Di Banda Aceh kita bisa melihat pemimpin yang benar-benar membela warganya hingga ke akhirat, kelak!
Institut Teknologi Bandung (ITB), Perusahaan Gas Nasional (PGN) dan Harian Kompas menggagas konsep ‘kota cerdas’ agar menjadi sumber inspirasi bagi kota-kota besar di Indonesia. Kriteria kota cerdas yang dinilai pun sederhana (meski saya pikir tidak cukup sederhana untuk diterapkan): cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan cerdas secara lingkungan.
Banda Aceh yang kini digadang-gadang oleh Walikotanya, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal, sebagai Model Kota Madani patut ditimbang melalui tiga kriteria tersebut. Hal itu untuk memberi gambaran bagi kita, apakah Model Kota Madani yang dikampanyekan sang pelayan kota tersebut layak kita sebut sebagai kota cerdas atau tidak.
Banda Aceh yang luluh-lantak dihantam gempa dan tsunami sudah jauh berubah. Kita tak lagi melihat kota yang murung dan lesu. Kota yang dibangun Sultan Ali Mughayat Syah ini sudah lama memaklumkan kepada siapa pun yang pernah menginjak kakinya, sebagai kota tegar dan punya daya tahan luar biasa hebat.
Bayangkan, kota ini pernah menjadi arena perang antara pejuang Aceh dengan Portugis, Belanda, dan Jepang. Masjid Raya yang pernah menjadi simbol kota, yang kini berusia 810 tahun itu, pernah dibakar Belanda, dan dibangun lagi untuk menghindari amuk-amarah warganya. Kini Masjid tersebut makin kokoh, dan jadi salah satu trademark Banda Aceh.
Daya tahan kota ini pantas membuat iri warga kota-kota lain di Indonesia. Setiap usai musibah dan bencana, kota ini menjadi makin gagah dan perkasa. Lebih indah dari sebelumnya. Jika sesekali berkunjung ke Banda Aceh, anda akan takjub dengan suasana kota dan keramah-tamahan warganya. Anda akan lebih takjub lagi melihat kota dengan seribu warung kopi yang selalu penuh itu, dari pagi hingga pagi lagi, sesuatu yang jarang ditemui di kota lain.
Beberapa kawasan di Banda Aceh yang sebelum tsunami masih sepi dan dipenuhi semak belukar, kini sudah disulap agar tampak menggeliat, dengan hadirnya jalan baru dan ruko-ruko yang dibangun dengan cepat. Dan, di antara ruko-ruko yang dibangun itu, sebagiannya jadi warung kopi. Tak heran, selain dikenal sebagai kota seribu masjid, Banda Aceh juga surganya bagi penikmat kopi.
Tapi, jangan pernah mencari gedung bioskop di kota ini. Anda akan kecewa. Sebab, tidak ada lagi bioskop yang beroperasi di sini. Hal ini tentu saja aneh, karena era tahun 80-an hingga sebelum tsunami, kota ini pernah memiliki beberapa bioskop. Kini, pelayan kota, menganggap kehadiran bioskop belum begitu penting untuk kota madani. Bioskop dianggap dapat membawa mudharat untuk kota yang benar-benar menjaga dan mengawasi moral warganya, dengan ketat. Ah, kota yang benar-benar bikin kita gemas.
Makanya, dengan penuh semangat, Walikota yang disapa Bunda Eli ini sangat yakin dengan visi besarnya memajukan Banda Aceh. Bahkan, setelah merasa sukses menjadikan Banda Aceh sebagai cyber city dan smart city (kita masih bisa berdebat soal ini), Bunda Eli mulai menggagas Banda Aceh sebagai future city. Ia berharap Banda Aceh menjadi kota masa depan yang diidamkan banyak orang.
Harapan kita hanya satu, seiring dengan banyak obsesi ambisiusnya, Pemerintah Kota agar benar-benar mengelola berbagai pendapatan yang diterimanya dengan sebaik-baik mungkin. Menjamurnya warung kopi dan membludaknya pengunjung, otomatis lahan parkir pun menjadi penuh. Pemasukan dari parkir yang cukup besar ini, di luar pajak, saya pikir akan membuat kota ini mampu menghidupi warganya. Syaratnya, pemasukan itu tak masuk ke kantong-kantong orang yang salah.
