juice di Café Wareeh, Lamprit,
Banda Aceh.
Pernah sekali
waktu, tulisan saya juga muncul satu halaman penuh di Tabloid Kontras. Padahal,
tulisan itu saya kirim ke Serambi Indonesia. Mungkin karena tulisan saya yang
lain sudah dimuat di Serambi, maka artikel ‘1 Muharram dan Isyarat Perdamaian’
akhirnya dimasukkan ke Tabloid Kontras. Saya senang bukan main. Karena honor
yang akan saya ambil ada dua: Rp40.000 untuk artikel di Serambi, dan Rp50.000
untuk artikel di Kontras. Total Rp90.000. Uang sejumlah itu untuk anak kuliah
sudah cukup besar, bukan?
Tags:
biografi