Menulis dan Menerbitkan Buku Itu Gampang!

Apakah menulis dan menerbitkan buku itu gampang? Kalau pertanyaan begini kita tanya sama Goenawan Mohammad, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Herata, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan para penulis produktif lain, pasti jawabannya gampang. Kenapa? Mereka sudah terbiasa menulis dan menerbitkan buku. Beberapa di antara mereka menerbitkan sendiri bukunya seperti Dewi Lestari dengan Supernova-nya, sementara yang lain sering karyanya diburu penerbit. Lalu, bagaimana dengan kita?

Saya tidak bilang bahwa menulis dan menerbitkan buku itu gampang. Tapi, semua kita mampu melakukannya. Hanya saja, beberapa di antara kita menganggap menulis dan menerbitkan buku itu hanya 'hak istimewa' penulis terkenal, akademisi, politikus, wartawan atau pekerja seni. Padahal, kalau mau serius dan tekun, kita juga mampu melakukannya. Jika benar-benar mau melakukannya, kita harus disiplin pada diri sendiri. Tips berikut ini boleh dicoba.

Tentukan topik yang diminati
Menulis menjadi lebih mudah kalau kita menyukai topik yang hendak ditulis. Menulis topik yang diminati akan berbeda dengan menulis sesuatu yang tidak kita sukai. Kita biasanya lebih bersemangat dan peduli pada hal-hal yang memang menjadi fokus kita. Jadi, sangat penting menetapkan topik yang disukai lebih dulu. Selain kita jadi lebih bersemangat, tulisan-tulisan kita juga menjadi lebih dalam dan tajam. Apalagi, jika kita memiliki banyak referensi tentang topik yang ditulis tersebut, tentuk hasilnya akan jauh berbeda dengan menulis sesuatu yang sama sekali tidak kita sukai.

Review buku Aceh Pungo
Jadi, kalau ingin menulis dan menerbitkan buku secara gampang, mulailah menulis satu tema khusus yang diminati. Misalnya, tentang kuliner, fashion, atau tulisan-tulisan tentang motivasi. Jika kita menulis secara rutin setiap hari, berarti dalam sebulan kita mampu menghasilkan 30 tulisan dengan tema khusus atau 360 tulisan dalam setahun. Coba bayangkan, berapa buah buku yang mampu kita hasilkan dengan 360 tulisan? Misalkan, satu buku akan berisi 60 tulisan, berarti dalam setahun kita mampu menghasilkan 6 buah buku. Luar biasa, bukan?

Rutin menulis setiap hari
Usahakan rutin menulis setiap hari. Boleh dua jam, tiga jam atau tergantung waktu luang yang dimiliki. Cari waktu yang cocok untuk menulis. Sebab, semua orang berbeda-beda waktu yang cocok untuk menulis. Beberapa penulis produktif, biasanya menyempatkan diri menulis sehabis shalat subuh, atau sepulang dari kantor. Banyak juga yang menulis di tengah malam kala orang-orang sudah tidur. Jadi sesuaikan saja, kapan waktu yang benar-benar cocok untuk menulis. Yang penting, rutin menulis setiap hari.

Menulis secara rutin setiap hari membuat kita terbiasa menulis. Ini sekaligus untuk melatih produktivitas dan menumbuhkan semangat menulis. Sebab, begitu menulis sudah menjadi kebutuhan, rasa-rasanya sehari tidak menulis akan hambar rasanya. Selain itu, dengan rutin menulis setiap hari, kita jadi terbiasa menuangkan gagasan yang ada di pikiran dalam bentuk tulisan.

Tahun lalu (2013) saya pernah ikut tantangan #30HariNonStopNgeblog dari Blogdetik. Dalam tantangan tersebut, kita wajib menulis satu tulisan minimal 350 kata setiap hari, tidak boleh absen lebih tiga hari. Jika sampai absen tiga kali, peserta akan didiskualifikasi. Jika rutin menulis satu tulisan setiap hari berarti kita sudah menghasilkan 30 tulisan selama sebulan dan 360 tulisan dalam waktu setahun. Jadi, tantangan seperti ini tak hanya bagus dalam melatih kedisiplinan melainkan juga dari sisi produktivitas.