Institut Teknologi Bandung (ITB), Perusahaan Gas Nasional (PGN) dan Harian Kompas menggagas konsep ‘kota cerdas’ agar menjadi sumber inspirasi bagi kota-kota besar di Indonesia. Kriteria kota cerdas yang dinilai pun sederhana (meski saya pikir tidak cukup sederhana untuk diterapkan): cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan cerdas secara lingkungan.
Banda Aceh yang kini digadang-gadang oleh Walikotanya, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal, sebagai Model Kota Madani patut ditimbang melalui tiga kriteria tersebut. Hal itu untuk memberi gambaran bagi kita, apakah Model Kota Madani yang dikampanyekan sang pelayan kota tersebut layak kita sebut sebagai kota cerdas atau tidak.
Banda Aceh yang luluh-lantak dihantam gempa dan tsunami sudah jauh berubah. Kita tak lagi melihat kota yang murung dan lesu. Kota yang dibangun Sultan Ali Mughayat Syah ini sudah lama memaklumkan kepada siapa pun yang pernah menginjak kakinya, sebagai kota tegar dan punya daya tahan luar biasa hebat.
Bayangkan, kota ini pernah menjadi arena perang antara pejuang Aceh dengan Portugis, Belanda, dan Jepang. Masjid Raya yang pernah menjadi simbol kota, yang kini berusia 810 tahun itu, pernah dibakar Belanda, dan dibangun lagi untuk menghindari amuk-amarah warganya. Kini Masjid tersebut makin kokoh, dan jadi salah satu trademark Banda Aceh.
Kampung Keberagaman di Peunayong, Banda Aceh | @almubarak |
Beberapa kawasan di Banda Aceh yang sebelum tsunami masih sepi dan dipenuhi semak belukar, kini sudah disulap agar tampak menggeliat, dengan hadirnya jalan baru dan ruko-ruko yang dibangun dengan cepat. Dan, di antara ruko-ruko yang dibangun itu, sebagiannya jadi warung kopi. Tak heran, selain dikenal sebagai kota seribu masjid, Banda Aceh juga surganya bagi penikmat kopi.
Tapi, jangan pernah mencari gedung bioskop di kota ini. Anda akan kecewa. Sebab, tidak ada lagi bioskop yang beroperasi di sini. Hal ini tentu saja aneh, karena era tahun 80-an hingga sebelum tsunami, kota ini pernah memiliki beberapa bioskop. Kini, pelayan kota, menganggap kehadiran bioskop belum begitu penting untuk kota madani. Bioskop dianggap dapat membawa mudharat untuk kota yang benar-benar menjaga dan mengawasi moral warganya, dengan ketat. Ah, kota yang benar-benar bikin kita gemas.
Cerdas secara ekonomi
Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan, sejak kota yang dipimpinnya menerapkan kota cerdas, yang disebutnya cyber city dan kemudian smart city, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banda Aceh mencapai Rp135 miliar. Padahal, katanya, pada 2007 atau sebelum menjadi kota cerdas, PAD Banda Aceh hanya Rp5 miliar.
Selama ini, Pemko Banda Aceh memang sedang giat-giatnya menggenjot pendapatan. Saya perhatikan dalam hal pengelolaan parkir. Sudah lama kawasan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong semraut dengan pedagang kaki lima, yang sering menggelar dagangan dan berjualan di badan jalan. Kini, dengan semakin aktifnya Satpol PP menjaga keindahan kota, beberapa ruas jalan yang selama ini jadi tempat berjualan, sudah berubah menjadi lahan parkir. Dengan demikian, pemasukan untuk pundi-pundi daerah dari sisi parkir meningkat.
Selama ini, Pemko Banda Aceh memang sedang giat-giatnya menggenjot pendapatan. Saya perhatikan dalam hal pengelolaan parkir. Sudah lama kawasan Pasar Aceh dan Pasar Peunayong semraut dengan pedagang kaki lima, yang sering menggelar dagangan dan berjualan di badan jalan. Kini, dengan semakin aktifnya Satpol PP menjaga keindahan kota, beberapa ruas jalan yang selama ini jadi tempat berjualan, sudah berubah menjadi lahan parkir. Dengan demikian, pemasukan untuk pundi-pundi daerah dari sisi parkir meningkat.
