Tulisan ini tak ada hubungannya dengan lomba Aku dan Kompasiana.
Saya menulis ini untuk mereview ke belakang, ternyata sudah lama juga saya di Kompasiana. Tepat pada 24 November nanti, berarti sudah genap enam tahun saya bergabung di Kompasiana. Bagi anak-anak, usia enam tahun itu baru mulai masuk sekolah dasar. Anak-anak, biasanya sangat bergembira sewaktu mulai masuk sekolah. Mereka inginnya bisa sekolah malam. Jadi, di usia enam tahun saya di Kompasiana, mudah-mudahan semangat saya kembali seperti anak sekolah dasar: sedang begitu semangat-semangatnya. Saya berharap, bisa kembali menulis rutin di Kompasiana seperti dulu. Amin.
Lalu, kenapa saya bergabung di Kompasiana? Saya pikir, pertanyaan ini juga pernah terlintas di pikiran semua kompasianer (sebutan untuk blogger kompasiana) saat memutuskan bergabung di Kompasiana. Kenapa ribuan orang rela mendaftar di Kompasiana, padahal kompasiana tidak memberikan apa-apa kepada penulisnya, kecuali menyediakan lapak menulis, di mana tanpa bergabung di kompasiana pun kita masih bisa membuat blog di blogger atau di wordpress. Saya yakin, kita memiliki jawaban yang beragam atas pertanyaan ini.
Tujuan itu (menjadikan kompasiana sebagai blog para wartawan kompas), bukan muncul secara spontan dan tanpa pemikiran yang matang. Dari informasi yang saya baca, Kang Pepih mengaku terinspirasi membuka Kompasiana setelah membaca buku karya Dan Gillmor, We the Media. Pemberian nama Kompasiana pun, bukan tanpa pertimbangan. Selain karena Kompasiana pernah menjadi rubrik paling digandrungi pada masanya, juga untuk menghormati mendiang PK Ojong, yang bersama-sama dengan Jacob Oetama membidani lahir majalah Intisari dan kemudian Harian Kompas.
Ya, Kompasiana adalah sebuah rubrik di Harian Kompas yang muncul antara tahun 1966-1971. Rubrik ini pertama kalinya muncul pada 4 April 1966 atau saat-saat pergolakan melawan Orde Lama Soekarno. Rubrik ini diisi secara apik oleh PK Ojong, saat itu sebagai Pemimpin Umum Harian Kompas, yang tutup usia pada 31 Mei 1981. Untuk menghormatinya, setahun setelah PK Ojong pergi, Gramedia menerbitkan kumpulan kolomnya dalam bentuk buku, berjudul sama dengan rubrik yang pernah diasuh olehnya: Kompasiana.
Dalam pengantar buku Kompasiana (PK Ojong: 1981), Jacob Oetama mengenang, koleganya itu secara teratur menulis di rubrik Kompasiana dengan beragam topik. Bentuk tulisannya pun pendek, ringkas dan padat. Gaya bahasa yang digunakan cukup lugas tetapi kuat. “Jika harus ada deskripsi, maka deskripsi itu ditampilkan tidak dalam jumlah yang berlebihan, tetapi dalam pilihan kata-kata yang tepat.”
Duh, sudah menjalar kemana-mana tulisan ini. Padahal cuma mau tulis ‘Aku dan Kompasiana’.
Oh ya, awalnya, ketika Kompasiana online, para wartawan cukup rajin mempublikasikan tulisan-tulisannya di blog kompasiana. Kemudian jadi berkurang dan jarang. Blog kompasiana jadi mirip seperti panas-panas tahi ayam. Awalnya begitu semangat menulis, kemudian menghilang satu-per-satu. Saya dulunya cukup menikmati tulisan Wisnu Nugroho. Tulisan dia bisa dikenali dengan gampang: dia jarang sekali menulis menggunakan huruf besar termasuk di awal kalimat. Tulisannya menggunakan huruf kecil semua. Sebagian tulisan-tulisan tersebut sudah dibukukan, di antaranya Pak Beye dan Istananya, dan Pak JK dan Presidennya.
