Miris sekaligus malu. Dua kata ini cocok untuk menggambarkan betapa kecewanya kita terhadap apa yang terjadi di negeri ini beberapa bulan terakhir, terutama konflik terbuka Polri vs KPK. Miris karena kedua lembaga penegak hukum yang sama-sama memiliki kewajiban memberantas korupsi justru berseteru. Malu karena semua ini terjadi saat kita bersiap-siap menyongsong perubahan.
Andai para pendiri bangsa (founding fathers) hidup kembali dan menjadi saksi, mereka pasti akan menangis dan menjerit melihat apa yang sedang terjadi. Mereka akan sangat kecewa karena bangsa yang diperjuangkan dengan keringat dan darah ini belum sesuai dengan cita-cita mereka. Filosofi dan tujuan bernegara dibelokkan dan dibonsai.
Kenapa semua ini bisa terjadi? Apakah karena jiwa kebangsaan kita sudah kering dan gagal memaknai kesadaran kebangsaan?
Semangat kebangsaan
Tiap tahun, bangsa ini tak pernah kurang dari 10 kali merenungi semangat dan pesan-pesan kebangsaan, dalam momen peringatan hari besar nasional. Kita selalu diingatkan tentang tujuan negara ini dibangun dan didirikan. Kita pun tak perlu lagi bertengkar bagaimana menerjemahkan tujuan bernegara itu, semuanya sudah tertulis di dalam konstitusi.
Di antara tujuan itu, misalnya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Amanah para pendiri bangsa ini yang mesti kita wujudkan.
Amanah tersebut selalu diingatkan dalam setiap perayaan hari besar nasional. Dalam peringatan hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei, kita diajak merenungi kalau bangsa ini belum benar-benar bangkit apalagi mampu bersaing dengan bangsa lain. Sudah seharusnya kita berhenti menjadi benalu dan membebani bangsa ini dengan perilaku korup.
Melalui peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober, kita diingatkan bahwa kita satu bangsa. Nyatanya, elit justru gontok-gontokan seolah-olah bukan lagi sebagai satu bangsa. Rakyat Papua masih merasa anak tiri di Republik ini. Aceh juga belum benar-benar damai dalam arti sesungguhnya. Di banyak tempat masih muncul perasaan perbedaan perlakuan di antara sesama anak bangsa.
Bangsa ini tak pernah absen memperingati hari Pahlawan 10 November, namun kita sering kali gagal meneladani semangat kepahlawanan mereka yang sudah mengorbankan jiwa dan raga untuk berdirinya republik ini. Kita selalu saja terjebak dengan kepentingan jangka pendek, mementingkan kelompok, hidup bergelimang uang hasil korupsi, dan masih saja abai terhadap nasib anak bangsa.
Bangsa ini dengan rasa suka-cita luar biasa memperingati hari kemerdekaan tiap 17 Agustus, tapi gagal menangkap pesan kemerdekaan. Cita-cita kemerdekaan masih cukup jauh untuk dicapai. Padahal kita memiliki tanggung jawab untuk—meminjam ungkapan Anies Baswedan—“melunasi janji kemerdekaan.”
Kesadaran kebangsaan
Konflik yang terjadi antara Polri vs KPK hanya satu dari sekian banyak masalah kebangsaan, betapa sebagai bangsa kita gagal mewarisi semangat dari makna perayaan hari-hari besar nasional tersebut. Nilai-nilai luhur tersebut tak mampu merembesi dan memupuk kesadaran kebangsaan kita. Padahal, baik anggota Polri maupun KPK memiliki pengalaman dan semangat yang sama memaknai pesan-pesan kebangsaan melalui perayaan hari besar nasional.
Apa yang terjadi terhadap bangsa ini persis umpama ikan di air laut yang asin, tetapi tak pernah membuat rasa daging ikan menjadi asin. Sekali pun sudah hampir 70 tahun usia kemerdekaan, dan tak terhitung lagi bangsa ini memperingati setiap momen bersejarah, jiwa kebangsaan anak negeri masih kering. Kita sering kali lupa pada tujuan bernegara dan janji kemerdekaan sebagai pertanggungjawaban kita kepada para pejuang dan pendiri bangsa ini dan generasi mendatang.