Makanya, dengan penuh semangat, Walikota yang disapa Bunda Eli ini sangat yakin dengan visi besarnya memajukan Banda Aceh. Bahkan, setelah merasa sukses menjadikan Banda Aceh sebagai cyber city dan smart city (kita masih bisa berdebat soal ini), Bunda Eli mulai menggagas Banda Aceh sebagai future city. Ia berharap Banda Aceh menjadi kota masa depan yang diidamkan banyak orang.
Harapan kita hanya satu, seiring dengan banyak obsesi ambisiusnya, Pemerintah Kota agar benar-benar mengelola berbagai pendapatan yang diterimanya dengan sebaik-baik mungkin. Menjamurnya warung kopi dan membludaknya pengunjung, otomatis lahan parkir pun menjadi penuh. Pemasukan dari parkir yang cukup besar ini, di luar pajak, saya pikir akan membuat kota ini mampu menghidupi warganya. Syaratnya, pemasukan itu tak masuk ke kantong-kantong orang yang salah.
Cerdas secara sosial
Warga Banda Aceh patut berbangga memiliki Walikota yang punya visi jauh ke depan, serta aktif berinteraksi dengan warganya. Sejak masih sebagai Wakil Walikota, Illiza cukup sering ikut langsung dalam razia-razia tempat maksiat di kota yang dipimpinnya bersama Walikota Mawardy Nurdin (kini almarhum). Betapa dekat dan pedulinya dia pada moral warganya. Tak pelak, hal ini pun memberinya lakab sebagai “ratu razia”. Ada-ada saja memang warga kotanya.
Tapi, di luar itu, Illiza dikenal sangat ramah di media sosial, Instagram, misalnya. Yang saya tahu, dia cukup aktif di media sosial berbagi foto tersebut, sementara di Twitter atau Facebook, saya tidak tahu. Pernah, ada seorang warga kota mengadukan masalah air PDAM yang macet berhari-hari ke akun Instagramnya. Sang Bunda pun meminta nomor kontak yang bersangkutan dan berbicara dengannya melalui telepon. Setelah itu, Direktur PDAM, berdasarkan arahan Walikota, ikut menelpon warga kota tersebut. Hasilnya, air PDAM pun kembali lancar.
Kota yang dikenal dengan seribu warung kopinya itu, warganya juga cukup ramah. Interaksi sosial begitu mudah terjalin, di warung-warung kopi, yang berada di berbagai sudut kota itu. Inilah simbol kota egaliter. Di warung kopi, tak ada beda pejabat atau penjahat, tuan atau puan, kelas elit atau kelas rendah. Di meja warung kopi, mereka setara, dan meneguk kopi hitam yang sama, dengan harga yang sama pula. Keakraban di warung kopilah, membuat kota ini begitu nyaman ditempati. Di warung kopi pula, warga kota ini membuktikan diri mereka sebagai makhluk sosial sekaligus beradab.
Dan satu lagi, saya ingin mengabarkan kepada Anda yang belum sempat ke Banda Aceh, jika suatu saat nanti Anda tiba di kota ini, jangan lupa berkelilinglah di Kampung Keberagaman yang berada tepat di jantung Pasar Peunayong. Banyak orang menyebut Peunayong sebagai Pecinan-nya Banda Aceh. Ya, di kota ini, warga etnis Tionghoa berbaur dengan warga Aceh, nyaris tak memiliki hijab. Jika ingin mendengar orang Cina yang mampu berbahasa Aceh, ke Peunanyong-lah tempatnya. Peunayong benar-benar jadi Kampung Keberagaman.
Cerdas secara lingkungan
Seperti disinggung di atas, Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, punya obsesi menjadikan Banda Aceh sebagai kota masa depan (future city). Tapi, jika kriteria kota yang ramah lingkungan adalah kota yang layak huni, sehat, hemat dalam penggunaan serta pengelolaan energi, saya tidak bisa menjaminnya. Pun begitu, marilah kita memuji Bunda Eli yang punya harapan menjadikan Banda Aceh sebagai kota idaman banyak orang.
