Jika kamu tidak menghentikan menggunakan narkoba, maka narkoba akan menghentikan dan menghancurkan kamu dan keluargamu.
NAMAKU Pulan (bukan nama sebenarnya), seorang lelaki berusia 54 tahun. Memiliki 4 orang anak, dua lelaki dan dua perempuan. Dua di antaranya sudah menikah, satu orang masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Sumatera Utara, sementara seorang lagi masih di bangku sekolah menengah atas.
Aku bukan seorang tokoh terkenal yang setiap hari wajahnya terpampang di layar kaca, atau sering menghiasi halaman depan koran terbitan pagi. Bukan. Aku hanya orang biasa, dan ayah bagi empat anak, dan suami dari seorang istri yang cantik. Aku hanya karyawan biasa di sebuah lembaga penyiaran. Kehidupanku boleh dibilang berjalan normal dan tidak ada sesuatu yang aneh. Kami adalah keluarga bahagia.
Semuanya bermula ketika aku terlibat dan bergabung dengan rekan-rekanku yang semuanya hidup parlente, dan suka menghabiskan waktu berjam-jam di cafe yang ada di kota. Awalnya, aku menganggap pergaulanku masih dalam batas normal dalam arti tidak ikut-ikutan seperti teman-temanku, tidak suka karoeke dan menonton streptease di sebuah klub di pusat kota. Boleh dibilang, setiap mereka mengajak untuk clubbing, aku lebih sering menolaknya dan memilih cepat-cepat pulang ke rumah.
“Ah, kayak anak mami saja, tak bisa jauh dari rumah,” begitu komentar teman-temanku. Aku lebih sering mengacuhkan saja.
Boleh dibilang, sekali pun aku nongkrong di cafe hingga larut malam, tapi tak pernah pulang lewat pukul 12 malam. Ini sudah jadi komitmenku sejak memutuskan menikah lebih 20 tahun silam. Bagiku, apapun kesibukan di luar rumah, aku tidak boleh menomor-duakan keluarga. Inilah yang membuat keluargaku terjaga, dan bahagia.
“Aku tak mau nanti anak-anakku tak kenal ayahnya,” aku lebih sering memberi alasan demikian tiap kali diajak bergadang dan nongkrong di cafe hingga pagi.
Sebenarnya, alasan lain, agar aku tidak telat bangun pagi. Setiap tidur larut malam, aku sering kali susah untuk bangun cepat. Aku tak mau tiap berangkat ke kantor, mata masih kelihatan mengantuk dan mulut seringkali menguap berkali-kali. Terus terang aku tak mau dianggap atasanku di kantor tidak fokus kerja.
Tapi, sekuat apapun aku menolak, lama-lama, aku pun mulai terjebak dalam dunia malam. Jika biasanya, aku hanya minum minuman biasa dan menghisap rokok putih, teman-teman mulai menawarkan sesuatu yang lebih. Mereka sering menggodaku untuk mengisap ganja. Kata mereka bagus untuk kesehatan. Aku sering menolaknya. Aku beralasan, menghisap ganja tak bagus untuk saraf. Agama juga melarang barang yang memabukkan.
“Kalau haram, kenapa orang-orang tua kita dulu sering mencampur ganja sebagai bumbu masakan?” alasan ini yang sering mereka gunakan.
“Lagian, apa bedanya menghisap rokok dan ganja. Kan sama-sama merusak saraf juga,” teman yang lain menimpalinya.
“Alah, coba saja. Buatmu gratis kok!” desak teman yang lain.
Ya, modusnya memang selalu begitu. Awalnya, barang-barang itu ditawarkan gratis, tak perlu bayar. Akhirnya aku menyerah. Malam itu, kalau tidak salah, malam Minggu, untuk pertama kalinya aku mencoba ganja. Aku terbatuk-batuk karena bau asapnya yang tak biasa masuk ke mulutku. Teman-temanku tertawa lepas. Mereka merasa puas karena berhasil membujukku menghisap ganja.
Mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Bumi seperti berputar. Pandanganku tak lagi jelas. Beberapa kali mengusap wajah. Rupanya, aku mabuk ganja. Sementara teman-temanku tertawa melihatku yang seperti orang kerasukan roh setan. Aku merasa ngantuk sekali. Aku seperti sudah masuk ke dunia lain. Setelah itu gelap. Aku tak merasakan apa-apa lagi.
