Selama bulan Ramadan, dan lebih-lebih nanti mendekati lebaran, harga-harga
di pasaran, seperti pakaian dan kebutuhan lebaran akan melonjak naik. Jika tak pandai-pandai melakukan penawaran, kita akan jadi bahan mainan penjual.
Lihat saja para penjual pakaian. Di setiap sudut kota sudah mulai membuka
lapak. Kota menjadi sesak dengan para penjual musiman itu. Hampir tak ada ruang
tersisa. Semua dipenuhi penjual pakaian. Ya, inilah momen untuk mendonkrak
penjualan dan mencari rezeki secara halal. Mendekati lebaran, permintaan akan
pakaian dan kebutuhan rumah tangga meningkat-tajam.
Sebagai pembeli, apa yang harus kita lakukan? Jika meminjam saran Roger
Dawson, penulis buku Secrets of Power Negotiating
(Rahasia Negosiator Ulung), yang perlu kita lakukan adalah ‘meminta lebih dari
yang kita harapkan’. Misalnya, saat membeli sebuah baju, sang penjual
menyatakan bahwa harga baju tersebut Rp270.000,’ sementara kita tahu bahwa baju
serupa yang banyak dijual di pasaran itu harganya berkisar Rp210.000. Yang
perlu kita lakukan adalah menawar baju tersebut seharga Rp180.000 dengan asumsi
pasti sang penjual tak akan melepaskan baju itu dengan harga demikian. Sang
penjual pasti akan mempertahankan harga seperti harga pasaran yaitu Rp210.000.
Masih ingat dengan perundingan di Helsinki, antara Pemerintah RI dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 silam. Jika boleh berasumsi, para
perunding GAM saat itu mungkin saja sudah menetapkan batas minimal tuntutan
yang bakal dipenuhi oleh pemerintah RI adalah otonomi khusus dengan beberapa
hak istimewa. Mereka yakin Pemerintah RI tak mungkin memenuhi tuntutan
kemerdekaan yang diinginkan mereka. Bisa jadi, dalam perundingan, perunding GAM
meminta tuntutan kemerdekaan (tuntutan maksimal) sementara yang mereka harapkan
hanya otonomi khusus seperti yang dinikmati selama ini.
Terkait ‘mintalah lebih dari yang Anda harapkan’ ada satu contoh yang
sepertinya menarik kita simak. Oleh Roger Dawson, cerita sengaja disisipkan agar
kita lebih mudah memahami prinsip awal dalam negosiasi yang dibahas dalam buku
karyanya tersebut. Begini ceritanya:
Dahulu kala, di sebuah pulau di Kepulauan Fasifik, ada sepasang suami-istri
yang sudah tua renta yang tinggal dalam sebuah gubuk reyot beratapkan jerami.
Suatu hari angin ribut melanda desa dan memorak-porandakan rumah mereka. Karena
mereka sudah terlalu tua dan miskin untuk membangun kembali gubuk itu, pasangan
itu pindah ke rumah anak perempuannya yang sudah menikah.
Masuknya pasangan tua renta ini membuat keadaan keluarga anak perempuan itu
menjadi tidak nyaman karena pondok itu sempit dan rasa-rasanya hanya cukup
untuk keluarga sendiri—untuk dirinya, suami, dan keempat anak mereka, apalagi
dengan adanya saudara-saudara ipar.
Perempuan itu lalu pergi ke seorang bijak di desa itu, menjelaskan masalah
yang dihadapinya dan memohon, “Apa yang seharusnya kami lakukan?”
Orang bijak tersebut menghisap perlahan-lahan pipa rokoknya lalu
menghembuskan asapnya sambil menjawab, “Kamu punya ayam, iya kan?”
“Ya,” jawabnya, “kami memiliki 10 ekor ayam.”
“Kalau begitu masukan ayam-ayam tersebut ke dalam pondokmu.”
Ini menggelikan atau aneh menurut perempuan itu, namun dia melaksanakan
nasehat orang bijak tersebut. Pindahnya ayam-ayam ke dalam pondok semakin
memperparah masalah dan situasi segera saja menjadi tak karuan, karena
bulu-bulu ayam juga kata-kata umpatan berhamburan di dalam pondok itu.
Perempuan itu kembali ke orang bijak itu lagi, memohon nasihat lagi.
“Kamu punya piaraan kambing, bukan?”
“Ya, kami punya tiga ekor kambing.”
“Jika demikian masukkan juga kambing-kambing tersebut ke dalam pondokmu.”
Lagi-lagi nasehat itu aneh menurutnya, namun rasanya tidak pantas jika ia
bertanya kepada orang bijak tersebut, maka ia membawa serta ketiga ekor
kambingnya masuk ke dalam pondok. Akibatnya, pondok sudah tidak layak huni lagi
dengan penghuni delapan orang, sepuluh ekor ayam dan tiga ekor kambing, yang
sama-sama berebut tempat apalagi ditambah suara berisik tak terkira. Suami anak
perempuan itu mengeluh bahwa ia tidak dapat lagi mendengarkan radio dengan
segala kegaduhan yang terjadi dalam pondok itu.
Keesokan harinya perempuan itu, cemas akan kesehatan psikologis
keluarganya, datang menghadap orang bijak itu lagi dengan permohonan terakhir
yang memelas. “Tolonglah,” ratapnya, “kami tidak bisa hidup seperti ini.
Katakan apa yang harus saya lakukan dan saya akan melakukannya, tapi tolonglah
saya.”
Kali ini jawaban orang bijak tersebut mengandung teka-teki, namun mudah
dilaksanakan. “Keluarkan ayam-ayam dan kambing-kambing dari pondokmu.” Ia
dengan cepat mengeluarkan binatang-binatang tersebut dan, akhirnya seluruh
keluarga yang tinggal di dalam pondok itu hidup bahagia bersama-sama
setelahnya.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas? Bahwa sebuah
perundingan atau negosiasi akan selalu terlihat lebih baik setelah sesuatu yang
mengganjal dibuang atau diabaikan.
Bagaimana, menginspirasi bukan?
Tags:
catatan