Wajar jika saya dan Popon (nama panggilan Teuku Irwani) cemas. Sebelumnya kami sudah utarakan agar
selepas belanja agar segera diantar ke masjid terdekat. Dia pun setuju. Kini
kami seperti orang bodoh yang tak tahu harus kemana. Kami terduduk malas di
depan Mustafa Exchange.
Sejak tiba di Singapore pada pukul 10.14 malam hingga menjelang Subuh ini kami berdua belum sempat istirahat. Dari awal kami memang tak berniat mencari penginapan. Bukan perkara isi kantong yang tak mendukung, tapi tanggung jika harus menyewa kamar hotel. Karena siangnya kami sudah harus balik ke Malaysia, sesuai dengan jadwal di tiket kereta yang kami pegang. Saya pun sudah harus pulang ke Aceh sesuai jadwal tiket pesawat yang saya pegang.
Di tengah keasyikan kami mengobrol, tiba-tiba dari seberang jalan sudah
muncul seorang laki-laki dewasa yang segera kami kenali sebagai sopir kami. Dia
menyeberang dan menuju ke arah kami. Dia tampak buru-buru. Kami tidak melihat
mobil taxi miliknya.
Sejak tiba di Singapore pada pukul 10.14 malam hingga menjelang Subuh ini kami berdua belum sempat istirahat. Dari awal kami memang tak berniat mencari penginapan. Bukan perkara isi kantong yang tak mendukung, tapi tanggung jika harus menyewa kamar hotel. Karena siangnya kami sudah harus balik ke Malaysia, sesuai dengan jadwal di tiket kereta yang kami pegang. Saya pun sudah harus pulang ke Aceh sesuai jadwal tiket pesawat yang saya pegang.
“Bagaimana jika bapak
sopir itu tak balik lagi ke sini?” saya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
“Tak mungkin, orangnya
tak keliatan pembohong. Mungkin dia sedang menuju ke sini,” jawaban T
Irwani (Popon) cukup membuat saya tenang.
popon & me |
“Bagaimana sudah puas
berbelanja?” dia menyapa kami. “Beli
barang apa saja.” Dia ramah seperti biasanya.
“Yah, kita bingung tak
tahu harus membeli apa. Tapi kami sudah belanja beberapa jenis barang sebagai
oleh-oleh,” T Irwani mencoba menjawab, mewakili jawaban kami berdua.
Sang sopir taxi itu kemudian mengajak kami segera berangkat. Rupanya dia
tadi memarkir mobilnya agak jauh dari mall kami berbelanja, karena dia ambil
jalan memotong, sehingga kami tak melihat mobilnya lewat di depan mall. Tanpa
kesulitan, kami pun memasukkan barang belanjaan kami, sebagian kami taruh di
bagasi, agar posisi duduk kami nyaman.
Di dalam mobil, si bapak itu menawarkan kami untuk melihat istana Sultan.
Dia beralasan, lokasi istana itu tak jauh dari Masjid, sehingga selesai
melihat-lihat istana kami bisa langsung shalat Subuh di Masjid.
“Kalian perlu melihat
Istana Sultan, karena Subuh masih satu jam lagi,” begitu dia memberi
alasan.
Kita berdua mengiyakan usulan itu. “Oke,
menarik juga melihat istana Sultan, sambil menunggu adzan Subuh,” kami
menjawab serempak.
Laju taxi pun segera diarahkan menuju Istana Sultan. Dia membawa kami
melewati pertokoan, yang katanya, banyak dihuni oleh pedagang dari Indonesia.
Menurutnya, banyak dari pedagang itu berjualan kuliner.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil taxi yang kami tumpangi memasuki
jalan yang mengarah ke pintu masuk Istana. Kiri-kanan kami dipenuhi gedung.
Jalan itu sepi, kami tak bertemu siapa pun di sana. Maklum, masih larut malam,
masih sejam lagi masuk waktu Subuh.
Setelah mobil diparkir di pinggir jalan, kami pun melihat-lihat suasana di
depan Istana. Karena memang tak bisa masuk ke depan. Pintu masuk dalam kondisi
terkunci. Tapi kami masih bisa melihat suasana di dalam. Gelap banget. Kami
melihat di bawah tenda banyak kursi plastik, seperti ada hajatan. Ada beberapa
lampu yang nyala. Selebihnya kami tidak dapat melihat ada apa saja di dalam,
benar-benar gelap.
Istana itu memiliki nama Istana Kampong Glam, dibangun pada tahun 1840.
Istana ini dikenal sebagai warisan Melayu yang masih berdiri kokoh di
Singapore. Di samping pintu masuk, kita bisa membaca dengan jelas tulisan “Malay Heritage Centre” (Taman Warisan
Melayu).
