Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka—Teungku Abdullah Syafie (Panglima Gerakan Aceh Merdeka).
SEPANJANG 1998-2005, Aceh hanyut dalam euforia ‘kemerdekaan’. Orang Aceh mendesain ulang nasionalisme baru (baca: nasionalisme Aceh) secara kasar dan radikal, dengan menolak semua konsep keindonesiaan. Mereka bahkan memiliki definisi berbeda terkait kepahlawanan dan patriotisme.
Di pelosok-pelosok gampong (kampung) di Aceh, kita akan lebih sering mendengar nama Teungku Abdullah Syafie, Ishak Daud, Muzakkir Manaf, Sofyan Dawood, Abu Razak, Abrar Muda, dan Darwis Djeunieb dari mulut anak-anak muda Aceh. Mereka-mereka ini memiliki posisi terhormat dalam ingatan mereka. Ya, mereka dianggap sebagai pejuang yang akan membebaskan Aceh dari situasi keterjajahan.
Sebaliknya, nama-nama semacam Prabowo Subianto, Wiranto, Johny Wahab, Syarifuddin Tippe, Gerhard Lentara, Sjafrie Syamsuddin, Kiki Syahnakri, dan petinggi militer Indonesia lain di Jakarta adalah sosok musuh yang mengirimkan ribuan mesin pembunuh ke Aceh, menghancurkan Aceh, dan membunuh siapa pun yang menolak konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang oleh orang Aceh saat itu dieja sebagai Neo Kolonialis Republik Indonesia.
Pada tahun-tahun penuh gejolak tersebut, tak sulit menemukan orang-orang yang berbicara pentingnya Aceh berdiri sendiri. Di kampung-kampung, terutama yang jauh di pelosok, suara-suara ‘separatisme’ menghentak dari meunasah ke meunasah (surau), bergerak secara diam-diam. Sekalipun tanpa pengumuman, ceramah ‘Aceh Merdeka’ di meunasah selalu dipenuhi pengunjung. Ceramah tersebut lebih sering berlangsung dalam gelap dan tanpa menggunakan pengeras suara.
Penetrasi ideologi Aceh Merdeka awalnya memang berjalan secara diam-diam. Tokoh-tokoh Aceh Merdeka keluar-masuk dari satu kampung ke kampung lain. Di setiap kampung yang didatangi, mereka kerap diperlakukan sebagai ‘penyelamat’ dan sangat dihormati. Kehadiran mereka ke kampung pun seperti memburu waktu. Ini cukup wajar karena sejak keruntuhan rezim Soeharto, Aceh ibarat lampoh soh (lahan kosong) yang boleh didatangi siapa pun. Semua pihak mulai menanamkan pengaruhnya di Aceh selepas militer ditarik dari Aceh.
Pun begitu, militer tak pernah benar-benar meninggalkan Aceh. Mereka menunggu dan menunggu, kapan momentum yang tepat menggempur kembali Aceh. Sebab, selagi euforia perjuangan kemerdekaan Aceh memuncak, militer kembali menyambangi Aceh. Operasi militer dengan beragam nama sandi operasi mulai mencengkeram Aceh kembali: baik secara rahasia maupun terang-terangan. Hasilnya, darah kembali tumpah di Aceh dalam bentuk tragedi pembantaian seperti di Simpang KKA,[1] Alue Ie Nireh,[2] Jembatan Arakundo,[3] pembantaian Teungku Bantaqiah,[4] Bumi Flora,[5] tragedi Gedung KNPI,[6] dan banyak lagi. Dalam tiap insiden tersebut, puluhan nyawa orang Aceh melayang. Jangan pernah kau tanya nasib pelaku, sebab sebagian mereka bebas dari jerat hukum, sebagian menghilang, dan sebagian lagi mendapatkan bonus ‘kenaikan pangkat’ sepulang ke Jakarta.
Kejadian-kejadian berdarah tersebut sama sekali tak mengendorkan semangat orang Aceh melawan Jakarta. Bahkan, orang Aceh semakin terbuka menyuarakan ‘talak-tiga’ untuk Indonesia. Saya beruntung hidup dalam suasana seperti itu: ketika orang Aceh menarik garis tegas antara Indonesia dan Aceh sepanjang tahun-tahun tersebut.
Bagi orang Aceh, syahid dalam berjuang untuk memisahkan Aceh dari Indonesia akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan. Mereka cukup yakin para bidadari menanti mereka yang berperang dan menuntunnya ke surga.
