Banyak pelajaran yang saya peroleh setelah berinteraksi dengan pelaku Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) selama ini. Di antaranya, soal hidup mandiri, kepedulian terhadap sesama serta pengambilan keputusan secara musyawarah. Saya melihat pelibatan masyarakat dalam setiap keputusan penting sesuatu yang perlu terus dipelihara dan dikembangkan, hal yang absen dilakukan selama ini.
Apa yang saya lihat adalah, PNPM benar-benar membangun bersama masyarakat. Setidaknya ini yang saya rasakan setelah ikut terlibat melatih masyarakat untuk menulis yang digelar oleh Ruang Belajar Masyarakat (RBM) PNPM, mulai di Pidie, Aceh Besar, Pidie Jaya dan Aceh Barat. Memang, di sana-sini masih ada kelemahan dari program PNPM, tapi mereka memiliki mekanisme penyelesaian masalah yang membuat program PNPM terus berjalan dan aktif membantu masyarakat perdesaan (juga perkotaan).
Terkait hidup mandiri, misalnya, bagaimana PNPM melalui program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) telah ikut mendorong peningkatan ekonomi masyarakat kecil di perdesaan. Kelompok-kelompok perempuan yang terbentuk dan didanai melalui pinjaman dana telah membuat anggota kelompoknya menjadi pribadi-pribadi mandiri. Mereka telah pula membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Intinya, melalui dana pinjaman tersebut, mereka mampu mengembangkan usaha, serta ikut merangsang anggota kelompok masyarakat lain menjadi produktif.
Selain itu, dari keuntungan yang diperoleh anggota kelompok, tak hanya diperuntukkan bagi penambahan modal, melainkan juga membantu anggota masyarakat yang melarat. Banyak dana surplus yang dikelola oleh UPK dimanfaatkan untuk, misalnya, membangun rumah dhuafa, membantu rumah tangga miskin dan serta program-program sosial di setiap desa atau kecamatan. Setidaknya, ini yang saya lihat di Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar dan Aceh Barat.
Dalam hal pelibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, ini misalnya, bisa dilihat dalam proses pengusulan program yang akan dilaksanakan di gampong-gampong. Dimulai dengan musyawarah desa, musyawarah antar desa, musrembang kecamatan dan sebagainya. Setiap usulan yang muncul tersebut dibahas dan diberi perangkingan, mana yang harus dijadikan prioritas dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Hasilnya, sebagian besar proyek yang dibuat oleh PNPM merupakan kebutuhan ril masyarakat, dan jarang yang terbengkalai. Karena memang, proyek-proyek itu diusulkan oleh masyarakat itu sendiri.
Kenapa program bagus tersebut jarang terekspose? Ini yang selama ini dikeluhkan oleh pelaku PNPM. Berita-berita dari mereka jarang muncul di media mainstream. Memang tak mungkin semua berita PNPM dapat dimuat di media, selain karena media memiliki kebijakan sendiri, juga karena setiap informasi dari PNPM hanya dipandang sebagai seremoni belaka. Media pun memberlakukan berita dari PNPM sebagai advertorial. Makanya, tak heran di beberapa Kabupaten, pihak PNPM menerbitkan media internal sendiri untuk menginformasikan setiap perkembangan dari program yang sedang dilakukan.
Di Pidie, misalnya, mereka menerbitkan Tabloid Peujroh, di Aceh Besar ada Tabloid Keumang, di Meulaboh ada Tabloid Meukeutop, dan Tabloid Seuraya. Demikian pula di Aceh Timur ada Peugoet dan Sigupai di Aceh Barat Daya. Melalui media internal inilah semua praktik yang baik dari PNPM disebarkan kepada masyarakat.
Apa yang dapat dipetik di sini? Kita berharap apa yang dilakukan oleh PNPM ini bisa menginspirasi kelompok kepentingan (juga pemerintah Aceh) untuk terus memikirkan program yang pro-rakyat. Apalagi kita di Aceh ini, masyarakat sangat mendambakan perubahan yang benar-benar nyata. Masyarakat sudah cukup lama hidup dalam ketidakpastian: konflik puluhan tahun serta musibah tsunami. Mereka mengimpikan kesejahteraan sesuatu yang belum mereka rasakan.
