Sudah tak terhitung lagi, berapa kali saya menyampaikan pidato, memberi pelatihan atau berbicara di depan banyak orang. Namun, tetap saja ada tekanan yang saya rasakan saat menerima undangan memberi pelatihan. Saya selalu takut bahwa saya akan gagal dalam memberikan materi pelatihan. Ini sudah sering-kali saya alami, dan biasanya selalu berhasil saya lewati. Apa trik yang biasa saya lakukan?
Saya berlatih? Itu sudah pasti. Berlatih dapat meningkatkan kemampuan kita berbicara. Tapi biasanya yang saya lakukan adalah mempersiapkan diri memberi pidato pembuka atau menyampaikan materi untuk lima menit pertama. Saya biasanya mensiasatinya dengan sebuah cerita atau humor inspiratif. Pasalnya, jika waktu lima menit itu berhasil saya lewati, maka rasa percaya diri saya meningkat dan ujungnya penyampaian materi saya berakhir manis. Begitulah saya menguasai diri dan forum di mana saya memberikan ceramah atau pidato. Sederhana, bukan?
Apa yang saya rasakan ini sesuatu yang lumrah, bahkan pembicara berpengalaman sekali pun pernah mengalaminya. Dalam kajian retorika atau speech communication, hal ini disebut dengan kecemasan berkomunikasi (communication apprehension). Begitu mengalami kecemasan berkomunikasi, anda akan kehilangan kepercayaan diri dan menurunkan kredibilitas kita di mata audiens.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Retorika Modern (Februari, 2006) menyebutkan, untuk menyampaikan pidato yang lebih efektif, kita tidak hanya memerlukan kepercayaan diri dan kredibilitas, melainkan juga ketrampilan. Seorang penulis besar, cerita Kang Jalal, pernah diundang memberikan ceramah di depan mahasiswa. Di depan mimbar, dengan tenang dia memasang kacamata dan membuka makalahnya. Sesudah itu, ia terus-menerus membaca makalah. Ketika ia mengangkat kepalanya, sebagian besar hadirin sudah meninggalkan ruangan, tanpa sepengetahuan dia. “Penulis itu memiliki kepercayaan diri dan kredibilitas, tetapi tidak memiliki ketrampilan menyampaikan,” tulisnya. Menurutnya, ketrampilan berbicara akan kita dapatkan dengan berlatih terus-menerus.
Dulu, di zaman Romawi dan Yunani kuno, orang-orang yang ingin berlatih pidato atau retorika, biasanya mengasingkan diri ke gua, di pinggir laut atau di puncak gunung. Mereka berlatih berbicara dan melatih vocal dengan berbagai cara. Tak ada orang yang mendengarkan. Mereka dapat berbicara dengan bebas, mengatur irama dan kekuatan suara. Kalau hal ini dilakukan sekarang pasti akan dianggap gila. Kita bisa mensiasatinya dengan berlatih bicara di depan cermin [kalau mengganggu tetangga, juga akan dianggap orang gila].
Dewasa ini, sudah cukup banyak media untuk belajar berbicara dan retorika. Ada banyak lembaga pendidikan (sekolah) atau kursus yang fokus pada peningkatan kemampuan berbicara. Kita bisa belajar di sana. Kita pun bisa mempelajari gaya berbicara atau cara memberikan presentasi yang efektif di Youtube. Kita dapat mempelajari teknik berbicara Steve Jobs atau Larry King. Kita bisa meniru cara mereka menyampaikan pidato atau teknik mereka berbicara. Saya termasuk rutin membuka situs Youtube untuk belajar cara presentasi yang efektif atau bagaimana kita bersikap dan beraksi di atas panggung.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tips bagaimana Marcus Tullius Cicero berlatih menjadi seorang orator yang dihormati di masa Romawi Kuno. Cicero ini dikenal sebagai ahli retorika terbaik yang pernah dimiliki Romawi, memiliki kemampuan di atas Quintus Hortensius Hortalus atau Julius Ceasar. Hortensius, misalnya, dikenal sebagai penganut aliran retorika terkemuka masa itu dengan menguasasi metode Asiatik: gaya rumit dan berbunga-bunga, penuh frase angkuh dan irama berdenting, penyampaiannya disertai dengan mengayun-ayunkan tubuh dan berjalan mondar-mandir. Dalam novel Imperium karya Robert Harris disebutkan, Cicero mencari semua guru Hortensius untuk mempelajari kiat-kiat retorika yang digunakan Maestro Menari itu, seperti Menippus dari Stratonikeia, Dionysius dari Magnesia, Aeschylus dari Knidos, Xenocles dari Adramyttium.