Nyang meubahgia sijahtra syahid dalam prang
Allah pulang dendayang beudiadari
Hoka siwa sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dipeurap rijang peutamong syuruga tinggi
(Yang bergembira dan sejahtera syahid dalam perang
Allah membalasnya dengan para dayang dan bidadari
Siapa saja yang syahid dalam perang dan senang
Akan segera dimasukkan ke dalam surga tinggi)
Begitulah ‘bius’ Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil di Jalan Allah) yang senantiasa dikumandangkan dalam setiap ceramah-ceramah Gerakan Aceh Merdeka. Para mahasiswa dan pemuda pun tersihir oleh Hikayat yang dikarang oleh ulama Aceh, Teungku Syik di Pante Kulu. Sekalipun memilih cara berjuang secara damai dengan menawarkan solusi referendum, sebenarnya anak-anak muda Aceh ini juga menginginkan Aceh pisah dari NKRI. Mereka tak takut mati, tak takut berdarah-darah. Karena bau darah tersebut akan diganti dengan bau dari surga.
Darah nyang hanyi lah hanyi gadoh di badan
Geuboh le Tuhan ya Allah dengan kasturi
Dikamoe Aceh lah Aceh darah peujuang-peujuang
Neubri beu meunang ya Allah Aceh Merdeka.
(Darah yang bau amis hilang di badan
Allah menggantinya dengan minyak kasturi
Kami orang Aceh adalah keturunan darah pejuang
Berikanlah ya Allah Aceh Merdeka.)
***
SEPANJANG 1998-2005, Aceh hanyut dalam euforia ‘kemerdekaan’. Orang Aceh mendesain ulang nasionalisme baru (baca: nasionalisme Aceh) secara kasar dan radikal, dengan menolak semua konsep keindonesiaan. Mereka bahkan memiliki definisi berbeda terkait kepahlawanan dan patriotisme.
Di pelosok-pelosok gampong (kampung) di Aceh, kita akan lebih sering mendengar nama Teungku Abdullah Syafie, Ishak Daud, Muzakkir Manaf, Sofyan Dawood, Abu Razak, Abrar Muda, dan Darwis Djeunieb dari mulut anak-anak muda Aceh. Mereka-mereka ini memiliki posisi terhormat dalam ingatan mereka. Ya, mereka dianggap sebagai pejuang yang akan membebaskan Aceh dari situasi keterjajahan.
Sebaliknya, nama-nama semacam Prabowo Subianto, Wiranto, Johny Wahab, Syarifuddin Tippe, Gerhard Lentara, Sjafrie Syamsuddin, Kiki Syahnakri, dan petinggi militer Indonesia lain di Jakarta adalah sosok musuh yang mengirimkan ribuan mesin pembunuh ke Aceh, menghancurkan Aceh, dan membunuh siapa pun yang menolak konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang oleh orang Aceh saat itu dieja sebagai Neo Kolonialis Republik Indonesia.
Pada tahun-tahun penuh gejolak tersebut, tak sulit menemukan orang-orang yang berbicara pentingnya Aceh berdiri sendiri. Di kampung-kampung, terutama yang jauh di pelosok, suara-suara ‘separatisme’ menghentak dari meunasah ke meunasah (surau), bergerak secara diam-diam. Sekalipun tanpa pengumuman, ceramah ‘Aceh Merdeka’ di meunasah selalu dipenuhi pengunjung. Ceramah tersebut lebih sering berlangsung dalam gelap dan tanpa menggunakan pengeras suara.
Penetrasi ideologi Aceh Merdeka awalnya memang berjalan secara diam-diam. Tokoh-tokoh Aceh Merdeka keluar-masuk dari satu kampung ke kampung lain. Di setiap kampung yang didatangi, mereka kerap diperlakukan sebagai ‘penyelamat’ dan sangat dihormati. Kehadiran mereka ke kampung pun seperti memburu waktu. Ini cukup wajar karena sejak keruntuhan rezim Soeharto, Aceh ibarat lampoh soh (lahan kosong) yang boleh didatangi siapa pun. Semua pihak mulai menanamkan pengaruhnya di Aceh selepas militer ditarik dari Aceh.
