Jauh sebelum memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimon, Pidie pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro adalah seorang republiken. Tiro muda dikenal sebagai salah seorang pengibar bendera Merah Putih ketika Indonesia baru merdeka. Dia juga pernah terlibat dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Pidie.
Kecintaannya terhadap sesuatu yang berbau Indonesia berubah total setelah menyaksikan berbagai ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Pemerintah terhadap Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Saat Daud Beureu’eh memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo, Tiro yang waktu itu sedang kuliah di Amerika segera bergabung dalam gerakan tersebut. Bahkan, massifnya operasi pembersihan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Tiro mengirim surat terhadap PM Ali Sastroamidjojo agar menghentikan aksi kekerasan terhadap aktivis DI/TII. Sejak itulah, Hasan Tiro melawan semua yang berbau Indonesia.
Tiro boleh saja dipandang sebagai salah satu orang yang merongrong kewibawaan negara Indonesia yang sah, tetapi dia memiliki alasan yang cukup. Menurutnya, Indonesia cenderung dibangun secara sentralistik dengan mengabaikan peran wilayah-wilayah lain di Indonesia yang memiliki kontribusi terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta. Selain tindakan kekerasan yang massif, upaya Pemerintah Pusat menjadikan daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam sebagai sapi perahan mendorong Tiro untuk melawan konsep sentralistik dan otoriter tersebut.
Pada tahun 1958, Tiro menulis buku ‘Demokrasi untuk Indonesia’. Di buku ini, Tiro menawarkan konsep negara federasi untuk Indonesia. Solusi negara federasi dipandang cocok untuk Indonesia dengan menghargai daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah serta menghormati kekhasan wilayah-wilayah tersebut, sekaligus solusi menghentikan perlawanan DI/TII. Namun, saat itu, wacana negara federasi dipandang tidak cocok untuk Indonesia, apalagi pernah punya pengalaman gagal dengan konsep tersebut. Sebut saja, gagalnya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai negara boneka, bentukan Belanda.
Pun begitu, setelah gerakan reformasi 1998, wacana Negara Federasi kembali menggelinding setelah Amien Rais mengusulkan ide serupa. Negara kesatuan (NKRI) dipandang terlalu Jawa-sentris, dan lebih sering menganak-tirikan daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, ketika wacana pemisahan diri Aceh dari Indonesia menguat, baik dari Gerakan Aceh Merdeka maupun masyarakat sipil dalam bentuk referendum, Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) saat itu, Prof Dr Dayan Dawood, MA, juga mengusulkan wacana federasi. Menurutnya, dengan negara federasi akan menyelamatkan Indonesia dari ambang kehancuran.
Di luar itu, ada hal yang lebih penting dari gerakan yang dibangun Hasan Tiro. Bahwa, di balik ngototnya Hasan Tiro memerdekakan Aceh, ternyata Tiro sudah memberi penyadaran nasionalis kepada Aceh dan juga wilayah-wilayah lain di Indonesia, bahwa konsep sentralistik Jakarta harus dilawan. Beruntung, pascareformasi, Indonesia mulai mengoreksi model pembangunan yang selama ini lebih Jawa-sentris menjadi lebih menghargai daerah-daerah, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar terhadap penerimaan negara.
Saya pikir, inilah salah satu warisan (legacy) Hasan Tiro untuk Indonesia (termasuk Aceh). Indonesia sudah berubah, apalagi dengan memberlakukan sistem desentralisasi dan memberi kewenangan yang lebih besar untuk Pemerintah Daerah. Bagi Aceh, mudah-mudahan, sekali pun tak merdeka, minimal merdeka dalam NKRI: pembangunan berkembang, rakyat sejahtera, dan relasi Aceh-Jakarta kembali pulih seperti semula. Apalagi, Aceh pernah menjadi modal republik ini!
Kecintaannya terhadap sesuatu yang berbau Indonesia berubah total setelah menyaksikan berbagai ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan Pemerintah terhadap Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Saat Daud Beureu’eh memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo, Tiro yang waktu itu sedang kuliah di Amerika segera bergabung dalam gerakan tersebut. Bahkan, massifnya operasi pembersihan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Tiro mengirim surat terhadap PM Ali Sastroamidjojo agar menghentikan aksi kekerasan terhadap aktivis DI/TII. Sejak itulah, Hasan Tiro melawan semua yang berbau Indonesia.
Tiro boleh saja dipandang sebagai salah satu orang yang merongrong kewibawaan negara Indonesia yang sah, tetapi dia memiliki alasan yang cukup. Menurutnya, Indonesia cenderung dibangun secara sentralistik dengan mengabaikan peran wilayah-wilayah lain di Indonesia yang memiliki kontribusi terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta. Selain tindakan kekerasan yang massif, upaya Pemerintah Pusat menjadikan daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam sebagai sapi perahan mendorong Tiro untuk melawan konsep sentralistik dan otoriter tersebut.
Pada tahun 1958, Tiro menulis buku ‘Demokrasi untuk Indonesia’. Di buku ini, Tiro menawarkan konsep negara federasi untuk Indonesia. Solusi negara federasi dipandang cocok untuk Indonesia dengan menghargai daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah serta menghormati kekhasan wilayah-wilayah tersebut, sekaligus solusi menghentikan perlawanan DI/TII. Namun, saat itu, wacana negara federasi dipandang tidak cocok untuk Indonesia, apalagi pernah punya pengalaman gagal dengan konsep tersebut. Sebut saja, gagalnya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai negara boneka, bentukan Belanda.
Hasan Tiro dan Demokrasi untuk Indonesia |
Saya pikir, inilah salah satu warisan (legacy) Hasan Tiro untuk Indonesia (termasuk Aceh). Indonesia sudah berubah, apalagi dengan memberlakukan sistem desentralisasi dan memberi kewenangan yang lebih besar untuk Pemerintah Daerah. Bagi Aceh, mudah-mudahan, sekali pun tak merdeka, minimal merdeka dalam NKRI: pembangunan berkembang, rakyat sejahtera, dan relasi Aceh-Jakarta kembali pulih seperti semula. Apalagi, Aceh pernah menjadi modal republik ini!
Tags:
Inforial