Cerita Gur Dur Menjadi Kolomnis Tempo

Salah satu tips menjadi penulis yang baik, kita memang perlu belajar dari pengalaman orang lain. Pengalaman-pengalaman mereka kadang-kala dapat memberi inspirasi buat kita, terutama belajar bagaimana mereka merintis karir menulis. Pengalaman Gus Dur, misalnya.

ilustrasi
Menurut saya, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini adalah sosok yang sangat luar biasa. Bisa dibilang, Gus Dur adalah penulis yang serba-bisa. Beliau tak hanya paham masalah keagamaan, melainkan cukup lihai menulis sepakbola. Tulisannya tentang politik sangat menarik disimak, begitu juga saat beliau menulis tentang film. Selain itu, Gus Dur boleh disebut sebagai tokoh yang memiliki ‘koleksi’ humor yang tidak sedikit.

Tapi, bagaimana mantan Presiden ke-4 ini merintis karir sebagai penulis? Syu’bah Asa, redaktur opini Tempo tahun 1980-an mengisahkan, Gus Dur adalah kolomnis yang sangat produktif era 80-an, selain Ong Hok Ham dan Emha Ainun Nadjib. 

“Satu tulisan belum dimuat, sudah datang tulisan lain,” cerita Syu’bah dalam pengantar ‘Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurahman Wahid di Tempo’ (Kecap Dapur Tempo, 1971-2011).

Tiap kali datang ke kantor Tempo, cerita Syu’bah, Gus Dur selalu pakai sandal, berbaju hem lengan pendek, tak berpeci. Setelah ketawa-ketawa dengan awak redaksi, dia menuju mejanya, mengetik. 

Bagaimana bisa dia punya meja khusus di Tempo? Saking produktifnya menulis, Pemimpin Redaksi TEMPO, Goenawan Mohamad, meminta Syu’bah Asa menyediakan mesin tik untuk para kolomnis-nya, seperti Gus Dur dan Ong Hok Ham.

Ceritanya bermula pada tahun 1977. Hari itu, Jumat, Gus Dur duduk di salah satu meja redaksi, yang waktu itu masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat. Dia terlihat sangat asyik mengetik kolom di meja Syu’bah Asa, sang redaktur kolom di Majalah TEMPO. Begitu tiba di kantor, Syu’bah mendapati meja kerjanya 'dibajak' Gus Dur. Setelah bercakap-cakap sebentar. Syu’bah kemudian meninggalkan Gus Dur dengan senyum mengembang.

“Mas, kenapa Anda senyam-senyum dari tadi?” tanya Bambang Bujono, salah satu redaktur di majalah TEMPO. Secara menunduk, Syu’bah berbisik, “Dia (Gus Dur) kelihatannya terlalu asyik mengetik kolom sampai lupa tidak Jumatan.” 

Bambang tak percaya. “Mana mungkin,” kata Bambang, “bukankah dia kemari justru kalau hendak Jumatan? Kolomnya aja sudah hampir selesai.”

Saat itu, Gus Dur tentu saja belum menjadi tokoh nasional. Dia juga belum punya pekerjaan tetap. Jadi, waktunya lebih sering digunakan dengan menyambangi kantor TEMPO, kadang untuk mengetik artikel, berdiskusi atau sekadar ngobrol dengan kawan-kawan di kantor majalah berita mingguan itu. Tiap ke kantor TEMPO, Gus Dur biasanya naik bus dari tempat tinggalnya di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Untuk mengetik kolom, Gus Dur paling lama menghabiskan waktu dua jam. Kolom itu biasanya langsung diserahkan pada Syu’bah Asa jika sang penjaga rubrik sedang di kantor. Tapi, jika Syu’bah tidak ada di kantor, Gus Dur menaruh tulisannya di meja kerja pemeran tokoh DN Aidit di film Gerakan 30/S tersebut.

“Tolong bilangin mas Syu’bah, saya menulis kolom,” kata Bambang menirukan ucapan Gus Dur. Setelah itu, dia pun menghilang.

Karena sangat produktif menulis, kadang-kadang satu tulisan belum dimuat, Gus Dur sudah menyerahkan tulisan lain. Bahkan, tak jarang, Gus ‘ijon’ minta honor tulisan dibayar duluan. Hal ini, karena hubungan Gus Dur dengan orang-orang di TEMPO sudah sangat akrab, tidak lagi berjarak. Kalau kita mana berani, kan? Emangnya kita siapa. Ya, kan?

Sebenarnya, tulisan pertama Gus Dur, Tebasan di Pinggir Kota, bukan ditulis di kantor Tempo, melainkan ditulis saat beliau masih berada di Jombang, Jawa Timur. Kolom tersebut dimuat di TEMPO edisi 23/05, tanggal 9 Agustus 1975. 

Begitulah Gus Dur, tokoh yang sangat produktif menulis, sampai-sampai pihak redaksi harus ‘menghadiahkan’ meja dan mesin tik untuknya. Hal ini dilakukan agar dia dapat menulis kolom dengan tenang. Sejak itu sejumlah tulisannya dengan beragam tema tidak sulit ditemukan di majalah yang dibredel pada tahun 1994, itu. Saya termasuk paling suka membaca kolomnya tentang sepakbola.

Namun, semenjak 1992, Gus Dur mulai didera penyakit: kesulitan melihat. Pun begitu, dia masih sering menulis esai untuk TEMPO. “Beliau minta diketikkan, tapi diksi, tanda baca, semua dia yang menentukan,” cerita Bondan Gunawan, Sekretaris Negara di zaman Gus Dur jadi presiden. Orang Aceh mengenal Gunawan ini sejak berhasil menemui Panglima GAM Tgk Abdullah Syafie di sebuah tempat di pedalaman Pidie.

Cerita tentang Gus Dur minta diketikkan tulisannya ini, sering saya dengar dari kawan-kawan saya yang aktif di NU. Biasanya, kata dia, Gus Dur mendiktekan pemikiran-pemikirannya untuk diketik oleh Adhi M. Massardi, sekretaris pribadinya.

Nah, Gus Dur yang dulu sempat mengalami kesulitan melihat masih mampu menulis dan menuangkan gagasannya, apalagi kita yang masih sehat. Iya, kan?

Referensi:
- Cerita di Balik Dapur Tempo 40 Tahun (1971-2011), KPG Jakarta, 2011

Post a Comment

Previous Post Next Post