Lalu, kenapa kemudian Kompasiana jadi media warga? Rupanya, wartawan jadi jarang menulis bukan karena semata-mata sibuk dengan rutinitas, melainkan juga banyak tulisan-tulisan mereka di kompasiana mendapat komentar tidak menyenangkan, sebagian malah melontarkan kritik tajam. Akibatnya, yang tak tahan, ya berhenti menulis. Akibatnya, Kang Pepih selaku penjaga gawang Kompasiana harus menulis sendiri. Duh, membosankan, bukan?
Karena faktor itu, Kang Pepih dengan dukungan media induknya, Kompas, membuka Kompasiana ke publik. Ya, sejak 22 Oktober 2008, Kompasiana resmi menjadi blog keroyokan. Dan sebulan setelah menjadi media warga, saya pun ikut mendaftar di kompasiana, tepatnya pada 24 November 2008. Tapi saya baru memposting tulisan sehari setelah mendaftar, yaitu pada 25 November dengan judul Blog Investasi Masa Depan.
Sejak bergabung dengan Kompasiana hingga sekarang, saya sudah memposting 81 tulisan (82 kalau dihitung tulisan ini) tulisan. Selama aktif di Kompasiana, saya beberapa kali sempat ikut lomba, tapi Alhamdulillah tidak ada yang menang. Satu-satunya momen yang paling membahagiakan adalah ketika satu tulisan saya ‘Bertahan Hidup di Jakarta dengan Menulis’ menjadi HL di halaman Freez yang dulu muncul setiap hari Rabu (kemudian setiap Kamis) di Kompas cetak. Senang banget rasanya, karena sudah sejak lama saya bercita-cita menjadi penulis Kompas. Apalagi, ternyata honornya juga lumayan. Hehehe.
Kalau dipikir-pikir, tulisan di Freez itu merupakan tulisan kedua saya yang muncul di Kompas cetak. Sebelumnya, satu opini saya, Aceh bukan Lahan Kosong sudah dimuat di Harian Kompas. Bayangkan, lebih 50 tulisan sudah saya kirim ke Kompas, dan baru satu tulisan yang dimuat di rubrik opini. Luar biasa, bukan? Hingga kini saya masih suka mengirim tulisan ke Kompas, kadang sebulan sekali, kadang lima bulan sekali, intinya setiap ada isu Aceh yang layak di tingkat nasional, saya tulis.
Begitulah, kisah Aku dan Kompasiana. Mana kisahmu? Saya yakin kisahmu lebih menarik!
Saya menulis ini untuk mereview ke belakang, ternyata sudah lama juga saya di Kompasiana. Tepat pada 24 November nanti, berarti sudah genap enam tahun saya bergabung di Kompasiana. Bagi anak-anak, usia enam tahun itu baru mulai masuk sekolah dasar. Anak-anak, biasanya sangat bergembira sewaktu mulai masuk sekolah. Mereka inginnya bisa sekolah malam. Jadi, di usia enam tahun saya di Kompasiana, mudah-mudahan semangat saya kembali seperti anak sekolah dasar: sedang begitu semangat-semangatnya. Saya berharap, bisa kembali menulis rutin di Kompasiana seperti dulu. Amin.
Lalu, kenapa saya bergabung di Kompasiana? Saya pikir, pertanyaan ini juga pernah terlintas di pikiran semua kompasianer (sebutan untuk blogger kompasiana) saat memutuskan bergabung di Kompasiana. Kenapa ribuan orang rela mendaftar di Kompasiana, padahal kompasiana tidak memberikan apa-apa kepada penulisnya, kecuali menyediakan lapak menulis, di mana tanpa bergabung di kompasiana pun kita masih bisa membuat blog di blogger atau di wordpress. Saya yakin, kita memiliki jawaban yang beragam atas pertanyaan ini.
Tujuan itu (menjadikan kompasiana sebagai blog para wartawan kompas), bukan muncul secara spontan dan tanpa pemikiran yang matang. Dari informasi yang saya baca, Kang Pepih mengaku terinspirasi membuka Kompasiana setelah membaca buku karya Dan Gillmor, We the Media. Pemberian nama Kompasiana pun, bukan tanpa pertimbangan. Selain karena Kompasiana pernah menjadi rubrik paling digandrungi pada masanya, juga untuk menghormati mendiang PK Ojong, yang bersama-sama dengan Jacob Oetama membidani lahir majalah Intisari dan kemudian Harian Kompas.
