+ Seberapa sering Anda mengirim tulisan ke koran?
- Tidak berapa sering. Kalau lagi ada isu menarik, baru saya kirim
+ Berapa kali kiriman tulisan ditolak sebelum tulisan pertama Anda dimuat?
- Mungkin ada 30 tulisan yang ditolak. Tapi saya kirim terus sampai dimuat.
+ Sebaiknya, sebulan berapa tulisan yang wajar kita kirim ke media?
- Usahakan kirim 2-3 tiga tulisan, kecuali ada isu hangat yang perlu direspon segera!
Dialog di atas sama sekali bukan imajiner. Tapi jangan tanya, siapa tokoh dalam dialog tersebut. Tidak penting siapa tokohnya, karena bukan itu yang ingin kita bahas. Kita ingin diskusi soal pengiriman tulisan ke media dan berapa kali tulisan kiriman kita ditolak!
Jika saya tanya pembaca (terutama yang hobi menulis), apakah pernah mencoba-coba mengirim tulisan ke koran, pasti akan menjawab pernah. Pernah ditolak? Rata-rata akan menjawab pernah, bahkan sering. Saya juga mengalaminya, malah lebih parah!. Tak terhitung jumlah tulisan yang ditolak media. Itulah dilema menyandang status penulis pemula. Mau tidak mau, begitulah proses yang harus kita lalui. Tak ada penulis yang lahir instan, bukan?
Kalau dipikir-pikir sih memang tak pernah enak disebut penulis pemula, penulis bau kencur, dan anak ingusan kemarin sore. Sebagai penulis pemula, cobalah untuk akrab dengan sebutan-sebutan itu. Toh, itulah 'jenjang' yang harus dilalui. Toh, semua penulis hebat yang kita kenal sekarang awalnya juga merangkak dari bawah, ditolak dimana-mana, dan pernah berulang-kali gagal memasarkan tulisan-tulisannya. Mereka memilih tidak menyerah. Sebab, menyerah berarti gagal!
Penulis buku laris Da Vinci Code, Dan Brown, pernah gagal mencari penerbit yang mau menerbitkan buku yang kemudian menjadi best seller tersebut. Beberapa penerbit pernah menolak naskahnya. Kisah JK Rowling juga hampir sama. Pernah ditolak penerbit beberapa kali. Mereka tak menyerah. Mereka terus berkarya dan menawarkan naskahnya kepada pihak penerbit, meski sering kali gagal. Hasilnya, apa? Mereka kini menjadi penulis hebat dan tentu saja kaya raya.
Dulu sekali saya pernah membaca, seorang pemimpin redaksi sebuah koran di Yogyakarta, saat awal mula merintis karir sebagai penulis pernah puluhan tulisannya ditolak oleh sebuah koran nasional, tetapi terus saja mengirim, mengirim dan mengirim. Entah pada kiriman ke berapa kali tulisannya baru diterima, mungkin kiriman ke-51 baru artikelnya dimuat di rubrik opini.
Seorang teman saya mengaku dia pernah mengirim 30 kali tulisan ke sebuah media nasional, dan baru pada kiriman ke-31 tulisannya untuk pertama kali diterima media. Kini, tulisannya sering menghiasi rubrik opini koran terbesar di Indonesia. Saya juga punya pengalaman serupa, lebih 50 tulisan saya kirim, dan baru sekali dimuat di rubrik opini. Saya terus berjuang dan rutin mengirim tulisan, meski belum ada lagi yang dimuat. Sayangnya, sepanjang 2013 ini saya 'baru' mengirim 4 tulisan dan semuanya memiliki nasib yang sama: ditolak
Intinya, semua proses harus kita lalui. Karena sangat jarang ada penulis yang sekali kirim langsung dimuat. Jika pun ada, itu sangat langka, 1 dari 1000 orang. Atau bisa juga dia sudah menjadi tokoh dan tulisannya diminta oleh media bersangkutan. Mohammad Sobary, misalnya, ketika datang tawaran menulis kolom di Tempo pada penghujung 1989 sempat tak nyenyak tidur. Ketika itu dia belum menjadi penulis terkenal. Hasilnya, setelah dua bulan gelisah, kang Sobary--demikian dia akrab disapa-- pun berhasil menyelesaikan tulisan Saya Cuma Kamino, sebuah essay berlatar karut-marut PKI di Bantul.
Kisah yang dialami Arief Budiman (dulunya bernama Soe Hok Djin) juga tak jauh berbeda. Sebelum Majalah Intisari terbit, PK Ojong dan Jacob Oetama, datang ke rumahnya, menjelaskan akan menerbitkan majalah baru. Mereka tidak ingin nantinya majalah tersebut diisi dengan hasil terjemahan, melainkan lahir tulisan-tulisan terbaik dari orang Indonesia. Arief mendapat kehormatan untuk menulis di majalah yang akan diterbitkan tersebut, maka lahirlah tulisan 'Beberapa Hari di Ubud: Tjatatan perdjalanan dari Bali' dalam Intisari edisi perdana yang tanpa cover itu.
