Menulis itu Melatih Kejujuran

Ilustrasi (foto: pixabay)
Budaya copy-paste merupakan buah 'manis' dari kemajuan teknologi-informasi. Hampir semua informasi kini terhidang di internet. Untuk mengakses informasi-informasi itu cukup mudah, tak butuh keahlian khusus. Hanya dengan mengetik beberapa kata kunci (keyword) di kolom pencarian pada mesin pencari, dalam hitungan detik, ribuan bahkan jutaan informasi tersedia dengan lengkap.

Kemudahan itu pula yang mengubah dunia tulis-menulis. Dulu, kegiatan tulis-menulis hanya hak eksklusif beberapa orang saja, milik seniman, pujangga atau jurnalis. Kini, orang biasa juga sudah mampu menulis dengan baik, hanya mengandalkan potongan-potongan informasi di internet. Ringkasnya—meminjam istilah TD Waringin—yang perlu dilakukan hanya tiga langkah saja: Ambil, Tiru dan Modifikasi (ATM). Inilah yang menyuburkan praktik copy-paste atau plagiarism. Akibatnya, hampir 70 persen lebih konten di dunia maya (internet) adalah produk copy-paste yang termodifikasi.

Padahal, bagi para penulis pemula, selalu diingatkan bahwa plagiarisme adalah musuh para penulis. Tak ada kehormatan bagi para penulis yang melakukan plagiat. Dia tak hanya melabrak kode etik hak kekayaan intelektual, melainkan juga moralitas personal. Sekali ketahuan menceplak (plagiat) seumur hidup kita harus menanggung malu. Bagi para penulis di media, ada sanksi bagi siapa pun yang terbukti melakukan plagiat, mulai dari teguran, honor ditahan hingga black-list seumur hidup. Hasilnya, tak ada media yang bersedia menerima tulisan dari seorang pelaku plagiat. Bayangkan, jika ada orang mengirim surat pembaca ke media yang memuat tulisan kita bahwa kita seorang plagiator. Duh, betapa malunya.

Kenapa praktik plagiarisme ini harus dihindari? Pertama, dengan melakukan plagiat (juga mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan kita) kita telah merendahkan martabat diri sendiri. Kita tak berhak mendapatkan kehormatan atas tulisan hasil plagiat! Kedua, plagiarisme itu selain merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain. Melakukan plagiat berarti kita tak menghargai hasil jerih payah orang lain. Ini tak ada bedanya dengan orang yang melakukan pembajakan terhadap lagu dan film orang lain. Ketiga, dengan melakukan praktik plagiarisme sama artinya kita tak percaya pada kemampuan sendiri. Padahal masing-masing kita memiliki kelebihan dan gaya menulis yang berbeda dari orang lain. Keempat, tingkat kepercayaan terhadap tulisan hasil plagiat biasanya cukup rendah. Jika dalam istilah hadist, ini disebut dengan hadist lemah, karena tak jelas sanad (urutan perawi) dan matannya (redaksi atau kalimat).

Karena itu, sepatutnya praktik plagiat itu kita hindari. Tulisan adalah sebuah produk yang menunjukkan sang penulisnya. Kualitas dan tingkat kepercayaan terhadap sebuah tulisan sangat ditentukan oleh seberapa jujurnya kita dalam menulis. Jika harus mengutip pendapat orang, kita harus secara jujur mengakuinya dengan cara menyebutkan sumber (referensi) di mana kita mengambilnya. Menulis berarti melatih kejujuran, dan kredibilitas sang penulis sangat ditentukan seberapa jujur sebuah tulisan yang dihasilkan! []

Post a Comment

Previous Post Next Post