Awalnya saya tak suka membaca, apalagi menulis. Saya malah tak begitu peduli dengan dua hal ini. Saya malah terobsesi menjadi pelukis dan ahli kaligrafi. Ini pun bukan tanpa sebab. Terus terang, saya suka keindahan. Di tempat pameran, saya biasanya lebih senang menghabiskan waktu dengan melihat orang yang menjual lukisan plus kaligrafi. Apalagi, misalnya, jika si penjual punya keahlian menulis nama orang (pembeli) menggunakan tulisan kaligrafi. Duh, senang bukan main.
Namun, obsesi itu berubah total sejak saya mengenal sebuah buku stensilan 'Asmara Buta', yang saya pinjam dari seorang teman. Ini termasuk buku yang tabu dibaca oleh anak yang baru duduk kelas dua tingkat SLTP. Tapi, apa hendak dikata, buku inilah yang menumbuhkan minat saya membaca. Melalui buku tersebut, saya menemukan kenikmatan membaca, hingga membuat saya begitu mencintai buku (dulu sih). Bagaimana dengan menulis?
"Saya ingin terkenal, dan jalan satu-satunya untuk terkenal waktu itu adalah ya...lewat koran!" Kalau ingin dikenal dan terkenal ya mesti harus masuk koran. Kalau perlu menulis artikel di rubrik opini. Beginilah obsesi saya saat awal-mula merintis karir menjadi penulis. Antara 1994-1995, saya masih menganggap orang yang wajahnya muncul di koran pastilah orang hebat. Dalam pikiran saya, orang yang mengisi rubrik opini pastilah bukan sembarang orang, termasuk penulis cerpen atau puisi. Mereka tentu seniman hebat. Sejak itulah, saya belajar dan mencari tahu bagaimana menulis artikel di koran. Harapannya cuma satu: tulisan saya dibaca orang dan nama saya muncul di koran!
Tapi, kemudian saya sadar. Ternyata memang tak mudah menulis dan tulisan kita dimuat di koran. Apalagi, saya masih anak ingusan dan baru duduk di kelas Madrasah Tsanawiyah (MTs). Kita belum tahu banyak, dan buku yang dibaca masih sedikit. Padahal kunci menulis itu kita harus banyak tahu dan rajin baca buku sebagai energi untuk menulis. Artinya, banyak kendala yang kita mesti dihadapi: selain harus memiliki pengetahuan luas, fasilitas juga harus mendukung.
Soal fasilitas, misalnya. Saya tak punya mesin tik. Tak semua orang punya mesin tik. Saat itu mesin tik masih barang mewah. Memang dimungkinkan untuk menulis artikel atau cerpen menggunakan tulisan tangan. Tapi, ini bukan jalan keluar yang bagus. Boleh saja kita menganggap tulisan tangan kita bagus dan dapat kita baca dengan jelas. Bagaimana dengan orang lain? Mereka pasti mengalami kesulitan membaca tulisan tangan kita.
Bagaimana dengan pengetahuan? Tahun 1994-1995 saya masih duduk di kelas 1-2 sekolah menengah pertama. Tak mudah bagi pihak media untuk percaya pada kemampuan kita menulis. Sebagus apapun tulisan kita, mereka tetap tak percaya. Pasti kita dicurigai melakukan plagiasi. Saat itu, profesi sebagai penulis masih sangat langka. Menulis artikel di koran masih terlalu mewah dan tak semua orang mampu. Cukup sulit menemukan para penulis yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sangat jarang, untuk mengatakan tidak ada sama sekali, para penulis belia. Atas dasar pertimbangan tersebut, saya hanya berani membuat coretan-coretan di buku catatan pelajaran.