Setelah merasa cukup menguasai metode Asiatik, Cicero pun ingin belajar lebih mendalam lagi tentang retorika di sekolah Apollonius Molon. Dalam novel Imperium, disebutkan, Molon adalah seorang pengacara bertubuh gempal yang berasal dari Alabanda, kerap membela para terdakwa di pengadilan-pengadilan Romawi dan pernah diundang berbicara di senat dalam bahasa Yunani, dan kemudian memilih pensiun ke pulau Rhodus dengan membuka sekolah retorika.
Metode retorika yang diajarkan di sekolah milik Molon ini berbeda dengan metode Asiatik. Teori retorika Molon sederhana saja: jangan terlalu banyak bergerak, tegakkan kepala, jangan menyimpang dari inti pembicaraan, buat mereka tertawa, buat mereka menangis, dan setelah kau memperoleh simpati mereka, duduklah cepat-cepat. “Tak ada yang mengering lebih cepat daripada air mata,” kata Molon. [Imperium: 18]
Hal pertama yang dilakukan oleh Molon untuk meningkatkan kemampuan berbicara Cicero adalah memberikan asupan gizi makanan yang cukup: semangkuk telur rebus dengan saus ikan bilis, lalu sepotong daging merah bakar plus susu kambing. “Buluh lemah tak mungkin bisa menyuarakan nada yang perkasa,” kata Molon. Selanjutnya, Molon memberi latihan fisik untuk Cicero. Menurutnya, berbicara di dalam forum itu sebanding dengan berlomba lari.
Setelah semua selesai, barulah Molon mengajari teknik latihan berpidato sesungguhnya. Dia mengajak Cicero keluar dari halaman yang teduh, memasuki terik siang hari, dan menyuruhnya membacakan bacaan latihan sambil berjalan mendaki bukit terjal tanpa jeda. Latihan ini bagus untuk melatih memperkuat paru-paru. Dari teknik ini, Cicero mempelajari cara mengucapkan jumlah kata maksimum dalam satu tarikan nafas. “Atur nada penyampaianmu di rentang tengah, di situlah letak kekuatan. Jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah,” begitu Molon mengajarkan.
Selanjutnya, Molon membawa Cicero ke pantai berkerikil, dengan mengatur jarak tujuh puluh meter (jangkauan maksimum suara manusia). Molon meminta Cicero berpidato melawan debur dan desis lautan. Menurut Molon, suara tersebut yang paling mendekati gumam tiga ribu orang di ruang terbuka atau dengung latar beberapa ratus orang yang bercakap-cakap dalam senat. “Bagaimana dengan isi pidatoku?” tanya Cicero. “Aku tak peduli soal isi. Ingat Demosthenes: ‘hanya ada tiga hal yang penting dalam oratoria. Penyampaian, penyampaian, dan sekali lagi penyampaian,’” jawabnya.
Lalu bagaimana dengan gagap? Menurut Molon, gagap tidak pernah mengganggu dirinya berbicara. “Sungguh kegagapan malah menambah daya tarik dan kesan jujur yang menguntungkan,” katanya. Demosthenes sendiri, kata Molon, bahkan sedikit cadel kalau berbicara, namun hal itu justru membuat pendengar akrab dengannya. “Yang membosankan hanyalah kesempurnaan,” jelasnya.
Begitulah, Cicero berlatih berpidato dan retorika. Di kemudian hari, Cicero dikenal sebagai ahli retorika. Kita pun bisa belajar teknik seperti yang dipelajari dari gurunya, Molon. Kemampuan bicara akan memberi banyak keuntungan untuk kita. Kita hanya cukup jago menulis, melainkan juga berbicara. Kedua kemampuan ini harus seimbang jika ingin menjadi pembicara dan penulis sukses. Sebab, keduanya saling terkait satu-sama lain. Jangan sampai kita bernasib seperti penulis besar seperti dalam contoh di atas yang gagal dalam penyampaian. Ini tentu memalukan.