SEJAK malam Minggu itu, aku sudah mulai berani mencoba ganja. Malah, secara perlahan-lahan, aku seperti ketergantungan pada ganja. Mengisap rokok putih terasa hambar, bahkan tak ada rasa sama sekali. Aku mulai meminta teman-teman menyediakan ganja tiap kali nongkrong di cafe. Bedanya, aku harus merogoh kantong untuk mendapatkan barang itu. Tak lagi gratis seperti ketika awal-awal mencoba.
Aku pun sudah sering telat pulang. Aku jadi jarang bercengkrama dengan anak-anak. Tiap aku tiba di rumah, mereka sudah tertidur lelap. Sementara pagi, mereka sudah berangkat ke sekolah masing-masing. Beberapa kali, aku baru tiba di rumah pagi hari. Kehidupanku benar-benar berubah. Aku pun jadi sering membolos kerja. Atasanku beberapa kali menegur, namun tetap tak membuatku berubah. Hingga akhirnya, aku dipecat dari kantor, setelah beberapa tugas penting di bawah tanggung-jawabku terbengkalai.
Tak lagi punya pekerjaan tetap, berpengaruh terhadap rumah tanggaku yang mulai goyah. Aku beberapa kali terlibat pertengkaran kecil dengan istriku, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Malah, beberapa kali pertengkaran kami terjadi di depan anak-anak. Sebagai ayah, aku benar-benar kehilangan kewibawaan di mata anakku. Mereka sudah mulai sering membantahku. Anakku yang nomor dua bahkan sering tak berada di rumah. Beberapa kali dia memilih tidur di tempat temannya. Kehidupan anakku tak lagi terkontrol seperti dulu.
Ketergantunganku terhadap ganja membuatku mulai berani mencoba barang-barang haram lain seperti shabu-shabu, ektasi, dan heroin. Aku benar-benar sudah jatuh dalam lembah kegelapan. Tiap nongkrong di cafe, aku dan teman-temanku lebih sering menikmati shabu-shabu. Aku tak lagi peduli berapa harga untuk mendapatkan barang itu. Uang tabunganku makin hari terus berkurang. Barang-barang simpanan berharga sedikit demi sedikit aku jual untuk menebus harga barang haram itu.
Bahkan, aku pernah meminta emas yang dipakai istriku untuk aku jual. Dia menolak dengan keras. Tanpa sadar aku melayangkaku tamparan ke wajah mulusnya yang sebelumnya tak pernah kulakukan. Dia menangis sekeras-kerasnya. Dia menganggapku sudah dirasuki setan. Aku tak peduli. Barang berharga yang disimpannya lebih sering aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Anak-anak mulai membenciku.
Karena sering bergaul dengan teman-temannya, anak nomor dua malah sudah mulai terjebak narkoba. Dia jarang pulang ke rumah. Kuliahnya pun terbengkalai. Setahun berlalu, akhirnya, dia pun dikeluarkan (DO) dari kampus. Dia jadi ketergantungan pada narkoba, seperti diriku.
Suatu hari, aku menerima pesan singkat kalau anakku pingsan tak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah sakit. Dia nyaris tak tertolong. Beruntung, dia cepat dapat pertolongan. Tapi, hidupnya berubah. Dia mulai berbicara sendiri. Orang-orang menganggapnya sudah terganggu saraf. Anakku divonis gila dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa. Aku benar-benar hancur.
Biduk rumah tanggaku hancur berantakan. Istriku sudah membawa pulang anak-anak ke rumah orang tuanya. Aku kini hidup sendirian di kota. Aku laksana kapal yang kehilangan arah. Terombang-ambing di lautan yang tak pasti. Ini berlangsung hampir setahun lamanya. Sementara teman-temanku tak pernah lagi mengajakku nongkrong di cafe, karena aku jatuh miskin. Aku dianggap tak bisa lagi bergaul dengan mereka, karena tak sanggup membayar barang haram yang harganya selangit.
Aku hampir memutuskan bunuh diri, jika saja anakku yang nomor tiga, seorang cewek, tak mengunjungiku. Dia mengaku prihatin melihat kehidupanku yang hancur berantakan.
“Ayah, belum terlambat untuk berubah,” katanya.
“Tidak terlambat katamu, hah?” bentaknya. “Saya berpisah dengan ibumu. Abangmu kini di rumah sakit jiwab. Semua sudah terlambat, anakku.”
“Tidak, Ayah. Kita bisa memperbaikinya kalau ayah mau. Kita bisa obati si Kakak, dan rujuk kembali dengan ibu.”
“Ayah, malu. Ayah sudah menghancurkan hidup kalian. Ayah tak pantas dimaafkan.”