Saya sendiri punya pengalaman menerbitkan buku, Aceh Pungo. Ini buku kumpulan kolom saya di Harian Aceh yang saya tulis rutin setiap hari secara mencicil. Rupanya, tulisan-tulisan ringan dan pendek itu cukup diminati, sehingga banyak yang meminta agar diterbitkan dalam bentuk buku. Alhamdulillah, begitu terbit, buku bersampul hitam jadi laris manis. Promosi di sosial media turut membuat buku tersebut jadi perbincangan khalayak.

Bina hubungan dengan penerbit
Dulu, sebelum era sosial media booming seperti saat ini, cukup banyak para penulis kesulitan berhubungan atau sekadar berkenalan dengan editor sebuah penerbitan. Kini, berkat sosial media, kita dapat langsung berkenalan, diskusi dan menawarkan naskah. Kita juga bisa tanya-tanya soal kriteria naskah yang dibutuhkan atau mekanisme pengiriman naskah dan sebagainya. Saya yakin mereka cukup terbuka, apalagi jika kita dapat menunjukkan soal kualitas dan kompetensi kita sebagai penulis.

Karena itu, jadilah diri sendiri di sosial media. Jangan gunakan nama 'langit' atau nama 'planet' neptunus, tetapi selalu gunakan nama asli sesuai KTP. Ini penting agar orang-orang tak berpikir kita senang berpura-pura dan menyembunyikan identitas asli. Ingat, kita bukan orang jahat yang perlu berlindung di balik topeng kepalsuan. Selain itu, untuk menunjukkan reputasi dan kompetensi kita, milikilah sebuah blog tempat kita menulis. Ini bisa menjadi medium bagi kita membentuk personal branding. Tak apa, kalau di dunia nyata kita bukan siapa-siapa, tetapi buktikan bahwa di dunia maya kita adalah pribadi yang luar biasa. [orang biasanya terbalik: di dunia maya dia bukan siapa-siapa, tapi di dunia nyata dia luar biasa]

Kalau hubungan baik dengan editor penerbitan sudah terjalin dengan baik, kita akan lebih mudah memasarkan tulisan/karya. Syaratnya, tulisan kita harus benar-benar bagus, menarik dan sedang trends. Apalagi jika kita mampu menulis secara populer dan ngepop. Pasti akan banyak penerbit yang akan melirik, apalagi jika kita mampu menjadi figur 'heboh' di sosial media dengan pengikut yang cukup banyak. Para pengikut inilah yang dengan setia mempromosikan setiap tulisan-tulisan kita, sehingga tercium oleh editor. Lalu, setelah berbagai upaya sudah dilakukan, tapi tak ada penerbit yang berminat, bagaimana?

Self publishing
Kata orang banyak jalan menuju Roma. Dalam kasus kita berarti banyak cara menerbitkan buku. Ditolak sekali-dua-kali oleh penerbit jangan langsung patah semangat. Dunia belum kiamat jika satu dua naskah kita ditolak. Penolakan oleh penerbit itu hal yang cukup sering terjadi, dan itu sangat alamiah. Karena itu, kita perlu membuktikan bahwa tanpa penerbit pun kita masih mampu menerbitkan buku. Saya pikir, banyak penulis hebat sekarang ini yang menikmati kesuksesan karena mereka tak gampang menyerah. Coba kita telusuri bagaimana beratnya perjuangan JK Rowling, Dan Brown, Dewi Lestari, Andrea Hirata dan banyak lagi. Saya yakin pada awalnya naskah-naskah mereka pernah ditolak oleh penerbit, tetapi mereka terus menulis dan berkarya sehingga menjadi tenar seperti sekarang ini. Bahkan, mereka menjadi penulis best seller yang buku-bukunya selalu diburu.

