“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kita sudah cukup sering mendengar dari mulut-mulut politisi atau pejabat atau ditulis oleh pengamat/pakar di media dua kalimat di atas, yang tak lain adalah bunyi dari Pasal 33 (ayat 2 dan 3) Undang-undang Dasar 1945. Tapi, pernahkah kita bertanya pada diri masing-masing, bukankah kalimat itu mulai terdengar klise dan menjadi tak bermakna dalam kehidupan rakyat kita sekarang ini? Padahal kita sama-sama tahu, itulah amanah konstitusi kita yang seharusnya sejak dulu diwujudkan oleh siapa pun yang memegang tampuk negeri ini.
Kalau amanah konstitusi ini diemban dengan benar, kita tentu saja tidak akan mendengar rakyat mengumpat dan protes, bahwa, “negeri kita sebagai penghasil minyak dan gas, tapi kenapa harga bbm dan gas begitu mahal? Kenapa listrik juga ikut mahal?” Bahkan, ada yang tegas lagi, kenapa negeri kita masih saja terbelakang dan banyak rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan? Ke mana hasil alam Indonesia dibawa dan siapa yang menikmatinya? Jelas, rakyat (negara kita) mendapat porsi yang lebih kecil.
Mau tidak mau, sebagai rakyat kita hanya berharap agar Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sadar akan tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah konsitutusi. Sebab, terlepas visi apapun yang sudah dirancang, mereka-mereka ini terikat pada visi besar bangsa ini. Di antara visi tersebut, misalnya, tercantum dengan jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Visi dan tujuan tersebut sudah amat sangat jelas dan tegas, dan tak perlu penafsiran apa-apa lagi. Itulah amanah yang harus diemban seorang presiden begitu mereka mendapatkan mandat dari rakyat.
Kita tak perlu memperdebatkan lagi apa tugas dan tanggung jawab seorang presiden, karena siapa pun presidennya, mereka dihadapkan pada visi dan tujuan yang sudah sangat jelas dan tegas itu. Konstitusi kita, misalnya, seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 (ayat 2 dan 3), bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, fakir miskin dan anak anak telantar dipelihara oleh Negara. Bagaimana caranya? Dengan mengelola dan mengolah hasil alam sendiri, sehingga mampu menghidupi anak negeri.
Founding Fathers sudah memikirkan jauh ke depan ketika merumuskan tujuan kenapa negara ini lahir dan diperjuangkan. Mereka berharap, tujuan bernegara tersebut akan benar-benar hadir dan nyata. Sayangnya, beberapa presiden yang seharusnya mengemban amanat tersebut tersesat di rimba kekuasaan, dan melupakan tujuan dasar lahirnya negara kepulauan ini. Kita pernah punya presiden hebat seperti Soekarno dan kuat lewat sosok Soeharto. Namun, mereka membelokkan tujuan dan filosofi bernegara. Puluhan tahun negara ini tergadai di tangan presiden yang salah. Mudah-mudahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang kini memegang tampuk negeri ini tidak ikut tersesat dalam rimba kekuasaan.
Pengelolaan Migas
Salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (tepatnya Kementerian ESDM) agar tak tersesat di rimba kekuasaan, terutama terkait dengan pengelolaan Migas, adalah mengeluarkan keputusan yang tepat terkait Blok Mahakam, dan berbagai kontrak kerjasama pengelolaan Migas lainnya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 21 November 2014 lalu mengumumkan, mengakhiri kontrak kerja sama (KKS) Blok Mahakam dengan Total dan Inpex per 31 Maret 2017. Ini tentu saja keputusan besar yang menuntut penanganan secara serius dan hati-hati, sebab, dalam kurun waktu 2015-2020 setidaknya ada 22 blok produksi migas lain yang juga akan habis masa kontraknya. Khusus terkait pengelolaan Blok Mahakam, rencananya mulai 2017 akan dilimpahkan ke Pertamina, sebagai lembaga yang diharapkan mampu menjamin ketahanan energi nasional.
