Kompas edisi Kamis (30/1) mengulas tentang visi yang diusung tiga partai
lokal di Aceh, yaitu masing-masing Partai Aceh, Partai Damai Aceh dan Partai
Nasional Aceh. Berbeda dengan ulasan 12 parpol lain yang kebagian satu
edisi khusus (halaman depan plus halaman 4-5), ulasan tentang partai lokal Aceh
langsung disatukan dalam sebuah laporan (halaman depan plus halaman 4-5). Ini
bisa dimaklumi, karena partai-partai ini hanyalah partai lokal yang tak bisa
mengajukan kadernya ke Senayan (kecuali dititipkan melalui parpol nasional).
Saya pikir bagus juga kalau ulasannya digabung, minimal kader dari tiga
partai lokal tersebut bisa membaca visi partai lain secara bersamaan. Sehingga mereka
tak hanya tahu tentang visi partai sendiri, melainkan partai kompetitornya.
Selama ini, orang lebih cenderung membaca laporan tentang partainya saja di
media, dan tak mau tahu dengan partai lain. Mudah-mudahan ulasan yang digabung
itu plus ajakan untuk terus merawat perdamaian mampu meredam bara konflik yang
mulai disulut di Aceh.
Sebenarnya bukan ulasan tentang tiga parlok yang menarik perhatian saya,
tapi kicauan yang dimuat di rubrik Muda Bicara. Posting ini sendiri saya tulis
tak terlepas setelah membaca kolom ‘muda bicara’ yang berisi kicauan para
netizen tentang partai lokal Aceh. Dari lima kicauan yang dimuat oleh Kompas,
saya pikir semuanya masih terkesan ‘memendam curiga yang mendalam’ terhadap
Aceh. Sekali pun sudah 9 tahun perdamaian Aceh tercipta, ‘wajah’ Aceh masih
dilihat penuh bercak dan noda. MoU Helsinki belum sepenuhnya diterima sebagai
tanda Aceh sudah berdamai dengan Indonesia. Saya berharap ulasan singkat di media nasional
itu mampu menurunkan sedikit tensi ‘curiga’ publik nasional
terhadap Aceh.
Perhatikan saja kicauan dari akun @dppGEPAK ‘Aneh, Masih adanya “hidden
interest” pihak-pihak tertentu membuktikan bahwa perjuangan menuju persatuan
masih cukup jauh.’ Atau kicauan pemilik akun @mrhomdoni yang menyebutkan
‘Partai lokal tidak akan berkembang karena hanya menaungi Aceh. Namun, bisa
membuat Aceh memisahkan diri karena Acehismenya.’
Mereka mungkin saja lupa membaca berita sehingga kurang update soal Aceh.
Mereka pun masih melihat Aceh yang sembilan tahun lalu. Padahal, rentang waktu 9 tahun
itu jangankan Aceh, kita juga bisa berubah. Dan anehnya, mereka tak ikut
mengikuti perubahan apa yang sedang terjadi di Aceh dalam rentang waktu 9 tahun
itu. Kalau diperhatikan, kicauan tersebut tak jauh berbeda dengan komentar elit
politik saat isu partai lokal menghangat pada 2007-2008 silam (bahkan ketika
bahasan tentang partai lokal masuk dalam topik awal perundingan Helsinki).
Sampai hari ini, saya masih teringat komentar juru bicara GAM, (alm)
Ibrahim KBS saat mengomentari sikap para elit di Jakarta tentang partai lokal.
Kepada mereka, Ibrahim mengibaratkan kehadiran partai lokal itu seperti orang
mengandung. “Indonesia itu siap hamil
tapi tak siap melahirkan!”
Saya yakin orang-orang yang masih melihat Aceh dengan penuh curiga serta
masih yakin Aceh memisahkan diri dari Indonesia sama sekali tak akrab dengan
Aceh. Mereka sama sekali tak tahu perkembangan Aceh dalam rentang waktu 9 tahun, terutama ketika pemberitaan terkait Aceh tak
lagi seksi. Akibatnya, di memori mereka masih terus diputar ‘kaset lama’ saat
Aceh dibalut konflik.
Mereka mungkin lupa menyimak satu hal, bahwa setelah 9 tahun damai Aceh tak lagi
bertikai dengan Jakarta. Mereka tidak tahu kalau Aceh sedang bertarung sendiri,
sesama anak bangsa sendiri. Bisa juga mereka lupa mencari tahu bahwa hubungan
orang Aceh dengan musuh bebuyutan mereka sudah lama usai. Aceh kini sedang
sibuk berperang dengan sesama, antara pejuang melawan pejuang. Masing-masing
ingin membuktikan, kadar ‘perjuangan’ siapa yang masih kuat karatnya.
Kepada mereka-mereka itu, perlulah saya kutip kesimpulan seorang teman saya yang sering disampaikannya di warung kopi, bahwa Aceh kini sedang sibuk dengan ‘prang kutiek.’ Saya yakin mereka juga tidak tahu, kan? Hom hai.
Kepada mereka-mereka itu, perlulah saya kutip kesimpulan seorang teman saya yang sering disampaikannya di warung kopi, bahwa Aceh kini sedang sibuk dengan ‘prang kutiek.’ Saya yakin mereka juga tidak tahu, kan? Hom hai.
Tags:
catatan