Saya ingat, sepanjang 1995-1997, saya cukup bersemangat menulis, meski masih sekadar menulis di buku catatan sekolah. Buku catatan pelajaran saya penuh dengan judul tulisan, tulisan singkat atau cerpen remaja yang coba saya tulis, terutama kisah pribadi. Saya juga menulis diary secara diam-diam. Baru pada awal 1998, sebelum pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, saya rajin menulis surat pembaca ke koran lokal. Saya beruntung, ada teman yang membantu mengetik surat saya. Proses pengiriman surat pembaca masih pakai jasa pos. Karenanya, sekali kirim, bukan satu surat melainkan beberapa surat. Sehingga setelah sekali kirim, kita menunggu saja surat-surat itu dimuat.
Keinginan menjadi penulis yang menggebu-gebu mendorong orang tua saya membeli sebuah mesin tik. Kebetulan ada temannya, seorang keuchik (kepala desa), di kampung tetangga. Mungkin ketika cerita-cerita soal ketertarikan saya menulis, pembicaraan berlanjut ke mesin tik. Apalagi, desa sang Keuchik itu punya dua unit mesin tik. Selama ini hanya satu mesin tik ukuran agak besar yang sering dipakai untuk administrasi desa. Sementara mesin tik satu lagi, yang katanya hadiah untuk penilaian kampung bersih, tak terpakai. Nah, mesin tik ini yang kemudian ditawar untuk dibeli oleh orang tua saya. Awalnya, Keuchik itu tak mau menjualnya, tapi entah bagaimana ceritanya, mesin tik itu pun kemudian jadi dijual. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp79.000, termasuk mahal untuk saat itu (sekitar tahun 1997-1998).
Bagi saya, mesin tik itu adalah sebuah berkah, membuat keinginan menjadi penulis kian menggebu-gebu. Jadilah, hari-hari saya habiskan di depan mesin tik dengan menulis apa saja. Apapun saya ketik. Menulis dengan mesin tik memang tak mudah. Tak ada panduan menggunakan mesin tik, tapi langsung belajar dengan mengetik. Kalau ada salah ketik, kita tak bisa memperbaikinya, beda halnya menggunakan komputer. Kalau terlalu asyik mengetik, dan tak memperhatikan margin kertas, ketikan kita justru rusak: hurufnya tertimpa-timpa. Padahal ada tombol enter untuk mengganti baris selanjutnya. Kalau menggunakan komputer, begitu sampai di sisi paling kanan, ketikannya langsung turun otomatis ke baris selanjutnya.
Kasus seperti ini rupanya banyak juga dialami para penulis terkenal, sebutlah Ong Hok Ham, kolomnis TEMPO. Ong tak bisa menggunakan mesin tik karena sering abai pada margin. Meskipun sudah terdengar bunyi ting, dia masih saja terus mengetik. “Alhasil, banyak kata tak terbaca alias hilang,” kata Goenawan Muhammad, pendiri majalah TEMPO. Karenanya, kolom-kolomnya di TEMPO lebih banyak ditulis menggunakan tangan. Alasannya, ya karena dia tak pernah memperhatikan titik, koma, dan tanda baca lain.
Tapi, bagi sebagian orang menulis dengan mesin tik bisa memunculkan inspirasi. Rosihan Anwar, misalnya, lebih suka menulis menggunakan mesin tik ketimbang menggunakan komputer atau laptop. Suara ketukan tuts mesin ketik membuatnya bebas berimajinasi. Inspirasinya justru muncul karena nada tuts mesin tik. Hal yang jarang kita dapat jika menggunakan laptop atau komputer.
Mengetik dan menulis menggunakan mesin tik sangat asyik dan otentik. Imajinasi kita jadi lebih dahsyat, karena saat menulis benar-benar kita renungi masak-masak, biar tak harus mengetik ulang. Malah, kadang-kadang harus kita coret-coret dulu di kertas. Sebab, sekali salah ketik, selesai sudah. Kita harus mengganti kertas lain, dan mengetik ulang. Bisa berulang-ulang. Inilah mungkin kenapa penulis dulu karya-karyanya dahsyat dan otentik. Belum lagi, budaya plagiat semisal copy-paste juga minim jika pakai mesin tik.