Pertanyaannya, langkah apa yang diambil pemerintah untuk tetap menjamin produksi migas di Blok Mahakam selama proses transisi tidak terjadi penurunan? Kekhawatiran tersebut sangat wajar. Sebab, jika kontraktor Blok Mahakam, Total dan Inpex, tidak melakukan investasi di akhir masa kontrak, produksi migas Blok Mahakam jelas akan terganggu, dan membawa dampak terhadap energi nasional. Butuh waktu lama, minimal 5-8 tahun, untuk menaikkan kembali jumlah produksi agar kembali normal.
Menyadari kekhawatiran tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam pertemuan dengan DPR, 8 April lalu, mengatakan, pemerintah sudah memiliki exit strategy terkait hal tersebut. Katanya, pihaknya sudah menyiapkan dan akan segera menandatangani draf head of agreement (HoA) Pertamina, Total, dan Inpex sebagai payung hukum bagi proses transisi pengelolaan Blok Mahakam. Di dalam HoA ada satu klausul yang memastikan bahwa selama proses transisi tidak terjadi penurunan produksi migas.
Langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, tersebut patut diapresiasi. Inilah bagian dari upaya mengembalikan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam yang selama ini lebih menguntungkan dan seperti didikte asing. Dengan demikian, tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi seperti amanah Undang-undang No 22 Tahun 2001, di antaranya, menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri; meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; dan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, dapat tercapai sebagaimana harapan rakyat.
Yang perlu dilakukan pemerintah selanjutnya adalah perbaikan kinerja Pertamina dan kontrol terhadap mafia migas yang selama ini begitu berkuasa terhadap kekayaan alam Indonesia. Sebab, tanpa reformasi Pertamina dan kontrol terhadap lembaga pengelolaan Migas, kita takutkan rakyat kembali gigit jari. Sebab, jika mafia migas masih merajai dalam setiap urusan pengelolaan migas, maka selamanya rakyat tak berdaulat atas kekayaan alam negerinya. Jadinya, ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Begitulah protret pengelolaan sumber daya alam/mineral bangsa ini.
Nasib Kita
Pada tahun 2020, diperkirakan konsumsi minyak dunia akan meningkat hingga 50 persen, dan Amerika Serikat diproyeksikan tetap masih memainkan peran utama dalam mengantisipasi peningkatan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana bisa? Padahal, selama ini, kita tahu, Amerika Serikat tak termasuk dalam negara penghasil minyak terbesar di dunia. James Canton, dalam bukunya, The Extreme Future, mengemukakan fakta yang mencengangkan kita. Amerika mengimpor minyak sebesar 12 juta barel per hari atau 60 persen dari total konsumsi minyak. Pada tahun 1970, ketergantungan Amerika pada minyak hanya 21,5 persen. “Amerika Serikat merupakan konsumen minyak nomor satu di muka bumi, karena menggunakan lebih 26 persen pasokan minyak dunia,” tulis James mengutip keterangan Departemen Energi Amerika Serikat.
Masih menurut James, Amerika menyadari betul pentingnya sumber minyak yang menghidupi industri-industri besar mereka, dan potensi kehabisan cadangan minyak dunia. Di Amerika bukan tidak ada cadangan minyak, tapi mereka simpan untuk masa depan. Mereka sudah mengantisipasi berbagaikemungkinan yang terjadi terhadap ketergantungan dunia pada minyak, sementara minyak bukan energi yang bisa diperbaharui.
Karena itulah, sebagai negara penghasil minyak dan gas, Indonesia perlu berhati-hati menggunakan cadangan minyak dan gas. Pemanfaatan minyak dan gas benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, karena itulah amanah konstitusi kita. Selagi cadangan minyak dan gas kita masih banyak, perlu dikelola dan digunakan dengan baik. Sebab, tak selamanya kita akan menikmati kemewahan hasil alam yang melimpah tersebut.