Anakku yang terkenal cerdas di kampusnya itu terus membujukku agar mau berubah. Aku sampai menitikkan air mata. Dunia seperti sudah gelap untukku. Sepulang dia dari menjengukku, aku lama sekali merenung. Ya, semuanya belum terlambat. Aku harus berubah. Narkoba itu penyakit.
UNTUK pertama kalinya, aku memilih berhenti merokok. Aku harus mencoba menjauhkan pengaruh narkoba. Aku mulai mengikuti pengajian di masjid dan mengikuti zikir seperti sebelumnya. Aku ingin kembali dekat dengan Tuhan, yang selama ini aku jauhi. Pelan namun pasti, aku mulai berubah. Setahun kemudian aku benar-benar bebas dari narkoba. Jika sebelumnya aku dikendalikan oleh narkoba, kini akulah yang mengendalikan diriku sendiri.
Di pengajian, aku kebetulan kenal dengan seorang Teungku. Dia banyak memberi nasihat untukku. Malah, suatu hari, dia menawariku untuk bekerja di tempatnya, mengelola sebuah penerbitan. Dia punya usaha percetakan, dan menerbitkan sebuah majalah bulanan. Hidupku mulai berubah. Sudah jarang pulang larut malam. Boleh dibilang, inilah kehidupan normalku setelah dipecat dari kantor beberapa tahun silam.
Seiring berkembangnya usaha penerbitan majalah, kami mulai membangun situs berita. Seperti sebuah keajaiban, portal berita itu pun berkembang. Awalnya, hanya situs berita kecil, lama-lama menjadi besar dan jadi media rujukan. Pengunjung yang mengakses situs kami setiap harinya membludak. Hal ini berpengaruh pada iklan yang juga mulai melimpah.
Aku pun mulai berpikir memperbaiki kembali rumah tanggaku yang telanjur hancur. Ya, aku pulang ke kampung dan mengajak istriku rujuk. Aku berjanji tak lagi mengulangi kesalahan seperti sebelumnya. Aku bersyukur, istriku masih mencintaiku dan menerima ajakan rujuk itu. Aku seperti muda lagi. Langkah pertama yang kami lakukan setelah rujuk adalah menjemput anak di rumah sakit jiwa. Kami ingin merawat dan mengobatinya. Tuhan sepertinya masih sayang samaku. Setelah beberapa kali pengobatan secara tradisional dan bantuan seorang Teungku, teman dari bosku di percetakan, anakku pun sembuh. Aku bahagia bukan main. Kami kembali ke kehidupan normal seperti semula.
Kini anak-anakku sudah besar semua, menikah dan punya anak. Hanya anak paling kecil yang belum menikah, dia sedang meneruskan pendidikannya ke Ibukota negara, Jakarta. [fik]
Semuanya bermula ketika aku terlibat dan bergabung dengan rekan-rekanku yang semuanya hidup parlente, dan suka menghabiskan waktu berjam-jam di cafe yang ada di kota. Awalnya, aku menganggap pergaulanku masih dalam batas normal dalam arti tidak ikut-ikutan seperti teman-temanku, tidak suka karoeke dan menonton streptease di sebuah klub di pusat kota. Boleh dibilang, setiap mereka mengajak untuk clubbing, aku lebih sering menolaknya dan memilih cepat-cepat pulang ke rumah.
“Ah, kayak anak mami saja, tak bisa jauh dari rumah,” begitu komentar teman-temanku. Aku lebih sering mengacuhkan saja.
Boleh dibilang, sekali pun aku nongkrong di cafe hingga larut malam, tapi tak pernah pulang lewat pukul 12 malam. Ini sudah jadi komitmenku sejak memutuskan menikah lebih 20 tahun silam. Bagiku, apapun kesibukan di luar rumah, aku tidak boleh menomor-duakan keluarga. Inilah yang membuat keluargaku terjaga, dan bahagia.
“Aku tak mau nanti anak-anakku tak kenal ayahnya,” aku lebih sering memberi alasan demikian tiap kali diajak bergadang dan nongkrong di cafe hingga pagi.
Sebenarnya, alasan lain, agar aku tidak telat bangun pagi. Setiap tidur larut malam, aku sering kali susah untuk bangun cepat. Aku tak mau tiap berangkat ke kantor, mata masih kelihatan mengantuk dan mulut seringkali menguap berkali-kali. Terus terang aku tak mau dianggap atasanku di kantor tidak fokus kerja.
