Konflik dan tsunami melahirkan cukup banyak anak yatim di
Aceh. Sebagian ada yang dibina di pesantren, disekolahkan pemerintah atau diberi
beasiswa. Tapi, dari sejumlah anak yatim yang tersebar di seluruh Aceh, tak
semuanya memperoleh perlakuan yang sama. Sekali pun konstitusi menjamin, bahwa
anak yatim dan anak telantar dipelihara negara, namun masih cukup banyak anak
yatim dan anak telantar yang belum memperoleh penghidupan yang layak, tak bisa
melanjutkan sekolah, dan luput dari perhatian negara. Tak percaya? Cari tahu saja
di pelosok kampung yang jauh dari pantauan media dan ibukota. Siapa yang salah?
Padahal, jauh sebelum masalah anak yatim ini masuk dalam
konstitusi negara, agama sebenarnya sudah menyinggung soal kepedulian terhadap
anak yatim. Dalam Al Quran, surat Al Maun (surat 107, ayat 1-7), Allah menyuruh
kita untuk peduli terhadap terhadap anak yatim. Allah melabeli orang yang tidak
mengurusi anak yatim dan menghardik mereka (para anak yatim) sebagai orang yang
mendustai agama.
Memanusiakan Anak Yatim | Gema |
Konon, KH Ahmad Dahlan, yang dikenal sebagai sang
pencerah, mengajarkan secara berulang-ulang surat Al-Maun kepada murid-muridnya. Pengajaran tersebut bahkan
berlangsung untuk waktu yang cukup lama, tetapi KH Ahmad Dahlan tak sekali pun
melanjutkan ke surat-surat lain dalam Al Quran. Awalnya, para murid menganggap
normal saja, dan tak ada yang berani melancarkan protes. Kita bisa membayangkan
bagaimana bosannya para murid setiap hari cuma diajarkan ayat-ayat itu saja.
Hingga pada suatu hari, salah seorang murid, mencoba
bertanya pada sang kiai. “Kenapa kita
belum melanjutkan mempelajari surat yang lain, kiai?” tanya si murid itu
seperti mewakili teman-temannya. KH Ahmad Dahlan tak menduga para muridnya
seberani itu. Lama ia terdiam, lalu balik bertanya, “Apakah kalian sudah benar-benar memahami surat tersebut?”. Murid
itu kemudian menjawab bahwa dia dan teman-temannya sudah sangat memahami surat
tersebut, bahkan menghafalnya di luar kepala. “Lalu, apakah kalian sudah benar-benar mengamalkannya?” tanya KH
Ahmad Dahlan lagi. “Sudah, kiai. Bahkan
kami membaca surat ini berulang-kali dalam salat.”
KH Ahmad Dahlan tersenyum dan mengangguk. Dia bangga
dengan para murid-muridnya. Selanjutnya, Ia pun menjelaskan bahwa maksud
mengamalkan surat Al Maun tersebut bukan menghafal atau membaca, melainkan
menjalankan maksud surat Al Maun dalam bentuk kongkrit. “Setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka
pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan
minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak,” selesai berkata
begitu, KH Ahmad Dahlan menutup pengajian hari itu. Para muridnya pun tertegun
dan seperti baru disambar petir.
Bagi kita di Aceh, surat Al Maun tersebut, sudah
sepatutnya perlu dibaca dan ditelaah kembali. Jangan-jangan kita sudah alpa
mengamalkannya. Sebagai wilayah yang melaksanakan Syariat Islam, Aceh harus menjadi
pelopor utama dalam program pengurusan anak yatim yang jumlahnya ribuan, baik karena
konflik maupun tsunami. Pemerintah Aceh perlu membuat program yang memihak anak
yatim, seperti menggalakkan kembali beasiswa untuk anak yatim hingga perguruan
tinggi, pemberian kuota khusus menjadi PNS dan menyediakan lapangan kerja.
Program-program ini selain untuk menghormati orang tua mereka yang jadi korban
konflik maupun tsunami, juga mengangkat martabat para anak yatim. Jika ini abai
dilakukan, bersiaplah Aceh mendapat kutukan dari Allah sebagai wilayah yang
mendustai agama. Nauzubillah!
Note: tulisan ini sudah dimuat di Gema Baiturrahman, 18 Juli 2014, dan ditulis untuk menyemarakkan peringatan Hari Anak Yatim Se-dunia, 15 Ramadhan.
Tags:
Artikel