Ingat, “Zaman Batu tidak berakhir karena kehabisan batu, namun Zaman Minyak berakhir jauh sebelum bumi ini kehabisan cadangan minyaknya.” Saya pikir, kita perlu merenungi lagi pendapat mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi tentang masa depan energi minyak tersebut. Semuanya belum terlambat. Kita berharap cadangan minyak dan hasil alam yang kita miliki benar-benar dinikmati sebesar-sebesarnya oleh rakyat kita. []
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kita sudah cukup sering mendengar dari mulut-mulut politisi atau pejabat atau ditulis oleh pengamat/pakar di media dua kalimat di atas, yang tak lain adalah bunyi dari Pasal 33 (ayat 2 dan 3) Undang-undang Dasar 1945. Tapi, pernahkah kita bertanya pada diri masing-masing, bukankah kalimat itu mulai terdengar klise dan menjadi tak bermakna dalam kehidupan rakyat kita sekarang ini? Padahal kita sama-sama tahu, itulah amanah konstitusi kita yang seharusnya sejak dulu diwujudkan oleh siapa pun yang memegang tampuk negeri ini.
Kalau amanah konstitusi ini diemban dengan benar, kita tentu saja tidak akan mendengar rakyat mengumpat dan protes, bahwa, “negeri kita sebagai penghasil minyak dan gas, tapi kenapa harga bbm dan gas begitu mahal? Kenapa listrik juga ikut mahal?” Bahkan, ada yang tegas lagi, kenapa negeri kita masih saja terbelakang dan banyak rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan? Ke mana hasil alam Indonesia dibawa dan siapa yang menikmatinya? Jelas, rakyat (negara kita) mendapat porsi yang lebih kecil.
Mau tidak mau, sebagai rakyat kita hanya berharap agar Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sadar akan tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah konsitutusi. Sebab, terlepas visi apapun yang sudah dirancang, mereka-mereka ini terikat pada visi besar bangsa ini. Di antara visi tersebut, misalnya, tercantum dengan jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Visi dan tujuan tersebut sudah amat sangat jelas dan tegas, dan tak perlu penafsiran apa-apa lagi. Itulah amanah yang harus diemban seorang presiden begitu mereka mendapatkan mandat dari rakyat.
Kita tak perlu memperdebatkan lagi apa tugas dan tanggung jawab seorang presiden, karena siapa pun presidennya, mereka dihadapkan pada visi dan tujuan yang sudah sangat jelas dan tegas itu. Konstitusi kita, misalnya, seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 (ayat 2 dan 3), bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, fakir miskin dan anak anak telantar dipelihara oleh Negara. Bagaimana caranya? Dengan mengelola dan mengolah hasil alam sendiri, sehingga mampu menghidupi anak negeri.
Founding Fathers sudah memikirkan jauh ke depan ketika merumuskan tujuan kenapa negara ini lahir dan diperjuangkan. Mereka berharap, tujuan bernegara tersebut akan benar-benar hadir dan nyata. Sayangnya, beberapa presiden yang seharusnya mengemban amanat tersebut tersesat di rimba kekuasaan, dan melupakan tujuan dasar lahirnya negara kepulauan ini. Kita pernah punya presiden hebat seperti Soekarno dan kuat lewat sosok Soeharto. Namun, mereka membelokkan tujuan dan filosofi bernegara. Puluhan tahun negara ini tergadai di tangan presiden yang salah. Mudah-mudahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang kini memegang tampuk negeri ini tidak ikut tersesat dalam rimba kekuasaan.
Pengelolaan Migas
Salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (tepatnya Kementerian ESDM) agar tak tersesat di rimba kekuasaan, terutama terkait dengan pengelolaan Migas, adalah mengeluarkan keputusan yang tepat terkait Blok Mahakam, dan berbagai kontrak kerjasama pengelolaan Migas lainnya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 21 November 2014 lalu mengumumkan, mengakhiri kontrak kerja sama (KKS) Blok Mahakam dengan Total dan Inpex per 31 Maret 2017. Ini tentu saja keputusan besar yang menuntut penanganan secara serius dan hati-hati, sebab, dalam kurun waktu 2015-2020 setidaknya ada 22 blok produksi migas lain yang juga akan habis masa kontraknya. Khusus terkait pengelolaan Blok Mahakam, rencananya mulai 2017 akan dilimpahkan ke Pertamina, sebagai lembaga yang diharapkan mampu menjamin ketahanan energi nasional.
Pertanyaannya, langkah apa yang diambil pemerintah untuk tetap menjamin produksi migas di Blok Mahakam selama proses transisi tidak terjadi penurunan? Kekhawatiran tersebut sangat wajar. Sebab, jika kontraktor Blok Mahakam, Total dan Inpex, tidak melakukan investasi di akhir masa kontrak, produksi migas Blok Mahakam jelas akan terganggu, dan membawa dampak terhadap energi nasional. Butuh waktu lama, minimal 5-8 tahun, untuk menaikkan kembali jumlah produksi agar kembali normal.
