Secara ejaan, Aceh mungkin sebuah kata yang cukup singkat di lidah kita. Sebagai daerah bekas konflik, Aceh merupakan titik masalah yang tak sepenuhnya selesai. Bahkan, setelah delapan tahun usia perdamaian, jika tak pandai-pandai dikelola, masa transisi Aceh justru bisa berujung berantakan.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, setidaknya karena dua alasan. Pertama, energi elit politik di Aceh kini terkuras dan disibukkan oleh masalah simbolik: Qanun Wali Nanggroe, Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Kedua, Pemerintah Aceh lupa membangun kesejahteraan sebagai esensi membangun Aceh Baru yang lebih bermartabat. Bagaimanakah proyeksi masa depan Aceh di tengah kondisi tersebut?
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, setidaknya karena dua alasan. Pertama, energi elit politik di Aceh kini terkuras dan disibukkan oleh masalah simbolik: Qanun Wali Nanggroe, Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Kedua, Pemerintah Aceh lupa membangun kesejahteraan sebagai esensi membangun Aceh Baru yang lebih bermartabat. Bagaimanakah proyeksi masa depan Aceh di tengah kondisi tersebut?
Skenario Aceh
Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) menerbitkan sebuah dokumen Aceh Meniti Transisi: Draft Scenario Aceh Masa Depan (2007-2017) pada 2007 silam. Menurut dokumen ini, masa transisi Aceh akan menghasilkan empat kemungkinan: dari yang ideal hingga sebuah mimpi buruk.
Pertama, Aceh Baru. Ini kondisi ideal yang diinginkan semua orang, yaitu terjadinya perbaikan ekonomi, masyarakat Aceh sejahtera, dan Hak Asasi Manusia terlindungi. Penyelenggara Negara menunjukkan perbaikan watak birokrasi dengan mengedepankan aspek pelayanan. Relasi Aceh-Jakarta semakin baik, terbangunnya sebuah kepercayaan.
Screenshot SindoWeekly (28/8) |
Ketiga, Aceh Lama II. Aceh kembali terperangkap dalam situasi di masa perang. Perdamaian memang relatih terjaga, tetapi Aceh menerapkan sistem ekonomi yang pro-pemodal. Pemerintah Aceh dan DPRA memberikan kemudahan berinvestasi di Aceh. Kekuatan politik lama dari sipil dan militer menikmati impunitas. Sementara rakyat tak memperoleh keadilan, dan kesejahteraan terus memburuk.
Keempat, Aceh Hancur. Inilah mimpi buruk bagi Aceh. Orientasi dan sistem ekonomi sangat pro-pemodal, namun perdamaian berakhir gagal. Penyelenggara pemerintahan berjalan lamban, tertutup dan serba darurat. Korupsi menggerogoti di segala tingkat pelayanan publik dan jenjang pemerintahan. Kemiskinan kian mengkhawatirkan. Rakyat menjerit, protes terjadi di mana-mana. Inilah yang membuka jalan Aceh masuk ke dalam keadaan perang baru.
Pemilu 2014
Pilihan-pilihan tersebut kini terbuka untuk Aceh, terutama mendekati Pemilu 2014. Partai Aceh sebagai pemenang Pemilu 2009 kini terpecah dengan lahirnya Partai Nasional Aceh yang dimotori Irwandi Yusuf, buntut dari Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh 2012 lalu. Perpecahan tersebut, bahkan, mulai menjatuhkan korban: seorang kader Partai Nasional Aceh (PNA) tewas ditembak di sebuah Desa di Kabuputen Pidie, Aceh (26/4); di Aceh Besar, kader PNA mendapat ancaman tembak jika tak membatalkan niatnya mendaftar sebagai calon legislatif pada Pemilu 2014; terakhir, mobil milik caleg PNA di Aceh Utara, Helina, dibakar (29/6).
Meskipun nantinya kader-kader Partai Lokal (parlok) ini menguasi kursi parlemen Aceh (DPRA dan DPRK), mereka tidak akan satu suara terkait kebijakan-kebijakan dalam membangun Aceh. Sementara anggota DPR RI asal Aceh yang terpilih ke Senayan merupakan kandidat hasil konsensus antara partai lokal dan partai nasional. Apa yang bisa diharapkan dari mereka untuk membela kepentingan Aceh?
Konsensus atau koalisi Parlok-Parnas sangat kental bumbu pragmatisme politik serta mengejar kekuasaan semata. Lihat saja koalisi Partai Aceh dengan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Bahkan, beberapa mantan kombatan GAM duduk dalam kepengurusan Partai Gerindra Aceh, termasuk Ketua DPA Partai Aceh Muzakkir Manaf, sebagai Ketua Dewan Penasehat Gerindra. Beberapa kader Partai Aceh juga maju sebagai caleg DPR RI dari partai ini.
Kita pesimistis nasib Aceh akan membaik pasca-Pemilu 2014. Kita justru khawatir Aceh sedang meniti jalan menuju Aceh Hancur: pertikaian antar-sesama, tuntutan pemekaran provinsi baru, relasi Aceh-Jakarta yang memburuk menyusul pemaksaan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, serta kesejahteraan yang tak kunjung tiba. []
---> Tulisan ini sudah dimuat di majalah SINDO WEEKLY edisi 22-28 Agustus 2013
Tags:
Artikel