Nah, di antara pembaca pasti punya pengalaman dan kesan yang lebih menarik menulis menggunakan mesin tik, bukan?[]
Namun, obsesi itu berubah total sejak saya mengenal sebuah buku stensilan 'Asmara Buta', yang saya pinjam dari seorang teman. Ini termasuk buku yang tabu dibaca oleh anak yang baru duduk kelas dua tingkat SLTP. Tapi, apa hendak dikata, buku inilah yang menumbuhkan minat saya membaca. Melalui buku tersebut, saya menemukan kenikmatan membaca, hingga membuat saya begitu mencintai buku (dulu sih). Bagaimana dengan menulis?
"Saya ingin terkenal, dan jalan satu-satunya untuk terkenal waktu itu adalah ya...lewat koran!" Kalau ingin dikenal dan terkenal ya mesti harus masuk koran. Kalau perlu menulis artikel di rubrik opini. Beginilah obsesi saya saat awal-mula merintis karir menjadi penulis. Antara 1994-1995, saya masih menganggap orang yang wajahnya muncul di koran pastilah orang hebat. Dalam pikiran saya, orang yang mengisi rubrik opini pastilah bukan sembarang orang, termasuk penulis cerpen atau puisi. Mereka tentu seniman hebat. Sejak itulah, saya belajar dan mencari tahu bagaimana menulis artikel di koran. Harapannya cuma satu: tulisan saya dibaca orang dan nama saya muncul di koran!
Tapi, kemudian saya sadar. Ternyata memang tak mudah menulis dan tulisan kita dimuat di koran. Apalagi, saya masih anak ingusan dan baru duduk di kelas Madrasah Tsanawiyah (MTs). Kita belum tahu banyak, dan buku yang dibaca masih sedikit. Padahal kunci menulis itu kita harus banyak tahu dan rajin baca buku sebagai energi untuk menulis. Artinya, banyak kendala yang kita mesti dihadapi: selain harus memiliki pengetahuan luas, fasilitas juga harus mendukung.
Soal fasilitas, misalnya. Saya tak punya mesin tik. Tak semua orang punya mesin tik. Saat itu mesin tik masih barang mewah. Memang dimungkinkan untuk menulis artikel atau cerpen menggunakan tulisan tangan. Tapi, ini bukan jalan keluar yang bagus. Boleh saja kita menganggap tulisan tangan kita bagus dan dapat kita baca dengan jelas. Bagaimana dengan orang lain? Mereka pasti mengalami kesulitan membaca tulisan tangan kita.
Bagaimana dengan pengetahuan? Tahun 1994-1995 saya masih duduk di kelas 1-2 sekolah menengah pertama. Tak mudah bagi pihak media untuk percaya pada kemampuan kita menulis. Sebagus apapun tulisan kita, mereka tetap tak percaya. Pasti kita dicurigai melakukan plagiasi. Saat itu, profesi sebagai penulis masih sangat langka. Menulis artikel di koran masih terlalu mewah dan tak semua orang mampu. Cukup sulit menemukan para penulis yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sangat jarang, untuk mengatakan tidak ada sama sekali, para penulis belia. Atas dasar pertimbangan tersebut, saya hanya berani membuat coretan-coretan di buku catatan pelajaran.
Saya ingat, sepanjang 1995-1997, saya cukup bersemangat menulis, meski masih sekadar menulis di buku catatan sekolah. Buku catatan pelajaran saya penuh dengan judul tulisan, tulisan singkat atau cerpen remaja yang coba saya tulis, terutama kisah pribadi. Saya juga menulis diary secara diam-diam. Baru pada awal 1998, sebelum pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, saya rajin menulis surat pembaca ke koran lokal. Saya beruntung, ada teman yang membantu mengetik surat saya. Proses pengiriman surat pembaca masih pakai jasa pos. Karenanya, sekali kirim, bukan satu surat melainkan beberapa surat. Sehingga setelah sekali kirim, kita menunggu saja surat-surat itu dimuat.