Yang perlu kita lakukan hanya berlatih dan mengamalkan setiap pengetahuan baru yang kita peroleh. Berlatih terus-menerus membuat kita semakin matang dan bijaksana. Nabi sendiri dalam sebuah hadist pernah bersabda, Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, Allah akan mengajarkan ia apa yang tidak ia ketahui. Mudah-mudahan posting sederhana ini menginspirasi kita semua. [dari berbagai sumber]
Saya berlatih? Itu sudah pasti. Berlatih dapat meningkatkan kemampuan kita berbicara. Tapi biasanya yang saya lakukan adalah mempersiapkan diri memberi pidato pembuka atau menyampaikan materi untuk lima menit pertama. Saya biasanya mensiasatinya dengan sebuah cerita atau humor inspiratif. Pasalnya, jika waktu lima menit itu berhasil saya lewati, maka rasa percaya diri saya meningkat dan ujungnya penyampaian materi saya berakhir manis. Begitulah saya menguasai diri dan forum di mana saya memberikan ceramah atau pidato. Sederhana, bukan?
Apa yang saya rasakan ini sesuatu yang lumrah, bahkan pembicara berpengalaman sekali pun pernah mengalaminya. Dalam kajian retorika atau speech communication, hal ini disebut dengan kecemasan berkomunikasi (communication apprehension). Begitu mengalami kecemasan berkomunikasi, anda akan kehilangan kepercayaan diri dan menurunkan kredibilitas kita di mata audiens.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Retorika Modern (Februari, 2006) menyebutkan, untuk menyampaikan pidato yang lebih efektif, kita tidak hanya memerlukan kepercayaan diri dan kredibilitas, melainkan juga ketrampilan. Seorang penulis besar, cerita Kang Jalal, pernah diundang memberikan ceramah di depan mahasiswa. Di depan mimbar, dengan tenang dia memasang kacamata dan membuka makalahnya. Sesudah itu, ia terus-menerus membaca makalah. Ketika ia mengangkat kepalanya, sebagian besar hadirin sudah meninggalkan ruangan, tanpa sepengetahuan dia. “Penulis itu memiliki kepercayaan diri dan kredibilitas, tetapi tidak memiliki ketrampilan menyampaikan,” tulisnya. Menurutnya, ketrampilan berbicara akan kita dapatkan dengan berlatih terus-menerus.
Dulu, di zaman Romawi dan Yunani kuno, orang-orang yang ingin berlatih pidato atau retorika, biasanya mengasingkan diri ke gua, di pinggir laut atau di puncak gunung. Mereka berlatih berbicara dan melatih vocal dengan berbagai cara. Tak ada orang yang mendengarkan. Mereka dapat berbicara dengan bebas, mengatur irama dan kekuatan suara. Kalau hal ini dilakukan sekarang pasti akan dianggap gila. Kita bisa mensiasatinya dengan berlatih bicara di depan cermin [kalau mengganggu tetangga, juga akan dianggap orang gila].
Dewasa ini, sudah cukup banyak media untuk belajar berbicara dan retorika. Ada banyak lembaga pendidikan (sekolah) atau kursus yang fokus pada peningkatan kemampuan berbicara. Kita bisa belajar di sana. Kita pun bisa mempelajari gaya berbicara atau cara memberikan presentasi yang efektif di Youtube. Kita dapat mempelajari teknik berbicara Steve Jobs atau Larry King. Kita bisa meniru cara mereka menyampaikan pidato atau teknik mereka berbicara. Saya termasuk rutin membuka situs Youtube untuk belajar cara presentasi yang efektif atau bagaimana kita bersikap dan beraksi di atas panggung.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tips bagaimana Marcus Tullius Cicero berlatih menjadi seorang orator yang dihormati di masa Romawi Kuno. Cicero ini dikenal sebagai ahli retorika terbaik yang pernah dimiliki Romawi, memiliki kemampuan di atas Quintus Hortensius Hortalus atau Julius Ceasar. Hortensius, misalnya, dikenal sebagai penganut aliran retorika terkemuka masa itu dengan menguasasi metode Asiatik: gaya rumit dan berbunga-bunga, penuh frase angkuh dan irama berdenting, penyampaiannya disertai dengan mengayun-ayunkan tubuh dan berjalan mondar-mandir. Dalam novel Imperium karya Robert Harris disebutkan, Cicero mencari semua guru Hortensius untuk mempelajari kiat-kiat retorika yang digunakan Maestro Menari itu, seperti Menippus dari Stratonikeia, Dionysius dari Magnesia, Aeschylus dari Knidos, Xenocles dari Adramyttium.