Pun begitu, militer tak pernah benar-benar meninggalkan Aceh. Mereka menunggu dan menunggu, kapan momentum yang tepat menggempur kembali Aceh. Sebab, selagi euforia perjuangan kemerdekaan Aceh memuncak, militer kembali menyambangi Aceh. Operasi militer dengan beragam nama sandi operasi mulai mencengkeram Aceh kembali: baik secara rahasia maupun terang-terangan. Hasilnya, darah kembali tumpah di Aceh dalam bentuk tragedi pembantaian seperti di Simpang KKA,[1] Alue Ie Nireh,[2] Jembatan Arakundo,[3] pembantaian Teungku Bantaqiah,[4] Bumi Flora,[5] tragedi Gedung KNPI,[6] dan banyak lagi. Dalam tiap insiden tersebut, puluhan nyawa orang Aceh melayang. Jangan pernah kau tanya nasib pelaku, sebab sebagian mereka bebas dari jerat hukum, sebagian menghilang, dan sebagian lagi mendapatkan bonus ‘kenaikan pangkat’ sepulang ke Jakarta.
Kejadian-kejadian berdarah tersebut sama sekali tak mengendorkan semangat orang Aceh melawan Jakarta. Bahkan, orang Aceh semakin terbuka menyuarakan ‘talak-tiga’ untuk Indonesia. Saya beruntung hidup dalam suasana seperti itu: ketika orang Aceh menarik garis tegas antara Indonesia dan Aceh sepanjang tahun-tahun tersebut.
Bagi orang Aceh, syahid dalam berjuang untuk memisahkan Aceh dari Indonesia akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan. Mereka cukup yakin para bidadari menanti mereka yang berperang dan menuntunnya ke surga.
Nyang meubahgia sijahtra syahid dalam prang
Allah pulang dendayang beudiadari
Hoka siwa sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dipeurap rijang peutamong syuruga tinggi
(Yang bergembira dan sejahtera syahid dalam perang
Allah membalasnya dengan para dayang dan bidadari
Siapa saja yang syahid dalam perang dan senang
Akan segera dimasukkan ke dalam surga tinggi)
Begitulah ‘bius’ Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil di Jalan Allah) yang senantiasa dikumandangkan dalam setiap ceramah-ceramah Gerakan Aceh Merdeka. Para mahasiswa dan pemuda pun tersihir oleh Hikayat yang dikarang oleh ulama Aceh, Teungku Syik di Pante Kulu. Sekalipun memilih cara berjuang secara damai dengan menawarkan solusi referendum, sebenarnya anak-anak muda Aceh ini juga menginginkan Aceh pisah dari NKRI. Mereka tak takut mati, tak takut berdarah-darah. Karena bau darah tersebut akan diganti dengan bau dari surga.
Darah nyang hanyi lah hanyi gadoh di badan
Geuboh le Tuhan ya Allah dengan kasturi
Dikamoe Aceh lah Aceh darah peujuang-peujuang
Neubri beu meunang ya Allah Aceh Merdeka.
(Darah yang bau amis hilang di badan
Allah menggantinya dengan minyak kasturi
Kami orang Aceh adalah keturunan darah pejuang
Berikanlah ya Allah Aceh Merdeka.)
***
SPIRIT Hikayat Prang Sabi, yang dulu menjadi senjata ampuh untuk membangkitkan semangat perang orang Aceh melawan Belanda, seperti menemukan konteksnya dalam perang Aceh dan Indonesia. Anak-anak kecil pun cukup fasih melafalkannya. Mereka memang tak dapat terlibat dalam perang secara langsung, tetapi mereka merasakan akibatnya. Mereka amat sangat menyukai permainan perang-perangan.
Saya masih ingat ketika kekuatan GAM memuncak pada awal 1999 hingga akhir 2000, suasana lebaran kerap dimanfaatkan anak Aceh untuk ajang latihan peran-perangan. Mereka membeli senjata mainan, model AK-47 (senjata yang banyak digunakan tentara GAM) dan M16 (senjata standar TNI). Di antara mereka ada yang berlagak anggota TNI dan GAM. Mereka kerap menggelar ‘perang’ di gampong-gampong hingga jalan raya.
Tak sedikit di antara mereka yang meniru perangai para pihak bertikai (TNI dan GAM). Misalnya, ada yang menyetop mobil di jalan dan meminta uang dari pengguna jalan (persis seperti pungutan liar yang dilakukan anggota TNI/Polri di pos-pos mereka), serta ada yang menghadang mobil di jalan (sekilas mirip penghadangan GAM terhadap patroli TNI).