Tapi, sekuat apapun aku menolak, lama-lama, aku pun mulai terjebak dalam dunia malam. Jika biasanya, aku hanya minum minuman biasa dan menghisap rokok putih, teman-teman mulai menawarkan sesuatu yang lebih. Mereka sering menggodaku untuk mengisap ganja. Kata mereka bagus untuk kesehatan. Aku sering menolaknya. Aku beralasan, menghisap ganja tak bagus untuk saraf. Agama juga melarang barang yang memabukkan.
“Kalau haram, kenapa orang-orang tua kita dulu sering mencampur ganja sebagai bumbu masakan?” alasan ini yang sering mereka gunakan.
“Lagian, apa bedanya menghisap rokok dan ganja. Kan sama-sama merusak saraf juga,” teman yang lain menimpalinya.
“Alah, coba saja. Buatmu gratis kok!” desak teman yang lain.
Ya, modusnya memang selalu begitu. Awalnya, barang-barang itu ditawarkan gratis, tak perlu bayar. Akhirnya aku menyerah. Malam itu, kalau tidak salah, malam Minggu, untuk pertama kalinya aku mencoba ganja. Aku terbatuk-batuk karena bau asapnya yang tak biasa masuk ke mulutku. Teman-temanku tertawa lepas. Mereka merasa puas karena berhasil membujukku menghisap ganja.
Mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Bumi seperti berputar. Pandanganku tak lagi jelas. Beberapa kali mengusap wajah. Rupanya, aku mabuk ganja. Sementara teman-temanku tertawa melihatku yang seperti orang kerasukan roh setan. Aku merasa ngantuk sekali. Aku seperti sudah masuk ke dunia lain. Setelah itu gelap. Aku tak merasakan apa-apa lagi.
SEJAK malam Minggu itu, aku sudah mulai berani mencoba ganja. Malah, secara perlahan-lahan, aku seperti ketergantungan pada ganja. Mengisap rokok putih terasa hambar, bahkan tak ada rasa sama sekali. Aku mulai meminta teman-teman menyediakan ganja tiap kali nongkrong di cafe. Bedanya, aku harus merogoh kantong untuk mendapatkan barang itu. Tak lagi gratis seperti ketika awal-awal mencoba.
Aku pun sudah sering telat pulang. Aku jadi jarang bercengkrama dengan anak-anak. Tiap aku tiba di rumah, mereka sudah tertidur lelap. Sementara pagi, mereka sudah berangkat ke sekolah masing-masing. Beberapa kali, aku baru tiba di rumah pagi hari. Kehidupanku benar-benar berubah. Aku pun jadi sering membolos kerja. Atasanku beberapa kali menegur, namun tetap tak membuatku berubah. Hingga akhirnya, aku dipecat dari kantor, setelah beberapa tugas penting di bawah tanggung-jawabku terbengkalai.
Tak lagi punya pekerjaan tetap, berpengaruh terhadap rumah tanggaku yang mulai goyah. Aku beberapa kali terlibat pertengkaran kecil dengan istriku, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Malah, beberapa kali pertengkaran kami terjadi di depan anak-anak. Sebagai ayah, aku benar-benar kehilangan kewibawaan di mata anakku. Mereka sudah mulai sering membantahku. Anakku yang nomor dua bahkan sering tak berada di rumah. Beberapa kali dia memilih tidur di tempat temannya. Kehidupan anakku tak lagi terkontrol seperti dulu.
Ketergantunganku terhadap ganja membuatku mulai berani mencoba barang-barang haram lain seperti shabu-shabu, ektasi, dan heroin. Aku benar-benar sudah jatuh dalam lembah kegelapan. Tiap nongkrong di cafe, aku dan teman-temanku lebih sering menikmati shabu-shabu. Aku tak lagi peduli berapa harga untuk mendapatkan barang itu. Uang tabunganku makin hari terus berkurang. Barang-barang simpanan berharga sedikit demi sedikit aku jual untuk menebus harga barang haram itu.
Bahkan, aku pernah meminta emas yang dipakai istriku untuk aku jual. Dia menolak dengan keras. Tanpa sadar aku melayangkaku tamparan ke wajah mulusnya yang sebelumnya tak pernah kulakukan. Dia menangis sekeras-kerasnya. Dia menganggapku sudah dirasuki setan. Aku tak peduli. Barang berharga yang disimpannya lebih sering aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Anak-anak mulai membenciku.
Karena sering bergaul dengan teman-temannya, anak nomor dua malah sudah mulai terjebak narkoba. Dia jarang pulang ke rumah. Kuliahnya pun terbengkalai. Setahun berlalu, akhirnya, dia pun dikeluarkan (DO) dari kampus. Dia jadi ketergantungan pada narkoba, seperti diriku.