Kita dapat belajar pada Dewi Lestari, yang memilih menerbitkan sendiri buku Supernova-nya karena tidak mau tulisannya diutak-atik oleh editor penerbitan. "Mereka kan artis dan punya cukup duit untuk menerbitkan sendiri bukunya?" Iya, tapi dewasa ini kita bisa melakukannya, sekali pun kita tak menikmati kemewahan 'harta' seperti dia. Caranya, kita bisa menerbitkan buku secara self publishing murah, mencetak buku secara terbatas, tergantung pesanan. Untuk medium promosi kita bisa menggunakan layanan sosial media seperti facebook atau twitter. Kita goda para calon pembeli buku kita dengan desain cover yang menarik atau dengan summary yang membuat calon pembeli tergerak hatinya untuk segera memesan dan memiliki buku kita. Banyak orang bahkan membuat buku dalam bentuk e-book. Ini juga bisa kita coba.

Buku-buku tersebut tetap layak dan laku dijual, asal isinya bagus dan desainnya menarik. Yang harus dilakukan adalah berpromosi secara massif di sosial media serta meminta bantuan teman-teman untuk menulis komentar tentang buku tersebut. Ini akan mengangkat citra kita dan buku yang kita tulis. Belum lagi, jika buku tersebut tentang hal remeh temeh tentang kejadian sehari-hari yang dekat dengan pembaca, pasti akan mengundang rasa ingin tahu mereka.

Penerbit mulai melirik blogger
Belakangan, buku yang berasal dari catatan blog sedang digandrungi penerbit dan pembaca. Selain lebih jujur dan alami, blogger biasanya menulis berdasarkan kisah sehari-hari. Ditopang kemampuan menulis para blogger yang terus meningkat, penikmat tulisan mereka juga bertambah. Kalau diperhatikan, tulisan para blogger tak kalah hebatnya dari karya para pakar. Bedanya, para blogger menulis menurut selera mereka dan (kadang-kadang) selera mesin pencari. Mereka sering tak peduli pada teori yang berat-berat. Masalah yang rumit sekali pun kadang-kadang mampu diulas secara sederhana oleh para blogger. Tema-tema yang mereka tulis juga beragam, mulai dari teknologi, tips, fashion, traveling atau tentang kuliner. Tulisan mereka lebih mudah dicerna dan diminati pembaca.

Blogger yang menikmati berkah dari aktivitas ngeblog dan menerbitkan bukunya dari tulisan di blog sudah cukup banyak, sebut saja Diana Rikasari yang suka membahas tentang fashion yang sedang ngetrend,  Trinity dan  Marischka Prundence yang dikenal sebagai travel blogger atau Radityadika yang terkenal dengan tulisan kocaknya.

Jadi kalau kita ingin sukses seperti mereka, tak ada cara lain, kecuali terus menulis setiap hari tentang passion yang sesuai dengan minat kita. Ingatlah baik-baik kata orang bijak: Orang jarang mencapai kesuksesan kecuali mereka mencintai apa yang mereka lakukan. Sebagai blogger kita tentu mencintai dunia tulis-menulis, ini yang harus terus dijaga dan diasah.

Nah, mudah-mudahan beberapa tips di atas menginspirasi kita untuk terus menulis. Yakinlah, aktivitas menulis dan ngeblog itu tidak pernah sia-sia asal dilakukan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Kesuksesan tidak pernah datang secara tergesa-gesa, melainkan harus diperjuangkan dengan segenap tenaga. Yakinlah, kalau blogger lain bisa melakukannya, saya pikir kita juga pasti bisa. Kalau tips menulis dan menerbitkan buku itu gampang di atas dipraktikkan, suatu saat kita mempu menerbitkan buku yang sangat tebal tapi bagus, asalkan rutin menulis satu tulisan dengan tema tertentu setiap hari. Akan tiba waktunya, menulis enam buah buku dalam setahun itu menjadi sangat-sangat gampang! []

Post a Comment

Previous Post Next Post