Sebagian besar anak-anak Aceh waktu itu begitu mengidolakan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Abdullah Syafie (akrab dipanggil Teungku Lah). Koran dan tabloid yang memuat wajah panglima karismatik itu selalu laku keras. Anak-anak bahkan memajang gambar wajahnya di dinding rumah, dengan perasaan was-was; takut sewaktu-waktu TNI datang menggeledah. Selebihnya, ada rasa bangga memiliki wajah sosok yang begitu dicintai rakyat Aceh, hingga sekarang.
Saya masih ingat, sekali waktu, Maret 2000, markas Teungku Lah dikepung di Jiem-jiem, Bandar Baru (Pidie Jaya). Saya kebetulan berada di kampung. Pengepungan sudah berlangsung berhari-hari. Tak ada yang tahu bagaimana nasib Teungku. Sementara di koran-koran, pejabat TNI mengumumkan posisi Teungku Lah sedang terjepit. Masyarakat Aceh sedih bukan main. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa. Saya dapat melihat bagaimana masyarakat Aceh begitu mengkhawatirkan sosok idolanya itu. Hampir di seluruh meunasah di Pidie dan Pidie Jaya waktu digelar prosesi baca Surah Yaasin dan doa tolak bala: memohon agar Teungku Lah dan pasukannya selamat, dan TNI yang mengepungnya kalah.
Kenapa orang Aceh begitu mencintai Teungku Abdullah Syafie? Karena orang Aceh memandang yang diperjuangkan beliau adalah membebaskan Aceh dari penjajahan. Ia selalu mendidik pasukannya agar berbaik-baik dengan masyarakat. Menurutnya, tanpa dukungan masyarakat, perjuangan GAM akan sia-sia belaka. Masyarakat adalah perisai, tempat anggota GAM bersembunyi dan sumber logistik. Dalam suatu kesempatan, sosok yang bergabung dengan GAM sehari sebelum Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka itu pernah menasihati pasukannya agar “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah.” (Hargai jasa bangsa Aceh. Jangan kalian kasar dengan mereka. Kalau kalian mengalah dengan bangsa sendiri tak menjadikan kalian hina. Yang jangan adalah mengalah dengan musuh, bangsa penjajah)
Sebelum Teungku Lah meninggal, ia berpesan “Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka.”
Kini, Aceh dan Indonesia sudah berdamai, tak ada lagi perang, setelah sebuah kesepakatan damai diteken sembilan tahun silam di Helsinki, Finlandia, yang jauhnya ratusan mil dari Aceh. Konflik 30 tahun menemukan akhirnya. Tapi salah besar jika Jakarta menganggap konflik Aceh selesai. Sebab, Aceh baru saja menulis ulang kitab konflik yang lebih baru: memilih berkonflik sesama sendiri, yang justru lebih parah. Dan kali ini mungkin saja tak ada lagi syair kepahlawanan yang didendangkan!
* Taufik Al Mubarak adalah blogger Aceh, sedang merampungkan buku Aceh Tapi Nyata.
______________________________________________________________
[1] Tragedi Simpang KKA Aceh Utara, 3 Mei 1999. Data Koalisi NGO HAM Aceh, dalam kejadian tersebut 46 orang meninggal, 156 luka tembak, dan 10 orang hilang.
[2] Penembakan di Alue Ie Nireh, Aceh Timur, 13 Juni 1999. Data dari Kontras, dalam kejadian tersebut
5 orang tewas, termasuk 2 anak-anak berumur 6 tahun dan seorang ibu.
[3] Tragedi Arakundo, Idi Cut, 4 Februari 1999. Dalam kejadian tersebut 7 orang tewas (mayatnya dibuang ke Sungai Arakundo), dan ratusan lainnya luka-luka.
[4] Pembantaian Teungku Bantaqiah dan 60 santrinya di Beutong Ateuh, Nagan Raya, 23 Juli 1999
[5] Pembantaian di perkebunan perusahaan Bumi Flora, Aceh Timur, 9 Agustus 2001. Sebanyak 31 orang dilaporkan tewas dan 7 lainnya luka-luka kena tembak.
[6] Penganiayaan tahanan di Gedung KNPI Aceh Utara, 9 Januari 1999. Sedikitnya 5 warga sipil meninggal, 23 orang luka berat dan 21 lainnya luka ringan.
Saya masih ingat ketika kekuatan GAM memuncak pada awal 1999 hingga akhir 2000, suasana lebaran kerap dimanfaatkan anak Aceh untuk ajang latihan peran-perangan. Mereka membeli senjata mainan, model AK-47 (senjata yang banyak digunakan tentara GAM) dan M16 (senjata standar TNI). Di antara mereka ada yang berlagak anggota TNI dan GAM. Mereka kerap menggelar ‘perang’ di gampong-gampong hingga jalan raya.