Setelah merasa cukup menguasai metode Asiatik, Cicero pun ingin belajar lebih mendalam lagi tentang retorika di sekolah Apollonius Molon. Dalam novel Imperium, disebutkan, Molon adalah seorang pengacara bertubuh gempal yang berasal dari Alabanda, kerap membela para terdakwa di pengadilan-pengadilan Romawi dan pernah diundang berbicara di senat dalam bahasa Yunani, dan kemudian memilih pensiun ke pulau Rhodus dengan membuka sekolah retorika.
Metode retorika yang diajarkan di sekolah milik Molon ini berbeda dengan metode Asiatik. Teori retorika Molon sederhana saja: jangan terlalu banyak bergerak, tegakkan kepala, jangan menyimpang dari inti pembicaraan, buat mereka tertawa, buat mereka menangis, dan setelah kau memperoleh simpati mereka, duduklah cepat-cepat. “Tak ada yang mengering lebih cepat daripada air mata,” kata Molon. [Imperium: 18]
Hal pertama yang dilakukan oleh Molon untuk meningkatkan kemampuan berbicara Cicero adalah memberikan asupan gizi makanan yang cukup: semangkuk telur rebus dengan saus ikan bilis, lalu sepotong daging merah bakar plus susu kambing. “Buluh lemah tak mungkin bisa menyuarakan nada yang perkasa,” kata Molon. Selanjutnya, Molon memberi latihan fisik untuk Cicero. Menurutnya, berbicara di dalam forum itu sebanding dengan berlomba lari.
Setelah semua selesai, barulah Molon mengajari teknik latihan berpidato sesungguhnya. Dia mengajak Cicero keluar dari halaman yang teduh, memasuki terik siang hari, dan menyuruhnya membacakan bacaan latihan sambil berjalan mendaki bukit terjal tanpa jeda. Latihan ini bagus untuk melatih memperkuat paru-paru. Dari teknik ini, Cicero mempelajari cara mengucapkan jumlah kata maksimum dalam satu tarikan nafas. “Atur nada penyampaianmu di rentang tengah, di situlah letak kekuatan. Jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah,” begitu Molon mengajarkan.
Selanjutnya, Molon membawa Cicero ke pantai berkerikil, dengan mengatur jarak tujuh puluh meter (jangkauan maksimum suara manusia). Molon meminta Cicero berpidato melawan debur dan desis lautan. Menurut Molon, suara tersebut yang paling mendekati gumam tiga ribu orang di ruang terbuka atau dengung latar beberapa ratus orang yang bercakap-cakap dalam senat. “Bagaimana dengan isi pidatoku?” tanya Cicero. “Aku tak peduli soal isi. Ingat Demosthenes: ‘hanya ada tiga hal yang penting dalam oratoria. Penyampaian, penyampaian, dan sekali lagi penyampaian,’” jawabnya.
Lalu bagaimana dengan gagap? Menurut Molon, gagap tidak pernah mengganggu dirinya berbicara. “Sungguh kegagapan malah menambah daya tarik dan kesan jujur yang menguntungkan,” katanya. Demosthenes sendiri, kata Molon, bahkan sedikit cadel kalau berbicara, namun hal itu justru membuat pendengar akrab dengannya. “Yang membosankan hanyalah kesempurnaan,” jelasnya.
Begitulah, Cicero berlatih berpidato dan retorika. Di kemudian hari, Cicero dikenal sebagai ahli retorika. Kita pun bisa belajar teknik seperti yang dipelajari dari gurunya, Molon. Kemampuan bicara akan memberi banyak keuntungan untuk kita. Kita hanya cukup jago menulis, melainkan juga berbicara. Kedua kemampuan ini harus seimbang jika ingin menjadi pembicara dan penulis sukses. Sebab, keduanya saling terkait satu-sama lain. Jangan sampai kita bernasib seperti penulis besar seperti dalam contoh di atas yang gagal dalam penyampaian. Ini tentu memalukan.
Yang perlu kita lakukan hanya berlatih dan mengamalkan setiap pengetahuan baru yang kita peroleh. Berlatih terus-menerus membuat kita semakin matang dan bijaksana. Nabi sendiri dalam sebuah hadist pernah bersabda, Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, Allah akan mengajarkan ia apa yang tidak ia ketahui. Mudah-mudahan posting sederhana ini menginspirasi kita semua. [dari berbagai sumber]
Tags:
Tips