Keinginan menjadi penulis yang menggebu-gebu mendorong orang tua saya membeli sebuah mesin tik. Kebetulan ada temannya, seorang keuchik (kepala desa), di kampung tetangga. Mungkin ketika cerita-cerita soal ketertarikan saya menulis, pembicaraan berlanjut ke mesin tik. Apalagi, desa sang Keuchik itu punya dua unit mesin tik. Selama ini hanya satu mesin tik ukuran agak besar yang sering dipakai untuk administrasi desa. Sementara mesin tik satu lagi, yang katanya hadiah untuk penilaian kampung bersih, tak terpakai. Nah, mesin tik ini yang kemudian ditawar untuk dibeli oleh orang tua saya. Awalnya, Keuchik itu tak mau menjualnya, tapi entah bagaimana ceritanya, mesin tik itu pun kemudian jadi dijual. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp79.000, termasuk mahal untuk saat itu (sekitar tahun 1997-1998).
Bagi saya, mesin tik itu adalah sebuah berkah, membuat keinginan menjadi penulis kian menggebu-gebu. Jadilah, hari-hari saya habiskan di depan mesin tik dengan menulis apa saja. Apapun saya ketik. Menulis dengan mesin tik memang tak mudah. Tak ada panduan menggunakan mesin tik, tapi langsung belajar dengan mengetik. Kalau ada salah ketik, kita tak bisa memperbaikinya, beda halnya menggunakan komputer. Kalau terlalu asyik mengetik, dan tak memperhatikan margin kertas, ketikan kita justru rusak: hurufnya tertimpa-timpa. Padahal ada tombol enter untuk mengganti baris selanjutnya. Kalau menggunakan komputer, begitu sampai di sisi paling kanan, ketikannya langsung turun otomatis ke baris selanjutnya.
Kasus seperti ini rupanya banyak juga dialami para penulis terkenal, sebutlah Ong Hok Ham, kolomnis TEMPO. Ong tak bisa menggunakan mesin tik karena sering abai pada margin. Meskipun sudah terdengar bunyi ting, dia masih saja terus mengetik. “Alhasil, banyak kata tak terbaca alias hilang,” kata Goenawan Muhammad, pendiri majalah TEMPO. Karenanya, kolom-kolomnya di TEMPO lebih banyak ditulis menggunakan tangan. Alasannya, ya karena dia tak pernah memperhatikan titik, koma, dan tanda baca lain.
Tapi, bagi sebagian orang menulis dengan mesin tik bisa memunculkan inspirasi. Rosihan Anwar, misalnya, lebih suka menulis menggunakan mesin tik ketimbang menggunakan komputer atau laptop. Suara ketukan tuts mesin ketik membuatnya bebas berimajinasi. Inspirasinya justru muncul karena nada tuts mesin tik. Hal yang jarang kita dapat jika menggunakan laptop atau komputer.
Mengetik dan menulis menggunakan mesin tik sangat asyik dan otentik. Imajinasi kita jadi lebih dahsyat, karena saat menulis benar-benar kita renungi masak-masak, biar tak harus mengetik ulang. Malah, kadang-kadang harus kita coret-coret dulu di kertas. Sebab, sekali salah ketik, selesai sudah. Kita harus mengganti kertas lain, dan mengetik ulang. Bisa berulang-ulang. Inilah mungkin kenapa penulis dulu karya-karyanya dahsyat dan otentik. Belum lagi, budaya plagiat semisal copy-paste juga minim jika pakai mesin tik.
Nah, di antara pembaca pasti punya pengalaman dan kesan yang lebih menarik menulis menggunakan mesin tik, bukan?[]
Tags:
Tips