Ya, Kompasiana adalah sebuah rubrik di Harian Kompas yang muncul antara tahun 1966-1971. Rubrik ini pertama kalinya muncul pada 4 April 1966 atau saat-saat pergolakan melawan Orde Lama Soekarno. Rubrik ini diisi secara apik oleh PK Ojong, saat itu sebagai Pemimpin Umum Harian Kompas, yang tutup usia pada 31 Mei 1981. Untuk menghormatinya, setahun setelah PK Ojong pergi, Gramedia menerbitkan kumpulan kolomnya dalam bentuk buku, berjudul sama dengan rubrik yang pernah diasuh olehnya: Kompasiana.
Dalam pengantar buku Kompasiana (PK Ojong: 1981), Jacob Oetama mengenang, koleganya itu secara teratur menulis di rubrik Kompasiana dengan beragam topik. Bentuk tulisannya pun pendek, ringkas dan padat. Gaya bahasa yang digunakan cukup lugas tetapi kuat. “Jika harus ada deskripsi, maka deskripsi itu ditampilkan tidak dalam jumlah yang berlebihan, tetapi dalam pilihan kata-kata yang tepat.”
Duh, sudah menjalar kemana-mana tulisan ini. Padahal cuma mau tulis ‘Aku dan Kompasiana’.
Aku dan Kompasiana |
Lalu, kenapa kemudian Kompasiana jadi media warga? Rupanya, wartawan jadi jarang menulis bukan karena semata-mata sibuk dengan rutinitas, melainkan juga banyak tulisan-tulisan mereka di kompasiana mendapat komentar tidak menyenangkan, sebagian malah melontarkan kritik tajam. Akibatnya, yang tak tahan, ya berhenti menulis. Akibatnya, Kang Pepih selaku penjaga gawang Kompasiana harus menulis sendiri. Duh, membosankan, bukan?
Karena faktor itu, Kang Pepih dengan dukungan media induknya, Kompas, membuka Kompasiana ke publik. Ya, sejak 22 Oktober 2008, Kompasiana resmi menjadi blog keroyokan. Dan sebulan setelah menjadi media warga, saya pun ikut mendaftar di kompasiana, tepatnya pada 24 November 2008. Tapi saya baru memposting tulisan sehari setelah mendaftar, yaitu pada 25 November dengan judul Blog Investasi Masa Depan.
Sejak bergabung dengan Kompasiana hingga sekarang, saya sudah memposting 81 tulisan (82 kalau dihitung tulisan ini) tulisan. Selama aktif di Kompasiana, saya beberapa kali sempat ikut lomba, tapi Alhamdulillah tidak ada yang menang. Satu-satunya momen yang paling membahagiakan adalah ketika satu tulisan saya ‘Bertahan Hidup di Jakarta dengan Menulis’ menjadi HL di halaman Freez yang dulu muncul setiap hari Rabu (kemudian setiap Kamis) di Kompas cetak. Senang banget rasanya, karena sudah sejak lama saya bercita-cita menjadi penulis Kompas. Apalagi, ternyata honornya juga lumayan. Hehehe.
Kalau dipikir-pikir, tulisan di Freez itu merupakan tulisan kedua saya yang muncul di Kompas cetak. Sebelumnya, satu opini saya, Aceh bukan Lahan Kosong sudah dimuat di Harian Kompas. Bayangkan, lebih 50 tulisan sudah saya kirim ke Kompas, dan baru satu tulisan yang dimuat di rubrik opini. Luar biasa, bukan? Hingga kini saya masih suka mengirim tulisan ke Kompas, kadang sebulan sekali, kadang lima bulan sekali, intinya setiap ada isu Aceh yang layak di tingkat nasional, saya tulis.
Begitulah, kisah Aku dan Kompasiana. Mana kisahmu? Saya yakin kisahmu lebih menarik!
Note: tulisan ini sudah diposting di blog Kompasiana
Tags:
catatan