Kita bukan Mohammad Sobary atau Arief Budiman. Kita tak menikmati kemewahan intelektual seperti mereka. Tak ada media yang meminta dan menawarkan kepada kita untuk menulis kolom/opini. Tapi jangan salah, pencapaian mereka jadi seperti itu tak serta merta tanpa proses. Mereka sebelumnya juga mengalami proses yang panjang sebelum mendapat tempat terhormat di media. Tetapi itu bukan alasan untuk pesimis dan rendah diri. Inilah tantangan yang harus kita hadapi dan jangan cepat menyerah. Kita harus terus menulis, memperbaiki tulisan dan tentu saja belajar, sehingga tulisan-tulisan kita makin berbobot. Tak ada perjuangan yang sia-sia, bukan?.
Belajarlah pada filosofi kupu-kupu. Bagaimana ia berjuang dengan susah-payah keluar dari kepompongnya, kadang menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari. Proses kupu-kupu menyongsong hidup itu tidaklah instan. Menurut cerita, jika kita membantu kupu-kupu keluar dari kepompong, kondisinya justru memburuk, melemah, membengkok dan tak pernah kuat untuk terbang. Artinya, si kupu-kupu butuh proses yang membuat dia menjadi kuat [Intisari]
Nah, kita juga perlu belajar dari filosofi tersebut. Apapun yang kita lakukan niatkan saja sebagai perjuangan. Terus konsisten menulis, sekali pun tulisan kita ditolak. Karena intinya bukan dimuat atau tidak, melainkan pada konsistensi dalam menulis. Meskipun terus saja ditolak oleh media, jangan menganggap media itu pilih kasih. Jangan-jangan si redaktur media sedang 'menggoda' kita dan ingin melihat seberapa konsisten dan serius kita merintis karir sebagai penulis. Karena itu, penolakan tersebut jangan sampai membuat kita menyerah, jangan sampai meruntuhkan semangat kita dalam menulis. Menulis dan dimuat di koran itu hanya masalah kecil, karena intinya bukan dimuat atau tidak, melainkan apa yang bisa kita bagi dengan pembaca.
Untuk itu, anggaplah penolakan oleh koran itu sebagai cambuk untuk terus belajar dan memperbaiki tulisan. Kita belajar dari penolakan dan kegagalan. Menyerah hanyalah akan mempertegas siapa kita sebenarnya. Sebab, ada yang lebih penting yaitu bagaimana kita tak berhenti belajar dan terus menghasilkan tulisan berbobot. Insya Allah, akan ada media yang memuat tulisan kita, syukur-syukur jika kita ditawarkan khusus untuk menulis. Jadi, jangan pernah menyerah!
- Tidak berapa sering. Kalau lagi ada isu menarik, baru saya kirim
+ Berapa kali kiriman tulisan ditolak sebelum tulisan pertama Anda dimuat?
- Mungkin ada 30 tulisan yang ditolak. Tapi saya kirim terus sampai dimuat.
+ Sebaiknya, sebulan berapa tulisan yang wajar kita kirim ke media?
- Usahakan kirim 2-3 tiga tulisan, kecuali ada isu hangat yang perlu direspon segera!
Dialog di atas sama sekali bukan imajiner. Tapi jangan tanya, siapa tokoh dalam dialog tersebut. Tidak penting siapa tokohnya, karena bukan itu yang ingin kita bahas. Kita ingin diskusi soal pengiriman tulisan ke media dan berapa kali tulisan kiriman kita ditolak!
Jika saya tanya pembaca (terutama yang hobi menulis), apakah pernah mencoba-coba mengirim tulisan ke koran, pasti akan menjawab pernah. Pernah ditolak? Rata-rata akan menjawab pernah, bahkan sering. Saya juga mengalaminya, malah lebih parah!. Tak terhitung jumlah tulisan yang ditolak media. Itulah dilema menyandang status penulis pemula. Mau tidak mau, begitulah proses yang harus kita lalui. Tak ada penulis yang lahir instan, bukan?
Penulis buku laris Da Vinci Code, Dan Brown, pernah gagal mencari penerbit yang mau menerbitkan buku yang kemudian menjadi best seller tersebut. Beberapa penerbit pernah menolak naskahnya. Kisah JK Rowling juga hampir sama. Pernah ditolak penerbit beberapa kali. Mereka tak menyerah. Mereka terus berkarya dan menawarkan naskahnya kepada pihak penerbit, meski sering kali gagal. Hasilnya, apa? Mereka kini menjadi penulis hebat dan tentu saja kaya raya.
Dulu sekali saya pernah membaca, seorang pemimpin redaksi sebuah koran di Yogyakarta, saat awal mula merintis karir sebagai penulis pernah puluhan tulisannya ditolak oleh sebuah koran nasional, tetapi terus saja mengirim, mengirim dan mengirim. Entah pada kiriman ke berapa kali tulisannya baru diterima, mungkin kiriman ke-51 baru artikelnya dimuat di rubrik opini.