Kenapa kesadaran berbangsa kita begitu rapuh? Karena kita lupa membumikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita hanya mampu menghafal secara fasih Pancasila dan preamble Undang-undang Dasar 1945, tapi tidak mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, secara perlahan-lahan kita menggiring bangsa ini ke jurang kehancuran, karena praktik korupsi dan pertikaian elit yang tak kunjung reda.
Kita ingin elit negeri ini merenungi kembali ajaran dari Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Di setiap momen peringatan hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan agar jadi sosok yang mampu mendorong dari belakang (tut wuri handayani), mampu bersinergi membangun bersama masyarakat (ing madya mangun karso), dan selalu dapat memberi teladan (ing ngarso sung tulodho).
Namun, melihat konflik terbuka antara Polri vs KPK, yang terjadi justru kebalikannya. Sebagai sesama lembaga penegak hukum, lembaga-lembaga itu tak pernah saling mendorong dari belakang dan memperkuat satu-sama-lain; Polri dan KPK tak pernah dapat bersinergi dalam usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi secara bersama-sama; dan lembaga-lembaga tersebut gagal memberi keteladanan bagi publik karena selalu bertengkar dalam urusan penegakan hukum.
Jangan berandai-andai dapat membangun masa depan negeri ini dengan menanam benci, dendam, dan saling menghancurkan. Saatnya kesadaran kebangsaan kita tumbuhkan. Kita tidak mengeramatkan lembaga seperti Polri, KPK atau penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan korupsi. Satu lembaga tak pernah mampu mengemban amanah yang besar tersebut, dan lebih tak mampu lagi kalau antar lembaga itu saling sikut-sikutan. Mari semua berpikir demi kemaslahatan negeri ini.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini jadi bahan renungan bagi kita, untuk selalu menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Jangan biarkan anak bangsa larut dalam galau dan risau. Keputusan Presiden Jokowi yang tak jadi melantik Budi Gunawan serta memberhentikan dua komisioner KPK menjadi awal yang baik mengharap keajaiban untuk negeri ini.
Atas alasan-alasan di atas, sudah seharusnya, kita bangsa Indonesia mensyukurinya. Bahwa, kita punya kesadaran kebangsaan yang tertanam kuat setiap merayakan momen bersejarah. Membumikan kesadaran kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebenarnya, itulah bentuk rasa syukur bangsa ini! []
Kenapa semua ini bisa terjadi? Apakah karena jiwa kebangsaan kita sudah kering dan gagal memaknai kesadaran kebangsaan?
Semangat kebangsaan
Tiap tahun, bangsa ini tak pernah kurang dari 10 kali merenungi semangat dan pesan-pesan kebangsaan, dalam momen peringatan hari besar nasional. Kita selalu diingatkan tentang tujuan negara ini dibangun dan didirikan. Kita pun tak perlu lagi bertengkar bagaimana menerjemahkan tujuan bernegara itu, semuanya sudah tertulis di dalam konstitusi.
Di antara tujuan itu, misalnya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Amanah para pendiri bangsa ini yang mesti kita wujudkan.
Amanah tersebut selalu diingatkan dalam setiap perayaan hari besar nasional. Dalam peringatan hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei, kita diajak merenungi kalau bangsa ini belum benar-benar bangkit apalagi mampu bersaing dengan bangsa lain. Sudah seharusnya kita berhenti menjadi benalu dan membebani bangsa ini dengan perilaku korup.
Melalui peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober, kita diingatkan bahwa kita satu bangsa. Nyatanya, elit justru gontok-gontokan seolah-olah bukan lagi sebagai satu bangsa. Rakyat Papua masih merasa anak tiri di Republik ini. Aceh juga belum benar-benar damai dalam arti sesungguhnya. Di banyak tempat masih muncul perasaan perbedaan perlakuan di antara sesama anak bangsa.