Seperti biasa, kami pun mencoba mengambil beberapa gambar. Karena tidak
bisa melihat-lihat ke dalam, terpaksa kami mengambil fotonya di depan pagar
Istana. Padahal, kalau bisa masuk ke dalam pasti lebih seru lagi. Namun, apa
boleh buat, karena kami datangnya menjelang Subuh, sehingga tak bisa masuk ke
dalam. Yang penting kami sudah melihat istana dari dekat.
Selesai melihat-lihat dan berfoto ria, kami pun beranjak. Sopir taxi
mengantar kami ke Masjid Sultan, masih di Kampung Glam. Masjid yang berada di
Kampung Glam ini merupakan masjid pertama yang dibangun di republik itu
[Wikipedia]. Masjid bersejarah itu tak sekedar tempat ibadah, melainkan menjadi
objek wisata bagi wisatawan asing yang berkunjung ke Singapore.
Menurut situs wikipedia, struktur awal masjid ini dibangun sekitar 1826
oleh masyarakat Jawa (pedagang awal di Singapura) yang melakukan aktivitas
berdagang dengan masyarakat Arab, Boyan dan Bugis sebelum kedatangan saudagar
Tionghoa. Masjid itu menjadi tempat tinggal atau kawasan permukiman awal
beberapa etnik masyarakat Indonesia. Pada 1920-an ia dibangun kembali seperti
sekarang. Dan kini ia telah direnovasi dan ditetapkan sebagai produk pariwisata
Singapura. Nama jalan di kawasan itu masih menggunakan nama asli, seperti Kandahar
Street, Baghdad Street, Arab Street dan Bussorah Street.
Sepertinya itu menjadi akhir kebersamaan kami berada dalam taxi miliknya. Selepas
itu kami pun berpisah. Saya tidak ingat berapa ongkos taxi yang kami bayar,
apakah 10 atau 50 dollar.
“Oke, kalian sudah tiba
di Masjid. Saya harus pulang dulu. Sampai ketemu lagi,” katanya. Dia
pun memberi kami kartu nama, untuk kami masing-masing.
“Kalau ke Aceh jangan
lupa hubungi kami. Nanti kami ajak jalan-jalan,” T Irwani mencoba
ramah. Dia pun kemudian menghilang di ujung jalan. Kami segera melangkah ke
pekarangan Masjid. Setelah meletakkan tas dan belanjaan di tangga masjid, kami
mengambil wudhuk. Rupanya salat Subuh berjamaah baru saja selesai. Sehingga
kami pun salat sendiri-sendiri.
Selesai salat, kami mencoba bersantai sejenak di sudut masjid. Puas rasanya
bisa istirahat setelah asyik jalan-jalan. Terus terang kami hampir tak sempat
beristirahat. Tanpa sadar kami merebahkan diri. Rupanya, selain kami, ada
beberapa orang yang juga merebahkan diri. Sehingga kami tak merasa canggung. Bukan
apa-apa, karena biasanya ada pengurus masjid yang melarang para jamaah tidur di
dalam masjid.
Tanpa sadar, saya dan Popon tertidur pulas. Padahal, awalnya hanya sekedar
rebahan sambil menunggu pagi. Tak tahunya kami tertidur benaran. Kami tak ingat
berapa lama kami sudah tidur, hingga dibangunin oleh pengurus masjid. Begitu
kami lihat keluar masjid, suasana sudah terang. Kami lihat jam di tangan,
menunjukkan sudah pukul 9 pagi. Berarti hampir empat jam kami tertidur.
“Jangan sampai kasih
tahu sama teman-teman di Aceh bahwa kita ke Singapore cuma tidur di masjid,
bikin malu Aceh,” T Irwani mencoba mengingatkan saya. Kami pun tertawa. Usai
mencuci muka seadanya, kami pun beranjak dari masjid. Rencana selanjutnya ke
Esplenade mau mengisi perut serta melihat lagi patung Singa, sebelum pulang ke
Malaysia.
Saya pun kembali teringat pada sepenggal ungkapan teman saya, T Irwani
ketika duduk di kawasan Esplenade, saat baru tiba di Singapore. “Tanyoe tajak u Singapore cit untuk tajak
tes ata nyan, pue mantong udep.” Kami tertawa lepas. Bukan apa-apa, omongan
teman saya itu sedikit porno, karena kalau diterjemahkan artinya kira-kira: Menguji Mr P. Jadilah, kami ke Singapore
untuk menguji Mr P (pasti ada yang berpikir macam-macam). Hahaha. [Selesai]
Sebelumnya Semalam di Singapore (8)
Sebelumnya Semalam di Singapore (8)
Tags:
Traveling