Saya lahir di
Trung Campli (seharusnya Trueng Campli) seperti tertulis di KTP. Trueng Campli itu
sebuah Kemukiman di kecamatan Glumpang Baro. Jangan tanya kenapa nama kampung
saya aneh begitu ya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana sejarah pemberian nama
tersebut. Tapi, sebagai informasi saja, tiap selesai musim panen, warga
biasanya menanam cabai (campli, bahasa Aceh). Di lahan yang ditanami cabai
tersebut, sering diselip dengan menanami beberapa tumbuhan terong (Trueng,
bahasa Aceh). Anggap saja, di kampungku banyak tanaman terong dan cabai.
Tiap berada di
kampung, ingatan saya selalu kembali ke beberapa tahun silam. Saya sama sekali
tak menduga bahwa kampungku bisa damai. Padahal, dulu kata damai sesuatu yang
haram jadi sebuah pengharapan. Tak seorang pun yakin damai akan bersemi di
kampung yang selalu menjadi arena pertumpahan darah. Sang penguasa di kampung
sering berganti tergantung musim. Kalau lagi perang, yang berkuasa pastilah
aparat TNI/Polri, sementara kalau lagi damai maka awak ateuh (sebutan untuk anggota Gerakan Aceh Merdeka) yang pegang
kendali.
Sepanjang ingatan
saya, saat berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) hampir di semua kampung di
Kemukiman Trueng Campli berlaku sistem keamanan lingkungan (siskamling) alias jaga
malam. Di kampung-kampung lain juga demikian. Meski disebut jaga malam,
sebenarnya warga yang berjaga malam di pos-pos jaga itu menjaga kehadiran
aparat TNI/Polri dari Kecamatan. Kalau aparat datang dan para penjaga malam itu
tertidur, maka siap-siaplah direndam di parit atau disuruh merayap di sawah
yang basah.
Kalau
dihitung-hitung, hampir semua warga pernah merasakan direndam di sungai (lueng,
bahasa Aceh) atau merayap di sawah di malam buta. Kalau sedang sial, ada yang
harus menerima bogem mentah, tendangan sepatu lars atau ayunan popor senjata.
Akibatnya, warga lebih takut kepada aparat ketimbang kepada hantu. Jangan
ditanya bagaimana kehidupan malam di kampung. Jawabannya sudah pasti: mencekam.
Kadang-kadang
aparat mengumpulkan warga di halaman sekolah,
di dalam masjid atau di halaman meunasah. Kalau kondisi sedang baik, warga
diceramahi nasehat-nasehat agama. Biasanya, tiap anggota TNI yang ditempatkan
di kampung pasti ada satu orang yang cukup paham agama. Dialah yang bertindak
memberikan ceramah, tentu saja dengan mengutip ayat-ayat Al Quran. Isinya
macam-macam, seperti tak boleh melawan negara, tak boleh memberontak dan
membuat keonaran.
Selepas
reformasi, ketika orang-orang GAM yang lama di luar negeri pulang atau
menampakkan batang hidungnya, suasana di kampung pun berubah. Kita menjadi
sering melihat lalu lalang orang asing di kampung. Asing karena sebelumnya kita
tak pernah mengenal mereka. Sama seperti TNI, mereka juga tiap malam
mengumpulkan warga untuk rapat perjuangan. Ceramahnya sembunyi-sembunyi dan
nyaris tak ada pengumuman seperti pemberitahuan ada ceramah yang sering
dilakukan selama ini. Warga yang hadir sangat banyak. Sering tak menggunakan
mic atau pengeras suara. Itu dulu. Saat Aceh sedang mabuk dalam euphoria
perjuangan. Semua ingin terlibat. Menjadi anggota GAM atau ada famili yang jadi
anggota GAM bisa menaikkan gengsi keluarga.
Kini kondisi
kampungku benar-benar berubah. Tak lagi mencekam seperti dulu. Malam hari
kembali bergeliat dan ramai. Warung kopi buka hingga Subuh. Tak ada lagi sistem
keamanan lingkungan (Siskamling) alias jaga malam. Warga bebas berkumpul secara
bergerombol di pos jaga tanpa harus menghadapi banyak pertanyaan aparat. Tak
ada lagi sistem wajib lapor bagi warga, meski hanya sekadar setor muka ke
kantor Koramil atau Polsek di kecamatan. Warga menikmati damai yang
sesungguhnya. Kedamaian inilah yang kini dinikmati segenap warga.
Dulu, ibukota
kecamatan nyaris lumpuh. Karena warga enggan ke pasar, selain takut juga karena
bosan harus menghadapi pertanyaan yang selalu sama dari aparat keamaan, seperti
‘apakah ada orang GAM di kampung?’, ‘Siapa yang memilihi hubungan keluarga
dengan anggota GAM’ dan lain sebagainya. Kalau tak ada kewajiban Salat Jumat,
saya yakin tak ada warga yang sudi melewati pasar ibukota kecamatan. Sebelum
dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri waktu Darurat Militer, pasar itu masih
dikenal dengan pasar kemukiman Trueng Campli. Kami biasa menyebutnya keude lueng (pemberian nama ini mungkin
saja karena di sisi pasar itu ada sungai). Hari pekan di pasar itu jatuh tiap Selasa,
sehingga sering pula disebut Keude Lasa (Lasa artinya Selasa dalam Bahasa
Aceh).
Sepanjang tahun
1989-1998, tiap desa ditempatkan 12 personil TNI. Mereka kebanyakan dari satuan
Kopassus. Keberadaan mereka untuk mencari sisa-sisa anggota GAM yang masih
berkeliaran di kampung. Di satu sisi keberadaan mereka membuat kampung aman,
tetapi sama sekali tidak damai. Karena tak sedikit pula masyarakat yang merasa
terintimidasi, tidak bisa berbuat apa-apa. Kemana-mana harus melapor. Di sisi
lain, kehadiran mereka menciptakan rasa takut. Sebab, jika ada anaknya pulang
dari perantauan, sang ayah harus menghadapi banyak pertanyaan, kadang-kala
diselingi dengan perlakuan kasar. Kehidupan masyarakat benar-benar diawasi
secara ketat.
Saat itu, aparat
TNI biasanya menempati salah satu sudut dalam pekarangan meunasah (surau).
Mereka kadang menggunakan gudang meunasah. Keberadaan mereka membuat shalat
berjamaah berhenti total, kecuali Magrib. Sementara Isya dan Subuh sama sekali
tidak ada. Sebab, tak ada warga yang berani lagi keluar rumah. Padahal jam
malam tidak diberlakukan secara resmi. Tapi, sangat besar risiko keluar rumah
dalam rentang waktu menjadi jam malam itu. Akhirnya, warga memilih Salat di
rumah masing-masing.
Itu dulu, saat
damai belum bersemi di sini, di kampung saya ini. Kampung yang jauh di pelosok,
dan nyaris tak tertulis di dalam peta. Sekarang, kehidupan warga semakin
bergeliat. Tak lagi gelap (kecuali sesekali saat orang PLN usil) dan mencekam.
Inilah berkah dari perdamaian yang selayaknya dinikmati bersama, tak boleh lagi
ada pihak-pihak yang mencoba menyulut bara konflik, yang sebenarnya tak
sepenuhnya padam itu. Saya beruntung, tiap berada di kampung selalu mengingat
masa-masa lalu, dan membandingkannya dengan kondisi sekarang. Ada yang perlu
disyukuri, memang. Begitulah kampungku, bagaimana dengan kampungmu? []
Tags:
catatan