Seymour Hersh dan Jurnalisme Bukti

Tulisan Seymour M. Hersh, The Killing of Osama bin Laden, di London Review of Books, 21 Mei 2015 membuat guncang dan marah para pejabat Gedung Putih. Wartawan investigasi yang memenangkan Hadiah Pulitzer untuk laporannya, My Lai, itu menuding Barack Obama berbohong terkait pembunuhan Osama bin Laden, pendiri Al Qaeda. Sekali pun pejabat Gedung Putih membantah, publik internasional jelas menunggu akhir dari perkembangan kematian Osama yang masih diliputi misteri hingga kini.

Sudah lama Hersh dikenal sebagai spesialis untuk liputan soal perang, teror serta kegigihan membongkar rahasia pemerintah. Keberaniannya membongkar kejanggalan kematian dalang peristiwa 9/11 yang meledakkan WTC di Amerika Serikat, jelas sedang mempertaruhkan reputasi dan kehormatan jurnalisme yang dianutnya.

Seymour Hersh | the guardian
Dalam tulisannya, Hersh membuat kesimpulan, bahwa tidak ada baku tembak dalam operasi penyergapan Osama, adanya pengkhianatan di tubuh intelijen Pakistan, penyergapan gembong al-Qaeda sebagai politik pencitraan Obama untuk terpilih satu periode lagi, dan Osama tidak dikubur di laut, jelas bukan tuduhan biasa. Kesimpulan Hersh membalikkan semua informasi yang sebelumnya beredar luas dan banyak dikutip media. Kita pun jadi bertanya-tanya, bagaimana jika kesimpulannya ternyata salah dan keliru? Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini?

Menyucikan fakta
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012), mengatakan, pendekatan Hersh dalam reportase sangat sederhana: akumulasi detil dan fakta yang membutuhkan kesadaran ekstra. Dengan kata lain, Hersh adalah jurnalis penganut jurnalisme yang menempatkan fakta di atas segala-galanya.

Perhatian Hersh terhadap detil dan fakta saat menulis sebuah kasus serta integritas pribadinya, pernah membuat dia dianggap sebagai kompetitor oleh Carl Bernstein dan Bob Woodward, wartawan Washington Post yang membongkar kasus Watergate. Dalam All The President’s Men: Kisah Nyata Kejatuhan Sang Presiden (Cetakan II, Agustus 2012), Bernstein dan Woodward menganggap liputan Hersh di New York Times, meresahkan mereka, karena “secara unik mampu memahami kasus Watergate yang bercabang-cabang.”

Dalam sebuah acara makan malam dengan Bernstein dan Woodward, misalnya, Hersh bercerita tentang seorang anak buah presiden yang dicurigai terlibat Watergate, dan dia ingin membidik orang itu dengan tepat. Katanya, “tapi aku tidak akan mengincarnya dengan asal-asalan; aku akan menjatuhkannya dengan keras, dengan fakta-fakta, informasi yang tidak dapat dibantah, bukti, kebenaran; jika tidak bisa, aku tidak akan menyentuhnya sama sekali.”

Bertahun-tahun, prinsip itulah yang selalu dipegangnya: tidak membuat kesimpulan secara gegabah dan menulis hanya berdasarkan kecurigaan semata-mata. Seperti ditulis Kovach dan Rosenstiel, bagi Hersh, detil dan fakta serta filosofi empirisme dalam meliput, setara dengan kehormatan dan integritas. Hal itu memandunya untuk meliput sebuah kasus secara sistematis dan terukur: bekerja dari bawah ke atas. Dia memperlakukan detil dan fakta sebagai ruh jurnalismenya, sehingga jarang sekali kesimpulan yang ditariknya keliru.

Reputasi
Sebagai jurnalis investigasi kawakan, Seymour Hersh bekerja secara hati-hati. Banyak kasus yang diungkapnya sering berkaitan dengan para pengambil kebijakan tertinggi yang tak jarang berhubungan dengan konspirasi rahasia. Secara tekun dia meneliti dan mempelajari setiap fakta yang didapat serta memeriksa kembali setiap keterangan dari narasumbernya, dan mencocokkan kembali dengan hasil temuannya sendiri. Dia percaya pada intisari dan kehormatan jurnalisme yang dianutnya: disiplin verifikasi.

Dengan berpijak pada prinsip tersebut, akan menghindarkannya dari membuat kesimpulan yang salah. Mengabaikan salah satu elemen jurnalisme tersebut, bukan tidak mungkin, akan membuat para jurnalis menghukum orang yang tidak bersalah: secara hukum dan opini di media. Padahal, jurnalisme investigasi, selama ini dikenal sebagai tingkatan tertinggi dalam jurnalistik yang tidak menoleransi kesalahan. Ia menunjuk langsung pelaku tepat di jidatnya. Karenanya, tak semua orang memiliki kemampuan melakukan investigasi, selain menuntut kesabaran ekstra juga kemampuan mengendus fakta dan memperlakukannya dengan sikap kehati-hatian.

Kemampuan itulah menjadikan Hersh begitu dihormati di kalangan jurnalis. Kovach dan Rosenstiel mencatat, Hersh pernah menulis kritik secara detil terhadap laporan Pentagon tentang “sukses menyeluruh” dalam operasi lapangan di Afghanistan sebagai “ambang bencana”, dan mempertanyakan klaim Taliban sudah takluk. Selain itu, Hersh juga meragukan klaim Pemerintahan Bush terhadap senjata pemusnah massal Irak dan kaitannya dengan al-Qaeda. Ada yang meragukan kesimpulan Hersh. Tapi, sebut Kovach, “waktu membuktikan bahwa Hersh benar di dua kasus tersebut.”

Meskipun dikenal dengan akurasi tinggi, Hersh pernah menyimpan dan tak jadi memuat artikelnya terkait metode penyiksaan yang digunakan oleh agen CIA saat menginterogasi Hambali, dengan mengikat helm penuh semut api ke kepala sang teroris itu. Alasannya, karena dia tidak mendapatkan sumber yang melihat penyiksaan tersebut, sekali pun ada sumber di CIA yang mengonfirmasi adanya metode tersebut. Di kemudian hari, April 2009, catatan resmi Pemerintahan Bush mengakui adanya metode interogasi tersebut.

Dengan reputasi jurnalistiknya yang begitu panjang itu, cukup beralasan jika Seymour Hersh membuat tuduhan yang mengejutkan banyak pihak terkait kebohongan pemerintahan Obama dalam kasus kematian Osama bin Laden. Jika tuduhan Hersh terbukti, itu akan menjadi skandal besar pemerintahan Obama. Sebagai jurnalis yang memegang prinsip, “jangan menulis sesuatu yang tak kau ketahui betul” pasti tidak sedang berjudi. Kehormatan jurnalisme ikut dipertaruhkan jika ternyata kesimpulannya keliru.

Kita di Indonesia, begitu mendambakan hadirnya jurnalis yang punya reputasi seperti Seymour Hersh. Sebab, cukup banyak kasus-kasus publik yang perlu dibongkar. Hendaknya, hal itu mengilhami para jurnalis di sini untuk terus bekerja dengan mengedepankan kejujuran jurnalisme, sehingga segala sesuatu menjadi terang.

Kasus Hersh versus Gedung Putih itu tak hanya layak ditunggu kelanjutannya, melainkan juga banyak pelajaran yang dapat kita petik darinya. []

Post a Comment

Previous Post Next Post