Sebagai informasi, pada 2014, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Banda Aceh mencapai 12.000 orang, sementara wisatawan Nusantara 250.000. Bagi kota yang terus berbenah setelah digempur Tsunami, jumlah tersebut tak bisa dibilang sedikit. Tapi melihat begitu gencarnya kampanye Visit Banda Aceh Year yang digelar saban tahun, jumlah tersebut tentu saja mengecewakan, terutama jika dibandingkan Kota Yogyakarta, yang jumlah pengunjungnya bisa sepuluh kali lipat Banda Aceh.
Pun begitu, menjamurnya warung kopi plus wifi gratis, kita patut berharap ke depan semakin banyak orang jatuh cinta pada kota ini. Apalagi, di beberapa area publik, orang begitu mudahnya mengakses internet. Para pelancong selalu menyukai kota yang mampunyai koneksi internet lebih baik. Saya pikir inilah salah satu pesona kota ini yang membuat kita masih betah untuk tinggal di sini.
Tapi dalam hal energi, kita pantas mengutuk kota ini dengan sekuat-kuat suara. Saya pikir, di kota inilah kita akan memiliki pengalaman bagaiman listrik bisa padam berjam-jam, sementara pejabat publik yang berwenang cukup tenang dengan umpatan dan cacian warga. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penyediaan air bersih, yang sering macet berhari-hari, dan warga kotanya harus bergadang hanya untuk menampung air agar besoknya bisa mandi junub dengan nyaman. Listrik padam dan macetnya air PDAM, saya pikir, sama sekali bukan dimaksudkan sebagai bagian dari program berhemat energi dan hemat air.
Dan satu lagi, saya pikir, warga kota lain patut iri dengan warga Banda Aceh. Kenapa? Banda Aceh memiliki Walikota yang punya visi jauh ke depan, melampaui dunia yang kita tempati ini. Dia turut memikirkan kehidupan warganya hingga ke akhirat kelak. Benar-benar Walikota jempolan. Tak berlebihan, jika saya katakan, di Banda Aceh pula, kita akan menemukan jalan ke surga. Sebab, saban malam Kamis dan Jumat, ada zikir akbar yang menghentak langit dan bumi Aceh. Suara dari corong mikrofon bisa terdengar beberapa radius kilometer.
Sebulan sekali Pemerintah Kota juga mengundang ustadz/ustadzah populer dari luar Aceh untuk memberi siraman rohani bagi warga kota yang (mungkin) sering kering kerontang itu. Lalu, saban malam, aparat pemerintah merazia tempat-tempat sepi yang berpotensi terjadinya maksiat. Inilah kota yang sesuai dengan tuntunan syar’i. Hanya di Banda Aceh, saya pikir, kita dengan mudah mencari jalan ke surga.
Nah, kurang cerdas apalagi kota Madani kita ini, kan Bunda!
Warga Banda Aceh patut berbangga memiliki Walikota yang punya visi jauh ke depan, serta aktif berinteraksi dengan warganya. Sejak masih sebagai Wakil Walikota, Illiza cukup sering ikut langsung dalam razia-razia tempat maksiat di kota yang dipimpinnya bersama Walikota Mawardy Nurdin (kini almarhum). Betapa dekat dan pedulinya dia pada moral warganya. Tak pelak, hal ini pun memberinya lakab sebagai “ratu razia”. Ada-ada saja memang warga kotanya.
Tapi, di luar itu, Illiza dikenal sangat ramah di media sosial, Instagram, misalnya. Yang saya tahu, dia cukup aktif di media sosial berbagi foto tersebut, sementara di Twitter atau Facebook, saya tidak tahu. Pernah, ada seorang warga kota mengadukan masalah air PDAM yang macet berhari-hari ke akun Instagramnya. Sang Bunda pun meminta nomor kontak yang bersangkutan dan berbicara dengannya melalui telepon. Setelah itu, Direktur PDAM, berdasarkan arahan Walikota, ikut menelpon warga kota tersebut. Hasilnya, air PDAM pun kembali lancar.
Kota yang dikenal dengan seribu warung kopinya itu, warganya juga cukup ramah. Interaksi sosial begitu mudah terjalin, di warung-warung kopi, yang berada di berbagai sudut kota itu. Inilah simbol kota egaliter. Di warung kopi, tak ada beda pejabat atau penjahat, tuan atau puan, kelas elit atau kelas rendah. Di meja warung kopi, mereka setara, dan meneguk kopi hitam yang sama, dengan harga yang sama pula. Keakraban di warung kopilah, membuat kota ini begitu nyaman ditempati. Di warung kopi pula, warga kota ini membuktikan diri mereka sebagai makhluk sosial sekaligus beradab.