Seorang teman saya mengaku dia pernah mengirim 30 kali tulisan ke sebuah media nasional, dan baru pada kiriman ke-31 tulisannya untuk pertama kali diterima media. Kini, tulisannya sering menghiasi rubrik opini koran terbesar di Indonesia. Saya juga punya pengalaman serupa, lebih 50 tulisan saya kirim, dan baru sekali dimuat di rubrik opini. Saya terus berjuang dan rutin mengirim tulisan, meski belum ada lagi yang dimuat. Sayangnya, sepanjang 2013 ini saya 'baru' mengirim 4 tulisan dan semuanya memiliki nasib yang sama: ditolak
Intinya, semua proses harus kita lalui. Karena sangat jarang ada penulis yang sekali kirim langsung dimuat. Jika pun ada, itu sangat langka, 1 dari 1000 orang. Atau bisa juga dia sudah menjadi tokoh dan tulisannya diminta oleh media bersangkutan. Mohammad Sobary, misalnya, ketika datang tawaran menulis kolom di Tempo pada penghujung 1989 sempat tak nyenyak tidur. Ketika itu dia belum menjadi penulis terkenal. Hasilnya, setelah dua bulan gelisah, kang Sobary--demikian dia akrab disapa-- pun berhasil menyelesaikan tulisan Saya Cuma Kamino, sebuah essay berlatar karut-marut PKI di Bantul.
Kisah yang dialami Arief Budiman (dulunya bernama Soe Hok Djin) juga tak jauh berbeda. Sebelum Majalah Intisari terbit, PK Ojong dan Jacob Oetama, datang ke rumahnya, menjelaskan akan menerbitkan majalah baru. Mereka tidak ingin nantinya majalah tersebut diisi dengan hasil terjemahan, melainkan lahir tulisan-tulisan terbaik dari orang Indonesia. Arief mendapat kehormatan untuk menulis di majalah yang akan diterbitkan tersebut, maka lahirlah tulisan 'Beberapa Hari di Ubud: Tjatatan perdjalanan dari Bali' dalam Intisari edisi perdana yang tanpa cover itu.
Kita bukan Mohammad Sobary atau Arief Budiman. Kita tak menikmati kemewahan intelektual seperti mereka. Tak ada media yang meminta dan menawarkan kepada kita untuk menulis kolom/opini. Tapi jangan salah, pencapaian mereka jadi seperti itu tak serta merta tanpa proses. Mereka sebelumnya juga mengalami proses yang panjang sebelum mendapat tempat terhormat di media. Tetapi itu bukan alasan untuk pesimis dan rendah diri. Inilah tantangan yang harus kita hadapi dan jangan cepat menyerah. Kita harus terus menulis, memperbaiki tulisan dan tentu saja belajar, sehingga tulisan-tulisan kita makin berbobot. Tak ada perjuangan yang sia-sia, bukan?.
Belajarlah pada filosofi kupu-kupu. Bagaimana ia berjuang dengan susah-payah keluar dari kepompongnya, kadang menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari. Proses kupu-kupu menyongsong hidup itu tidaklah instan. Menurut cerita, jika kita membantu kupu-kupu keluar dari kepompong, kondisinya justru memburuk, melemah, membengkok dan tak pernah kuat untuk terbang. Artinya, si kupu-kupu butuh proses yang membuat dia menjadi kuat [Intisari]
Nah, kita juga perlu belajar dari filosofi tersebut. Apapun yang kita lakukan niatkan saja sebagai perjuangan. Terus konsisten menulis, sekali pun tulisan kita ditolak. Karena intinya bukan dimuat atau tidak, melainkan pada konsistensi dalam menulis. Meskipun terus saja ditolak oleh media, jangan menganggap media itu pilih kasih. Jangan-jangan si redaktur media sedang 'menggoda' kita dan ingin melihat seberapa konsisten dan serius kita merintis karir sebagai penulis. Karena itu, penolakan tersebut jangan sampai membuat kita menyerah, jangan sampai meruntuhkan semangat kita dalam menulis. Menulis dan dimuat di koran itu hanya masalah kecil, karena intinya bukan dimuat atau tidak, melainkan apa yang bisa kita bagi dengan pembaca.
Untuk itu, anggaplah penolakan oleh koran itu sebagai cambuk untuk terus belajar dan memperbaiki tulisan. Kita belajar dari penolakan dan kegagalan. Menyerah hanyalah akan mempertegas siapa kita sebenarnya. Sebab, ada yang lebih penting yaitu bagaimana kita tak berhenti belajar dan terus menghasilkan tulisan berbobot. Insya Allah, akan ada media yang memuat tulisan kita, syukur-syukur jika kita ditawarkan khusus untuk menulis. Jadi, jangan pernah menyerah!
Tags:
Tips