Kurban dan Korban Politik

Politik Aceh kerap meminta korban. Dan, seperti yang sudah-sudah, tiap ada pergelaran pesta demokrasi, korban politik pun berjatuhan. Kali ini, bisa jadi, korbannya ada di Pidie Jaya. Meski tak menuntut korban jiwa (belum?), label pengkhianat sudah mulai terdengar di mana-mana, terutama dari satu panggung kampanye ke panggung kampanye lainnya, yang segera menjadi topik panas di tiap-tiap warung kopi.

Begitu halnya dengan kurban. Orang pun ramai membicarakannya. Bukan hanya karena tahun ini jumlah hewan kurban sangat banyak, melainkan sangat kental dengan bumbu politik. Padahal, Idul Adha yang sudah-sudah jumlah hewan kurban paling cuma satu ekor sapi. Bahkan pernah tak ada kurban sama sekali. Ini yang menjadi punca persoalan, seiring dekatnya musim politik, hewan kurban pun melimpah. Bagi masyarakat miskin, inilah berkah, berkah di musim politik.

Lalu muncullah pertanyaan, apa bedanya korban politik dengan kurban politik? Kedua istilah ini kini duduk bersandingan, terkait satu sama lain. Korban politik kerap berjatuhan di musim politik (terutama politik di Aceh), sementara kurban politik biasanya menjamur jika momentum politik berdekatan dengan Idul Adha. Dua-duanya jatuh korban: yang satu dalam identik dengan manusia (nama baik, bahkan nyawa), dan yang kedua dalam bentuk hewan: bisa sapi, bisa kerbau atau kambing.

Dan seperti yang sudah-sudah, Aceh selalu meminta korban setiap momen politik tiba, mulai dari orang kecil hingga para pembesar. Deretan korban bisa dicatat, seperti Saiful alias Pon Cagee, Cek Gu, dan banyak lagi. Korban yang dicap pengkhianat juga bertebaran, dimulai dari Husaini Hasan, Daud Husein (Daud Paneuk), Bakhtiar Abdullah, Sofyan Dawod, Irwandi Yusuf termasuk Muhammad Nazar, tokoh SIRA.

Terkait kurban politik, di kampung saya, Idul Adha 1434H menjadi berkah bagi warga miskin. Bayangkan, jika tahun lalu hanya ada 1 ekor sapi kurban, maka tahun ini ada 6 ekor sapi plus 1 kambing. Ini kurban terbanyak di kampung saya. Rupanya, jumlah korban yang banyak itu bukan tanpa alasan. Karena 5 bulan lagi, ada pemilihan umum (Pemilu). Dan para caleg dengan lihainya memanfaatkan kata ‘via’ atau ‘atas nama’ dengan mengakui hewan kurban orang sebagai kurban darinya hanya karena kurban itu diserahkan via dirinya. Macam-macam piasan orang.

‘Perang di Pidie Jaya’
Awal Oktober lalu, saya berada di Pidie Jaya. Empat hari lamanya. Saya dan teman saya Iskandar Norman diundang untuk mengampu ilmu jurnalistik atau teknik menulis bagi peserta pelatihan Ruang Belajar Masyarakat (RBM) PNPM Pidie Jaya.

Banyak hal yang saya lihat selama di Pidie Jaya. Tetapi, yang kontras tentu saja suasana Pilkada. Di mana-mana kita bisa menemukan spanduk, poster maupun baliho kandidat Bupati/Wakil Bupati Pidie Jaya. Spanduk-spanduk tersebut mengambil hampir semua ruang publik di Pidie Jaya, bahkan jumlahnya mampu mengalahkan spanduk para caleg yang mencoba mencari peruntungan dalam Pemilu 2014 nanti.

Seperti kampanye pada umumnya, para kandidat menawarkan diri untuk dipilih menjadi Bupati. Mereka semua mengaku mampu menghadirkan suasana yang lebih baik daripada sekarang. Beragam janji ditawarkan, sejumlah program dipersiapkan. Semuanya bisa kita baca melalui pesan-pesan sederhana di spanduk atau baliho.

Tetapi, di luar itu, ada hal lain yang membuat Pilkada Pidie Jaya benar-benar sebagai pertaruhan. Dari tiga pasangan calon Bupati/Wakil Bupati, kalau ditelusuri latar-belakangnya semuanya bersentuhan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini bernaung di bawah Komite Peralihan Aceh (KPA), juga Partai Aceh. Boleh dibilang, Pilkada Pidie Jaya merupakan medan pertarungan internal Partai Aceh. Lawan Droe keu Droe.

Tak pelak, masing-masing kandidat menampakkan kadar ‘pejuang’ dalam spanduk kampanyenya. Mereka ingin dikenal sebagai orang dalam yang juga bagian dari trah perjuangan. Ini saya lihat yang lebih dominan. Masing-masing ingin mengukuhkan diri sebagai barisan perjuangan.

Tak percaya? Lihatlah slogan ‘Asli’ yang menunjukkan bahwa kandidat ini (Aiyub Abbas dan Said Mulyadi) benar-benar mewakili barisan pejuang. Pasangan inilah yang diusung resmi oleh Partai Aceh sebagai perpanjangan tangan perjuangan GAM? Selain mereka tentu saja palsu. Makanya, kita membaca di spanduk mereka, ‘munyoe kon ie leuhop, munyoe kon droeteuh gob’. Dan mereka pun mengklaim diri sebagai ‘Pasangan Perjuangan dan Perdamaian’.

Lain lagi dengan pasangan Saiful Bahri dan Iqbal Idris. Saiful merupakan eks Libya yang juga pejuang Gerakan Aceh Merdeka yang sebelum maju sebagai Bupati adalah Ketua DPRK Pidie Jaya. Tetapi, langkah mereka tidak didukung oleh partai. Mereka memilih maju melalui jalur independen. Mereka dianggap melawan keputusan partai. Di luar itu, mereka juga didukung secara penuh oleh Partai Nasional Aceh (PNA), partai besutan Irwandi Yusuf. Sebagai pihak yang ingin melakukan koreksi atas kepemimpinan di Pidie Jaya selama ini, mereka pun mengusung misi ‘Tapeugot njang ka reuloh, tapeuriwang njang ka gadoh’.

Pasangan satu lagi, yaitu Abdurrahman Puteh dan M Yusuf Ibrahim boleh dibilang sebagai penjaga status quo. Awalnya, HM Gade Salam ingin maju kembali sebagai Bupati berpasangan dengan M Yusuf, tetapi terganjal syarat kesehatan. Sebagai gantinya, majulah Abdurrahman Puteh yang diusung oleh Partai Amanat Nasional. Mereka ingin mempertahankan apa yang sudah ada. Ini terbaca melalui slogan kampanyenya: Njang kana tajaga, njang gohna tajak mita.


Nah, hari-hari ketiga kandidat tersebut sedang adu kuat, siapa yang bakal keluar sebagai jawara? Sangat sulit diprediksi. Saat kampanye beberapa hari lalu, ketiga pasangan menurunkan para jurkam ‘orang-orang hebat’ di Aceh. Mulai dari level Gubernur hingga Ketua Partai. Semua demi satu tujuan: kuasa! Hom hai.

Note: sedang bersiap-siap OTW Meulaboh

Post a Comment

Previous Post Next Post