Masyarakat Aceh sudah menikmati suasana perdamaian selama sembilan tahun. Banyak hal yang sudah berubah, terutama kondisi Aceh yang terus membaik dan kondusif, sekali pun sejumlah insiden-insiden kekerasan masih tetap terjadi, tetapi belum sampai mengganggu suasana damai. Namun, di luar itu, perdamaian Aceh ternyata masih tetap menyisakan masalah, dan memaksa Pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh untuk terus memperjuangkannya, karena beberapa janji damai Aceh belum terealisasi.
Dalam konteks inilah, nasehat Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro penting untuk direnungkan kembali, saat perdamaian menapaki usia sembilan tahun, bahwa “Di dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, akan tetapi, dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua.”
Memelihara perdamaian menjadi tantangan bagi kita di Aceh, pasalnya, kalau kita buka kembali Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh banyak poin-poin yang masih melenceng dari isi MoU Helsinki. Malah, MoU sendiri tak dimasukkan sebagai landasan filosofis dan politis dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi dan penyelesaian konflik Aceh di rujukan menimbang.
Hal ini boleh saja dipandang bukan sebuah kesengajaan, tetapi itulah kesalahan pertama sekaligus paling fatal yang dilakukan oleh anggota DPR RI ketika itu, apalagi diikuti dengan kesalahan-kesalahan lain. Janji damai Aceh tak kunjung tiba.
Dalam pasal tentang Peradilan HAM, misalnya, rumusannya lebih mundur dari UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM, dan lebih mundur dari UU No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Di UUPA, pelaku pelanggaran HAM tidak berlaku surut (retroaktif), artinya pelanggar HAM di Aceh pada masa lalu tidak dapat disentuh oleh hukum (bandingkan pasal 227 UUPA dan butir 2.2 MoU Helsinki).
Keikhlasan menerima perdamaian, berarti orang Aceh tidak boleh lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak pernah melangkah maju, dan dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Namun, bagaimana pun, masa lalu harus dihadapi dengan sikap seimbang: mengingat dan melupakan.
Di luar itu, masih cukup banyak turunan dari UUPA yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Pusat. Di antaranya, Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh; Peraturan Pemerintah tentang Minyak dan Gas (Migas); Peraturan Presiden tentang Pertanahan; Peraturan pemerintah tentang tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah; Peraturan Pemerintah tentang standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS di Aceh; Peraturan Pemerintah tentang nama Aceh dan gelar pejabat Pemerintah Aceh; serta Peraturan Pemerintah tentang penyerahan sarana dan prasarana, pendanaan, personel, dan dokumen tentang pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah.
Terkait Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, misalnya, sudah lama dibahas tapi hingga kini belum selesai. Pasalnya, dalam PP tersebut hampir semua urusan di Aceh ditangani oleh pusat, sementara Pemerintah Aceh hanya dapat amisnya saja. Usulan dari Pemerintah Aceh agar PP tersebut disempurnakan belum juga dilakukan. Hal inilah yang membuat beberapa kebijakan penting di Aceh jadi macet, dan Pemerintah Aceh seperti tersandera.
Kita di Aceh terus berharap agar beberapa turunan dari UUPA yang belum kelar itu agar segera diselesaikan, sehingga tidak memunculkan preseden buruk dalam hal hubungan Aceh dan Jakarta yang terus membaik. Bagaimana pun, itulah beberapa janji perdamaian yang penting dituntaskan. Pemerintah Pusat di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tersisa beberapa bulan lagi, seharusnya segera membereskan masalah itu sebagai kado terindah bagi sembilan tahun perdamaian Aceh. []
Dalam konteks inilah, nasehat Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro penting untuk direnungkan kembali, saat perdamaian menapaki usia sembilan tahun, bahwa “Di dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, akan tetapi, dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua.”
Memelihara perdamaian menjadi tantangan bagi kita di Aceh, pasalnya, kalau kita buka kembali Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh banyak poin-poin yang masih melenceng dari isi MoU Helsinki. Malah, MoU sendiri tak dimasukkan sebagai landasan filosofis dan politis dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi dan penyelesaian konflik Aceh di rujukan menimbang.
Hal ini boleh saja dipandang bukan sebuah kesengajaan, tetapi itulah kesalahan pertama sekaligus paling fatal yang dilakukan oleh anggota DPR RI ketika itu, apalagi diikuti dengan kesalahan-kesalahan lain. Janji damai Aceh tak kunjung tiba.
Dalam pasal tentang Peradilan HAM, misalnya, rumusannya lebih mundur dari UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM, dan lebih mundur dari UU No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Di UUPA, pelaku pelanggaran HAM tidak berlaku surut (retroaktif), artinya pelanggar HAM di Aceh pada masa lalu tidak dapat disentuh oleh hukum (bandingkan pasal 227 UUPA dan butir 2.2 MoU Helsinki).
Keikhlasan menerima perdamaian, berarti orang Aceh tidak boleh lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak pernah melangkah maju, dan dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Namun, bagaimana pun, masa lalu harus dihadapi dengan sikap seimbang: mengingat dan melupakan.
Di luar itu, masih cukup banyak turunan dari UUPA yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Pusat. Di antaranya, Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh; Peraturan Pemerintah tentang Minyak dan Gas (Migas); Peraturan Presiden tentang Pertanahan; Peraturan pemerintah tentang tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah; Peraturan Pemerintah tentang standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan PNS di Aceh; Peraturan Pemerintah tentang nama Aceh dan gelar pejabat Pemerintah Aceh; serta Peraturan Pemerintah tentang penyerahan sarana dan prasarana, pendanaan, personel, dan dokumen tentang pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah.
Terkait Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, misalnya, sudah lama dibahas tapi hingga kini belum selesai. Pasalnya, dalam PP tersebut hampir semua urusan di Aceh ditangani oleh pusat, sementara Pemerintah Aceh hanya dapat amisnya saja. Usulan dari Pemerintah Aceh agar PP tersebut disempurnakan belum juga dilakukan. Hal inilah yang membuat beberapa kebijakan penting di Aceh jadi macet, dan Pemerintah Aceh seperti tersandera.
Kita di Aceh terus berharap agar beberapa turunan dari UUPA yang belum kelar itu agar segera diselesaikan, sehingga tidak memunculkan preseden buruk dalam hal hubungan Aceh dan Jakarta yang terus membaik. Bagaimana pun, itulah beberapa janji perdamaian yang penting dituntaskan. Pemerintah Pusat di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tersisa beberapa bulan lagi, seharusnya segera membereskan masalah itu sebagai kado terindah bagi sembilan tahun perdamaian Aceh. []
Tags:
Inforial