Padahal, dana Aceh cukup besar. Aceh menjadi salah satu provinsi dengan penerimaan pemerintah perkapita tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2013 saja, Pemerintah Aceh plus Kabupaten/Kota menerima dana Rp25,5 triliun. Bahkan sejak tahun 2008 hingga akhir 2013, Aceh sudah menerima lebih dari Rp100 triliun. Jumlah ini menempatkan Aceh menduduki peringkat ke-5 terkaya dari sisi penerimaan pemerintah sebesar Rp5,5 juta, sementara penerimaan rata-rata daerah lain hanya sebesar Rp4,2 juta.
Dengan jumlah dana demikian besar, apakah rakyat Aceh sudah hidup sejahtera? Ternyata tidak juga. Sebab, dari data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012, misalnya, tentu membuat kita terkejut. Bayangkan, penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data per Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Artinya, pemerintahan Aceh yang lahir pasca-perdamaian (juga tsunami) ternyata belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Lebih memiriskan lagi, ternyata, selain upaya percepatan kesejahteraan yang masih jalan di tempat, kita juga dihadapkan pada masalah sosial yang tak kalah penting: jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Aceh juga tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Aceh tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen (dihitung dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas). Bahkan, angka gangguan jiwa di Aceh ini berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Kita tidak tahu apakah ada hubungannya antara tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, dengan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa. Untuk yang satu ini perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
Tak hanya itu, kita juga miris dengan kondisi gizi buruk yang dialami oleh anak-anak Aceh. Bayangkan, angka kematian bayi di Aceh selama 2013 lalu mencapai 1.034 bayi, lebih tinggi di banding tahun 2012 yang hanya 985 bayi. Anehnya, kematian tersebut rata-rata disebabkan oleh kekurangan gizi, baik saat janin masih di dalam kandungan maupun ketika bayi masih di bawah satu tahun. Angka ini sebenarnya tak mengherankan, karena ternyata berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010, sebanyak 23,7 persen anak Aceh mengalami gizi buruk dan kurang gizi. Ini tentu saja sebuah ironi di tengah dana Aceh yang melimpah.
Semua pihak mutlak harus memikirkan hal ini. Aceh adalah milik bersama yang harus dikelola dengan baik. Lupakan perbedaan politik selama ini. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yaitu membuat Aceh lebih sejahtera. Sumber daya manusia dan alam serta dana yang dikelola oleh Pemerintah Aceh cukup untuk membangun Aceh menjadi lebih baik lagi. Salam
-- Note: tulisan ini ditulis untuk Tabloid Seuraya (PNPM Pidie Jaya)
Apa yang saya lihat adalah, PNPM benar-benar membangun bersama masyarakat. Setidaknya ini yang saya rasakan setelah ikut terlibat melatih masyarakat untuk menulis yang digelar oleh Ruang Belajar Masyarakat (RBM) PNPM, mulai di Pidie, Aceh Besar, Pidie Jaya dan Aceh Barat. Memang, di sana-sini masih ada kelemahan dari program PNPM, tapi mereka memiliki mekanisme penyelesaian masalah yang membuat program PNPM terus berjalan dan aktif membantu masyarakat perdesaan (juga perkotaan).
Terkait hidup mandiri, misalnya, bagaimana PNPM melalui program Simpan Pinjam Perempuan (SPP) telah ikut mendorong peningkatan ekonomi masyarakat kecil di perdesaan. Kelompok-kelompok perempuan yang terbentuk dan didanai melalui pinjaman dana telah membuat anggota kelompoknya menjadi pribadi-pribadi mandiri. Mereka telah pula membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Intinya, melalui dana pinjaman tersebut, mereka mampu mengembangkan usaha, serta ikut merangsang anggota kelompok masyarakat lain menjadi produktif.
Selain itu, dari keuntungan yang diperoleh anggota kelompok, tak hanya diperuntukkan bagi penambahan modal, melainkan juga membantu anggota masyarakat yang melarat. Banyak dana surplus yang dikelola oleh UPK dimanfaatkan untuk, misalnya, membangun rumah dhuafa, membantu rumah tangga miskin dan serta program-program sosial di setiap desa atau kecamatan. Setidaknya, ini yang saya lihat di Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar dan Aceh Barat.
Dalam hal pelibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan, ini misalnya, bisa dilihat dalam proses pengusulan program yang akan dilaksanakan di gampong-gampong. Dimulai dengan musyawarah desa, musyawarah antar desa, musrembang kecamatan dan sebagainya. Setiap usulan yang muncul tersebut dibahas dan diberi perangkingan, mana yang harus dijadikan prioritas dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Hasilnya, sebagian besar proyek yang dibuat oleh PNPM merupakan kebutuhan ril masyarakat, dan jarang yang terbengkalai. Karena memang, proyek-proyek itu diusulkan oleh masyarakat itu sendiri.