Suatu hari, aku menerima pesan singkat kalau anakku pingsan tak sadarkan diri dan harus dibawa ke rumah sakit. Dia nyaris tak tertolong. Beruntung, dia cepat dapat pertolongan. Tapi, hidupnya berubah. Dia mulai berbicara sendiri. Orang-orang menganggapnya sudah terganggu saraf. Anakku divonis gila dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa. Aku benar-benar hancur.
Biduk rumah tanggaku hancur berantakan. Istriku sudah membawa pulang anak-anak ke rumah orang tuanya. Aku kini hidup sendirian di kota. Aku laksana kapal yang kehilangan arah. Terombang-ambing di lautan yang tak pasti. Ini berlangsung hampir setahun lamanya. Sementara teman-temanku tak pernah lagi mengajakku nongkrong di cafe, karena aku jatuh miskin. Aku dianggap tak bisa lagi bergaul dengan mereka, karena tak sanggup membayar barang haram yang harganya selangit.
Aku hampir memutuskan bunuh diri, jika saja anakku yang nomor tiga, seorang cewek, tak mengunjungiku. Dia mengaku prihatin melihat kehidupanku yang hancur berantakan.
“Ayah, belum terlambat untuk berubah,” katanya.
“Tidak terlambat katamu, hah?” bentaknya. “Saya berpisah dengan ibumu. Abangmu kini di rumah sakit jiwab. Semua sudah terlambat, anakku.”
“Tidak, Ayah. Kita bisa memperbaikinya kalau ayah mau. Kita bisa obati si Kakak, dan rujuk kembali dengan ibu.”
“Ayah, malu. Ayah sudah menghancurkan hidup kalian. Ayah tak pantas dimaafkan.”
Anakku yang terkenal cerdas di kampusnya itu terus membujukku agar mau berubah. Aku sampai menitikkan air mata. Dunia seperti sudah gelap untukku. Sepulang dia dari menjengukku, aku lama sekali merenung. Ya, semuanya belum terlambat. Aku harus berubah. Narkoba itu penyakit.
UNTUK pertama kalinya, aku memilih berhenti merokok. Aku harus mencoba menjauhkan pengaruh narkoba. Aku mulai mengikuti pengajian di masjid dan mengikuti zikir seperti sebelumnya. Aku ingin kembali dekat dengan Tuhan, yang selama ini aku jauhi. Pelan namun pasti, aku mulai berubah. Setahun kemudian aku benar-benar bebas dari narkoba. Jika sebelumnya aku dikendalikan oleh narkoba, kini akulah yang mengendalikan diriku sendiri.
Di pengajian, aku kebetulan kenal dengan seorang Teungku. Dia banyak memberi nasihat untukku. Malah, suatu hari, dia menawariku untuk bekerja di tempatnya, mengelola sebuah penerbitan. Dia punya usaha percetakan, dan menerbitkan sebuah majalah bulanan. Hidupku mulai berubah. Sudah jarang pulang larut malam. Boleh dibilang, inilah kehidupan normalku setelah dipecat dari kantor beberapa tahun silam.
Seiring berkembangnya usaha penerbitan majalah, kami mulai membangun situs berita. Seperti sebuah keajaiban, portal berita itu pun berkembang. Awalnya, hanya situs berita kecil, lama-lama menjadi besar dan jadi media rujukan. Pengunjung yang mengakses situs kami setiap harinya membludak. Hal ini berpengaruh pada iklan yang juga mulai melimpah.
Aku pun mulai berpikir memperbaiki kembali rumah tanggaku yang telanjur hancur. Ya, aku pulang ke kampung dan mengajak istriku rujuk. Aku berjanji tak lagi mengulangi kesalahan seperti sebelumnya. Aku bersyukur, istriku masih mencintaiku dan menerima ajakan rujuk itu. Aku seperti muda lagi. Langkah pertama yang kami lakukan setelah rujuk adalah menjemput anak di rumah sakit jiwa. Kami ingin merawat dan mengobatinya. Tuhan sepertinya masih sayang samaku. Setelah beberapa kali pengobatan secara tradisional dan bantuan seorang Teungku, teman dari bosku di percetakan, anakku pun sembuh. Aku bahagia bukan main. Kami kembali ke kehidupan normal seperti semula.
Kini anak-anakku sudah besar semua, menikah dan punya anak. Hanya anak paling kecil yang belum menikah, dia sedang meneruskan pendidikannya ke Ibukota negara, Jakarta. [fik]
Sumber: BNN Provinsi Aceh