Tak sedikit di antara mereka yang meniru perangai para pihak bertikai (TNI dan GAM). Misalnya, ada yang menyetop mobil di jalan dan meminta uang dari pengguna jalan (persis seperti pungutan liar yang dilakukan anggota TNI/Polri di pos-pos mereka), serta ada yang menghadang mobil di jalan (sekilas mirip penghadangan GAM terhadap patroli TNI).
Teungku Abdullah Syafie |
Saya masih ingat, sekali waktu, Maret 2000, markas Teungku Lah dikepung di Jiem-jiem, Bandar Baru (Pidie Jaya). Saya kebetulan berada di kampung. Pengepungan sudah berlangsung berhari-hari. Tak ada yang tahu bagaimana nasib Teungku. Sementara di koran-koran, pejabat TNI mengumumkan posisi Teungku Lah sedang terjepit. Masyarakat Aceh sedih bukan main. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa. Saya dapat melihat bagaimana masyarakat Aceh begitu mengkhawatirkan sosok idolanya itu. Hampir di seluruh meunasah di Pidie dan Pidie Jaya waktu digelar prosesi baca Surah Yaasin dan doa tolak bala: memohon agar Teungku Lah dan pasukannya selamat, dan TNI yang mengepungnya kalah.
Kenapa orang Aceh begitu mencintai Teungku Abdullah Syafie? Karena orang Aceh memandang yang diperjuangkan beliau adalah membebaskan Aceh dari penjajahan. Ia selalu mendidik pasukannya agar berbaik-baik dengan masyarakat. Menurutnya, tanpa dukungan masyarakat, perjuangan GAM akan sia-sia belaka. Masyarakat adalah perisai, tempat anggota GAM bersembunyi dan sumber logistik. Dalam suatu kesempatan, sosok yang bergabung dengan GAM sehari sebelum Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka itu pernah menasihati pasukannya agar “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah.” (Hargai jasa bangsa Aceh. Jangan kalian kasar dengan mereka. Kalau kalian mengalah dengan bangsa sendiri tak menjadikan kalian hina. Yang jangan adalah mengalah dengan musuh, bangsa penjajah)
Sebelum Teungku Lah meninggal, ia berpesan “Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka.”
Kini, Aceh dan Indonesia sudah berdamai, tak ada lagi perang, setelah sebuah kesepakatan damai diteken sembilan tahun silam di Helsinki, Finlandia, yang jauhnya ratusan mil dari Aceh. Konflik 30 tahun menemukan akhirnya. Tapi salah besar jika Jakarta menganggap konflik Aceh selesai. Sebab, Aceh baru saja menulis ulang kitab konflik yang lebih baru: memilih berkonflik sesama sendiri, yang justru lebih parah. Dan kali ini mungkin saja tak ada lagi syair kepahlawanan yang didendangkan!
* Taufik Al Mubarak adalah blogger Aceh, sedang merampungkan buku Aceh Tapi Nyata.
______________________________________________________________
[1] Tragedi Simpang KKA Aceh Utara, 3 Mei 1999. Data Koalisi NGO HAM Aceh, dalam kejadian tersebut 46 orang meninggal, 156 luka tembak, dan 10 orang hilang.
[2] Penembakan di Alue Ie Nireh, Aceh Timur, 13 Juni 1999. Data dari Kontras, dalam kejadian tersebut
5 orang tewas, termasuk 2 anak-anak berumur 6 tahun dan seorang ibu.
[3] Tragedi Arakundo, Idi Cut, 4 Februari 1999. Dalam kejadian tersebut 7 orang tewas (mayatnya dibuang ke Sungai Arakundo), dan ratusan lainnya luka-luka.
[4] Pembantaian Teungku Bantaqiah dan 60 santrinya di Beutong Ateuh, Nagan Raya, 23 Juli 1999
[5] Pembantaian di perkebunan perusahaan Bumi Flora, Aceh Timur, 9 Agustus 2001. Sebanyak 31 orang dilaporkan tewas dan 7 lainnya luka-luka kena tembak.
[6] Penganiayaan tahanan di Gedung KNPI Aceh Utara, 9 Januari 1999. Sedikitnya 5 warga sipil meninggal, 23 orang luka berat dan 21 lainnya luka ringan.
Sumber: Indoprogress
Tags:
Artikel