Dan satu lagi, saya ingin mengabarkan kepada Anda yang belum sempat ke Banda Aceh, jika suatu saat nanti Anda tiba di kota ini, jangan lupa berkelilinglah di Kampung Keberagaman yang berada tepat di jantung Pasar Peunayong. Banyak orang menyebut Peunayong sebagai Pecinan-nya Banda Aceh. Ya, di kota ini, warga etnis Tionghoa berbaur dengan warga Aceh, nyaris tak memiliki hijab. Jika ingin mendengar orang Cina yang mampu berbahasa Aceh, ke Peunanyong-lah tempatnya. Peunayong benar-benar jadi Kampung Keberagaman.
Cerdas secara lingkungan
Seperti disinggung di atas, Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, punya obsesi menjadikan Banda Aceh sebagai kota masa depan (future city). Tapi, jika kriteria kota yang ramah lingkungan adalah kota yang layak huni, sehat, hemat dalam penggunaan serta pengelolaan energi, saya tidak bisa menjaminnya. Pun begitu, marilah kita memuji Bunda Eli yang punya harapan menjadikan Banda Aceh sebagai kota idaman banyak orang.
Sebagai informasi, pada 2014, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Banda Aceh mencapai 12.000 orang, sementara wisatawan Nusantara 250.000. Bagi kota yang terus berbenah setelah digempur Tsunami, jumlah tersebut tak bisa dibilang sedikit. Tapi melihat begitu gencarnya kampanye Visit Banda Aceh Year yang digelar saban tahun, jumlah tersebut tentu saja mengecewakan, terutama jika dibandingkan Kota Yogyakarta, yang jumlah pengunjungnya bisa sepuluh kali lipat Banda Aceh.
Pun begitu, menjamurnya warung kopi plus wifi gratis, kita patut berharap ke depan semakin banyak orang jatuh cinta pada kota ini. Apalagi, di beberapa area publik, orang begitu mudahnya mengakses internet. Para pelancong selalu menyukai kota yang mampunyai koneksi internet lebih baik. Saya pikir inilah salah satu pesona kota ini yang membuat kita masih betah untuk tinggal di sini.
Tapi dalam hal energi, kita pantas mengutuk kota ini dengan sekuat-kuat suara. Saya pikir, di kota inilah kita akan memiliki pengalaman bagaiman listrik bisa padam berjam-jam, sementara pejabat publik yang berwenang cukup tenang dengan umpatan dan cacian warga. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penyediaan air bersih, yang sering macet berhari-hari, dan warga kotanya harus bergadang hanya untuk menampung air agar besoknya bisa mandi junub dengan nyaman. Listrik padam dan macetnya air PDAM, saya pikir, sama sekali bukan dimaksudkan sebagai bagian dari program berhemat energi dan hemat air.
Dan satu lagi, saya pikir, warga kota lain patut iri dengan warga Banda Aceh. Kenapa? Banda Aceh memiliki Walikota yang punya visi jauh ke depan, melampaui dunia yang kita tempati ini. Dia turut memikirkan kehidupan warganya hingga ke akhirat kelak. Benar-benar Walikota jempolan. Tak berlebihan, jika saya katakan, di Banda Aceh pula, kita akan menemukan jalan ke surga. Sebab, saban malam Kamis dan Jumat, ada zikir akbar yang menghentak langit dan bumi Aceh. Suara dari corong mikrofon bisa terdengar beberapa radius kilometer.
Sebulan sekali Pemerintah Kota juga mengundang ustadz/ustadzah populer dari luar Aceh untuk memberi siraman rohani bagi warga kota yang (mungkin) sering kering kerontang itu. Lalu, saban malam, aparat pemerintah merazia tempat-tempat sepi yang berpotensi terjadinya maksiat. Inilah kota yang sesuai dengan tuntunan syar’i. Hanya di Banda Aceh, saya pikir, kita dengan mudah mencari jalan ke surga.
Nah, kurang cerdas apalagi kota Madani kita ini, kan Bunda!
Tags:
Artikel