Bangsa ini tak pernah absen memperingati hari Pahlawan 10 November, namun kita sering kali gagal meneladani semangat kepahlawanan mereka yang sudah mengorbankan jiwa dan raga untuk berdirinya republik ini. Kita selalu saja terjebak dengan kepentingan jangka pendek, mementingkan kelompok, hidup bergelimang uang hasil korupsi, dan masih saja abai terhadap nasib anak bangsa.
Bangsa ini dengan rasa suka-cita luar biasa memperingati hari kemerdekaan tiap 17 Agustus, tapi gagal menangkap pesan kemerdekaan. Cita-cita kemerdekaan masih cukup jauh untuk dicapai. Padahal kita memiliki tanggung jawab untuk—meminjam ungkapan Anies Baswedan—“melunasi janji kemerdekaan.”
Kesadaran kebangsaan
Konflik yang terjadi antara Polri vs KPK hanya satu dari sekian banyak masalah kebangsaan, betapa sebagai bangsa kita gagal mewarisi semangat dari makna perayaan hari-hari besar nasional tersebut. Nilai-nilai luhur tersebut tak mampu merembesi dan memupuk kesadaran kebangsaan kita. Padahal, baik anggota Polri maupun KPK memiliki pengalaman dan semangat yang sama memaknai pesan-pesan kebangsaan melalui perayaan hari besar nasional.
Apa yang terjadi terhadap bangsa ini persis umpama ikan di air laut yang asin, tetapi tak pernah membuat rasa daging ikan menjadi asin. Sekali pun sudah hampir 70 tahun usia kemerdekaan, dan tak terhitung lagi bangsa ini memperingati setiap momen bersejarah, jiwa kebangsaan anak negeri masih kering. Kita sering kali lupa pada tujuan bernegara dan janji kemerdekaan sebagai pertanggungjawaban kita kepada para pejuang dan pendiri bangsa ini dan generasi mendatang.
Kenapa kesadaran berbangsa kita begitu rapuh? Karena kita lupa membumikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita hanya mampu menghafal secara fasih Pancasila dan preamble Undang-undang Dasar 1945, tapi tidak mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, secara perlahan-lahan kita menggiring bangsa ini ke jurang kehancuran, karena praktik korupsi dan pertikaian elit yang tak kunjung reda.
Kita ingin elit negeri ini merenungi kembali ajaran dari Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Di setiap momen peringatan hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan agar jadi sosok yang mampu mendorong dari belakang (tut wuri handayani), mampu bersinergi membangun bersama masyarakat (ing madya mangun karso), dan selalu dapat memberi teladan (ing ngarso sung tulodho).
Namun, melihat konflik terbuka antara Polri vs KPK, yang terjadi justru kebalikannya. Sebagai sesama lembaga penegak hukum, lembaga-lembaga itu tak pernah saling mendorong dari belakang dan memperkuat satu-sama-lain; Polri dan KPK tak pernah dapat bersinergi dalam usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi secara bersama-sama; dan lembaga-lembaga tersebut gagal memberi keteladanan bagi publik karena selalu bertengkar dalam urusan penegakan hukum.
Jangan berandai-andai dapat membangun masa depan negeri ini dengan menanam benci, dendam, dan saling menghancurkan. Saatnya kesadaran kebangsaan kita tumbuhkan. Kita tidak mengeramatkan lembaga seperti Polri, KPK atau penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan korupsi. Satu lembaga tak pernah mampu mengemban amanah yang besar tersebut, dan lebih tak mampu lagi kalau antar lembaga itu saling sikut-sikutan. Mari semua berpikir demi kemaslahatan negeri ini.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini jadi bahan renungan bagi kita, untuk selalu menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Jangan biarkan anak bangsa larut dalam galau dan risau. Keputusan Presiden Jokowi yang tak jadi melantik Budi Gunawan serta memberhentikan dua komisioner KPK menjadi awal yang baik mengharap keajaiban untuk negeri ini.
Atas alasan-alasan di atas, sudah seharusnya, kita bangsa Indonesia mensyukurinya. Bahwa, kita punya kesadaran kebangsaan yang tertanam kuat setiap merayakan momen bersejarah. Membumikan kesadaran kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebenarnya, itulah bentuk rasa syukur bangsa ini! []