Kenapa program bagus tersebut jarang terekspose? Ini yang selama ini dikeluhkan oleh pelaku PNPM. Berita-berita dari mereka jarang muncul di media mainstream. Memang tak mungkin semua berita PNPM dapat dimuat di media, selain karena media memiliki kebijakan sendiri, juga karena setiap informasi dari PNPM hanya dipandang sebagai seremoni belaka. Media pun memberlakukan berita dari PNPM sebagai advertorial. Makanya, tak heran di beberapa Kabupaten, pihak PNPM menerbitkan media internal sendiri untuk menginformasikan setiap perkembangan dari program yang sedang dilakukan.
Di Pidie, misalnya, mereka menerbitkan Tabloid Peujroh, di Aceh Besar ada Tabloid Keumang, di Meulaboh ada Tabloid Meukeutop, dan Tabloid Seuraya. Demikian pula di Aceh Timur ada Peugoet dan Sigupai di Aceh Barat Daya. Melalui media internal inilah semua praktik yang baik dari PNPM disebarkan kepada masyarakat.
Apa yang dapat dipetik di sini? Kita berharap apa yang dilakukan oleh PNPM ini bisa menginspirasi kelompok kepentingan (juga pemerintah Aceh) untuk terus memikirkan program yang pro-rakyat. Apalagi kita di Aceh ini, masyarakat sangat mendambakan perubahan yang benar-benar nyata. Masyarakat sudah cukup lama hidup dalam ketidakpastian: konflik puluhan tahun serta musibah tsunami. Mereka mengimpikan kesejahteraan sesuatu yang belum mereka rasakan.
Padahal, dana Aceh cukup besar. Aceh menjadi salah satu provinsi dengan penerimaan pemerintah perkapita tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2013 saja, Pemerintah Aceh plus Kabupaten/Kota menerima dana Rp25,5 triliun. Bahkan sejak tahun 2008 hingga akhir 2013, Aceh sudah menerima lebih dari Rp100 triliun. Jumlah ini menempatkan Aceh menduduki peringkat ke-5 terkaya dari sisi penerimaan pemerintah sebesar Rp5,5 juta, sementara penerimaan rata-rata daerah lain hanya sebesar Rp4,2 juta.
Dengan jumlah dana demikian besar, apakah rakyat Aceh sudah hidup sejahtera? Ternyata tidak juga. Sebab, dari data terbaru Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012, misalnya, tentu membuat kita terkejut. Bayangkan, penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data per Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa (acehkita, 2/7). Artinya, pemerintahan Aceh yang lahir pasca-perdamaian (juga tsunami) ternyata belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Lebih memiriskan lagi, ternyata, selain upaya percepatan kesejahteraan yang masih jalan di tempat, kita juga dihadapkan pada masalah sosial yang tak kalah penting: jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Aceh juga tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Aceh tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen (dihitung dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas). Bahkan, angka gangguan jiwa di Aceh ini berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen. Kita tidak tahu apakah ada hubungannya antara tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, dengan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa. Untuk yang satu ini perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
Tak hanya itu, kita juga miris dengan kondisi gizi buruk yang dialami oleh anak-anak Aceh. Bayangkan, angka kematian bayi di Aceh selama 2013 lalu mencapai 1.034 bayi, lebih tinggi di banding tahun 2012 yang hanya 985 bayi. Anehnya, kematian tersebut rata-rata disebabkan oleh kekurangan gizi, baik saat janin masih di dalam kandungan maupun ketika bayi masih di bawah satu tahun. Angka ini sebenarnya tak mengherankan, karena ternyata berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2010, sebanyak 23,7 persen anak Aceh mengalami gizi buruk dan kurang gizi. Ini tentu saja sebuah ironi di tengah dana Aceh yang melimpah.
Semua pihak mutlak harus memikirkan hal ini. Aceh adalah milik bersama yang harus dikelola dengan baik. Lupakan perbedaan politik selama ini. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yaitu membuat Aceh lebih sejahtera. Sumber daya manusia dan alam serta dana yang dikelola oleh Pemerintah Aceh cukup untuk membangun Aceh menjadi lebih baik lagi. Salam
-- Note: tulisan ini ditulis untuk Tabloid Seuraya (PNPM Pidie Jaya)
Tags:
catatan