Menyadari kekhawatiran tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam pertemuan dengan DPR, 8 April lalu, mengatakan, pemerintah sudah memiliki exit strategy terkait hal tersebut. Katanya, pihaknya sudah menyiapkan dan akan segera menandatangani draf head of agreement (HoA) Pertamina, Total, dan Inpex sebagai payung hukum bagi proses transisi pengelolaan Blok Mahakam. Di dalam HoA ada satu klausul yang memastikan bahwa selama proses transisi tidak terjadi penurunan produksi migas.
Langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, tersebut patut diapresiasi. Inilah bagian dari upaya mengembalikan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam yang selama ini lebih menguntungkan dan seperti didikte asing. Dengan demikian, tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi seperti amanah Undang-undang No 22 Tahun 2001, di antaranya, menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri; meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; dan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, dapat tercapai sebagaimana harapan rakyat.
Yang perlu dilakukan pemerintah selanjutnya adalah perbaikan kinerja Pertamina dan kontrol terhadap mafia migas yang selama ini begitu berkuasa terhadap kekayaan alam Indonesia. Sebab, tanpa reformasi Pertamina dan kontrol terhadap lembaga pengelolaan Migas, kita takutkan rakyat kembali gigit jari. Sebab, jika mafia migas masih merajai dalam setiap urusan pengelolaan migas, maka selamanya rakyat tak berdaulat atas kekayaan alam negerinya. Jadinya, ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Begitulah protret pengelolaan sumber daya alam/mineral bangsa ini.
Nasib Kita
Pada tahun 2020, diperkirakan konsumsi minyak dunia akan meningkat hingga 50 persen, dan Amerika Serikat diproyeksikan tetap masih memainkan peran utama dalam mengantisipasi peningkatan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana bisa? Padahal, selama ini, kita tahu, Amerika Serikat tak termasuk dalam negara penghasil minyak terbesar di dunia. James Canton, dalam bukunya, The Extreme Future, mengemukakan fakta yang mencengangkan kita. Amerika mengimpor minyak sebesar 12 juta barel per hari atau 60 persen dari total konsumsi minyak. Pada tahun 1970, ketergantungan Amerika pada minyak hanya 21,5 persen. “Amerika Serikat merupakan konsumen minyak nomor satu di muka bumi, karena menggunakan lebih 26 persen pasokan minyak dunia,” tulis James mengutip keterangan Departemen Energi Amerika Serikat.
Masih menurut James, Amerika menyadari betul pentingnya sumber minyak yang menghidupi industri-industri besar mereka, dan potensi kehabisan cadangan minyak dunia. Di Amerika bukan tidak ada cadangan minyak, tapi mereka simpan untuk masa depan. Mereka sudah mengantisipasi berbagaikemungkinan yang terjadi terhadap ketergantungan dunia pada minyak, sementara minyak bukan energi yang bisa diperbaharui.
Karena itulah, sebagai negara penghasil minyak dan gas, Indonesia perlu berhati-hati menggunakan cadangan minyak dan gas. Pemanfaatan minyak dan gas benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, karena itulah amanah konstitusi kita. Selagi cadangan minyak dan gas kita masih banyak, perlu dikelola dan digunakan dengan baik. Sebab, tak selamanya kita akan menikmati kemewahan hasil alam yang melimpah tersebut.
Ingat, “Zaman Batu tidak berakhir karena kehabisan batu, namun Zaman Minyak berakhir jauh sebelum bumi ini kehabisan cadangan minyaknya.” Saya pikir, kita perlu merenungi lagi pendapat mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi tentang masa depan energi minyak tersebut. Semuanya belum terlambat. Kita berharap cadangan minyak dan hasil alam yang kita miliki benar-benar dinikmati sebesar-sebesarnya oleh rakyat kita. []
Note: Tulisan ini sudah ditayangkan di blog Kompasiana.com sebagai partisipasi dalam lomba Blog Competition dengan tema "Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia"
Tags:
Inforial