Lailatul Qadar dan Kayee Sujud

Nama lelaki itu, sebut saja Si Polan. Saya harap ini bukan nama sebenarnya. Di kampungku, dia cukup terkenal. Bukan karena jago menyanyi atau bermain bola volly. Juga bukan karena pandai bermain bola. Tidak. Dia tak begitu senang dengan hal-hal demikian, meski dia senang menonton konser musik, senang menonton pertandingan bola volly atau sepakbola. Di kampungku dia terkenal karena sangat jago bermain judi, poker atau permainan yang melibatkan uang. Dalam permainan domino (meu-en batee), dia dikenal sebagai Dewa Batee, saking ahlinya menebak batu angka berapa di genggaman lawan maupun kawan mainnya.

Kalau meminjam istilah dari Yusri Puteh, seorang dai kondang Aceh, si Polan ini bisa disebut sebagai pemuda u groh (kelapa yang belum muda). U groh, itu biasanya tak disukai oleh pecinta kuliner kelapa karena airnya tak enak untuk diminum (kata orang airnya bei chung), juga tak ada isinya. Sebutan pemuda u groh itu wajar. Tiap adzan magrib, dia masih berleha-leha di pos jaga. Malah, saat mendengar adzan magrib, dia langsung mengomel: "Yeh, bilue meunaseh ka geu meurajah!" atau "Asai ka meugreb, ka ibang, sembahyang, meuzikir...aleh pue-pue dum. Tacok meunasah tatiek lam lhueng nyang paih."

Makanya, beberapa orang di kampung menyebut perilaku dia itu sebagai 'paleh meuteuraweh, ban lahe paleh ka dipreh'. Benar-benar reman dia. Sama sekali tidak sampai syariat ke dalam hatinya. Dia belum mendapat hidayah, begitu orang-orang menyebut tentang perilaku dia.

Pada suatu malam di bulan ramadhan, dia terbangun tengah malam. Dia ingin buang air besar. Dia pun segera ke belakang rumah, yang ada rabon (sejenis kebun tak terurus) untuk buang hajat. Setelah ketemu tempat yang nyaman, dia pun segera melepas sarung. Dia letakkan sarung di atas cabang pohon, kebetulan berada di sebelah kanannya. Dia pun membuang hajat dan begitu puas karena kotoran di tubuhnya kini sudah berada di luar. Begitu selesai, dia pun hendak mengambil kain sarung yang diletakkan di cabang pohon tadi. Eh, rupanya sudah tak ada lagi. Jangankan kain sarung, kini cabang pohon itu pun sudah tak ada lagi. Dia baru sadar, bahwa cabang pohon itu berasal dari pohon bayu yang berada puluhan meter dari tempat dia buang hajat. Si Polan baru ingat, bahwa dia baru saja mengalami peristiwa kayee sujud yang diasosiasikan dengan malam qadar! Besok paginya, kain itu ditemukan berada di atas pohon. [emang kain bisa manjat?]

Kejadian kayee sujud yang dialami Si Polan rupanya juga dialami seorang Teungku gampong. Dia sering melakukan shalat tahajud di per tiga malam. Begitu terbangun tengah malam. Dia pun bergegas ke sumur yang berada di belakang rumah. Sumur itu, di sisi kiri-kanan, depan belakang sudah diberi pembatas sehingga orang luar tak bisa melihat aktivitas orang di dalam sumur. Si Teungku itu meletakkan kain sarung dan peci yang dikenakannya. Di dinding sumur itu biasanya ada tempat gantung sesuatu, terbuat dari kayee jeuneurob. Karena lupa di mana letaknya, dia pun menaruh kain dan pecinya asal-asalan, di cabang pohon yang mengarah ke dalam sumur. Dia pun buang air kecil dan mengambil wudhuk. Semua prosesi itu menghabiskan waktu lebih dari lima menit. Begitu selesai, dia pun hendak mengambil kain dan peci. Eh, sudah tak ada di tempatnya. Batang kayu juga sudah tak ada lagi. Dia bingung dan sibuk mencari kesana-kemari. Tetap tidak ketemu. Dia heran, bukan main.

Karena tak mau pusing, apalagi kondisi yang sedikit gelap, dia pun masuk ke dalam rumah. Baru besoknya, dia melihat bahwa peci dan kain sarungnya tersangkut di atas pohon jambu. Istrinya yang memberi tahu kejadian aneh tersebut. Dia pun baru sadar bahwa sudah mengalami malam qadar atau peristiwa kayee sujud.

Kisah-kisah begitulah yang sering diceritakan para orang tua kepada anak-anaknya tentang Lailatul Qadar atau malam qadar atau malam kemuliaan itu. Bahwa, pada malam qadar itu ada peristiwa kayee sujud, tanda betapa mulianya malam tersebut. Tapi, jika ditanya kapan malam qadar, tak seorang pun yang tahu. Benar-benar penuh misteri. Hanya Tuhan saja selaku sang pencipta yang tahu kapan persisnya malam Qadar.

Al Quran yang menjadi pedoman hidup umat Islam itu, turun pada malam Qadar atau pada 17 Ramadhan. Setidaknya, begitulah yang kita baca. Ada penegasan juga dalam Al Quran. Lalu, kapan sebenarnya malam yang menurut Al Quran itu lebih baik dari seribu bulan? Wallahu' alam.

Menurut yang kita baca dalam buku-buku agama atau kita dengar dari para alim ulama, Nabi Muhammad SAW memberitahukan kepada para sahabat agar mencari dan menunggu malam qadar itu pada sepuluh akhir bulan Ramadhan, terutama di malam-malam ganjil: malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, dan malam 29. Karena disebut pada malam ganjil, maka tak sedikit kemudian kita lihat fenomena bahwa jamaah terawih sering menyusut pasca 15 Ramadhan, tiba-tiba menjadi ramai lagi ketika malam-malam ganjil pada sepuluh akhir Ramadhan. Semua mengharapkan dan menanti malam qadar!

Saking mulianya malam qadar, Allah mengutus malaikat Jibril untuk memantau umat Muhammad. Karena, siapa pun yang beribadah pada malam tersebut, maka amal ibadahnya itu setara dengan ibadah yang dilakukan selama 83 tahun 4 bulan. Siapa yang tidak kepingin kan?

Karena begitu mulianya malam qadar, menurut cerita-cerita dari orang tua, kayu pun ikut bersujud memuji Tuhan yang disebut dengan kayee sujud. Siapa pun yang bisa melihat kayee sujud maka dia akan memperoleh kemuliaan. Begitu sering disampaikan. Bahwa, dengan melihat kayee sujud semua keinginan akan dikabulkan. Yang miskin menjadi kaya, yang bodoh menjadi pintar, orang jahat menjadi baik, yang tidak bisa mengaji akan menjadi alim ulama dan sebagainya.

Jika benar-benar ada, mudah-mudahan ramadhan ini kita semua dapat melihat kayee sujud sembari menyempatkan diri beribadah di malam penuh kemuliaan tersebut. []

Post a Comment

Previous Post Next Post