Lebih sebulan saya menahan diri untuk menulis tema ini. Tentu saja bukan soal apakah enak atau tidak, tapi murni karena pertimbangan pribadi: saya tak punya cukup waktu buat menulis. Ada tugas yang mesti saya selesaikan.
Ide cerita ini, untuk kalian tahu, berawal saat membaca sebuah postingan di jejaring facebook tentang cerita Mualem, sapaan akrab Muzakkir Manaf, yang bermimpi ketemu Teungku Muhammad Hasan di Tiro, deklarator Aceh Merdeka. Sialnya, ketika menulis cerita ini, saya tak tahu lagi di mana harus baca postingan tersebut. Bagi saya, cerita itu menarik, tak hanya karena melibatkan dua sosok paling dikenal di Aceh, Hasan Tiro dan Muzakkir Manaf, melainkan juga terkait soal mimpi.
Ya, ketertarikan saya memang pada hal-ihwal mimpi. Bukan sembarang mimpi, loh. Ini mimpi Muzakkir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menduduki kursi Wakil Gubernur Aceh. Apa istimewanya mimpi sosok yang kerap disapa Mualem itu? Bukannya, semua mimpi sama saja, hanya konstruksi alam bawah sadar yang ketika terbagun jadi lupa-lupa ingat!
Hei, jangan kalian remehkan mimpi Mualem. Sudah hampir enam tahun Hasan Tiro meninggal, belum pernah saya dengar ada mantan kombatan GAM mimpi bertemu dengan orang paling dibenci serdadu Indonesia itu. Memang, saban tahun ada yang berkunjung ke makam beliau di Meureu, Indrapuri, tapi itu semata-mata ziarah biasa atau karena ingin dianggap masih setia pada perjuangan. Di luar itu, hubungan komunikasi dengan sang Wali itu sudah terputus.
Tapi, kita patut berbangga, karena Mualem hadir menyelamatkan kita semua justru di saat yang tepat. Lewat Mualem, Hasan Tiro ‘membangunkan’ kita dari lena panjang dan perilaku ‘si puntong ban meurumpok jaroe’. Pasalnya, masing-masing kita sudah larut dalam godaan kekuasaan, buah dari perjuangan panjang dan melelahkan, sekaligus perjuangan yang tak selesai itu. Dan, Wali menyindir kita semua melalui mimpi Mualem. Mimpi yang terlalu penting untuk dilewatkan.
Dalam rapat koordinasi DPA Partai Aceh, Jumat, 7 Agustus 2015 pagi, Mualem membeberkan kisah mimpinya itu. “Nyoe jeut neupateh jeut han, lon beuklam meulumpoe meureumpok ngon Wali (Ini bisa dipercaya atau tidak, semalam saya bermimpi ketemu wali),” kata Mualem.
Dalam mimpinya, Hasan Tiro bertanya, “Oh na ka perjuangan?” sama Mualem. Ingat, hanya kepada Mualem, bukan kepada dr Zaini Abdullah, Malek Mahmud atau Zakaria Saman. Boleh jadi, Wali tak pernah hadir dalam mimpi-mimpi mereka. Alasannya, bisa macam-macam.
Jangan lupa, seseorang akan hadir dalam mimpi-mimpi kita kalau kita sering memikirkannya, dan hal itu akan terbawa ke alam mimpi. Tapi, saya tak berani mengatakan, bahwa selain Mualem, orang-orang tua kita itu tak pernah memikirkan Wali. Saya tak bernyali menduga-duga.
Lalu, apa jawab Mualem mendengar pertanyaan yang sangat menohok itu? Sembari meminta maaf sama Wali, Mualem mengatakan bahwa perjuangan masih dalam proses dan belum sesuai dengan harapan Wali. Kita tidak tahu, apa reaksi Wali ketika mendengar jawaban itu, karena Mualem tak menceritakannya.
Selanjutnya, cerita Mualem, Wali menanyakan apakah Karim di Tiro (putra semata wayangnya) pernah pulang ke Aceh? “Lon jaweub golom Wali, karena mak gobnyan saket,” kata Mualem. Mendengar itu, seperti saya baca di facebook, sebagian besar tokoh yang hadir berlinang air mata, di antaranya Abu Razak.
Di akhir mimpinya itu, kata Mualem, Hasan Tiro meminta agar mereka sering mengunjungi dirinya. “Wali neu wasiet yue saweu droe. Seweub gobnyan hanjeut geusaweue geutanyoe le,” kata Muelam dengan linangan air mata.
Percaya atau tidak, saat menulis kembali kisah ini, saya sudah memaksakan diri untuk menangis, tapi air mata tak kunjung keluar. Sekali pun tak kenal dekat Hasan Tiro, kecuali melalui buku yang ditulisnya, saya merasa ikut tersindir. Belum sekali pun saya berkunjung ke makamnya di Meureu, tempat di mana saya pernah menghabiskan banyak malam di sana.
Ketika pertama kali membaca cerita mimpi Mualem itu, pikiran saya langsung melayang pada sosok Eugene Ionesco. Dari namanya, dia jelas bukan orang Aceh. Eugene Ionesco lahir di Rumania tahun 1912, dari seorang ibu berkebangsaan Perancis. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di Perancis dan Inggris. Dia dikenal sebagai penulis drama dan pelukis yang sangat disegani, tergabung dalam kelompok “the theatre of absurd”. Drama pertama yang ditulisnya di tahun 1950 berjudul La Cantatrice Chauve (The Bald Soprano) membuatnya terkenal.
Kalian pasti bertanya-tanya (dalam hati), kenapa saya membandingkan Muzakkir Manaf dengan Eugene Ionesco, kan? Apa yang membuat kedua orang ini terasa dekat? Ya, titik-temu keduanya ada pada mimpi. Hanya, bedanya, Ionesco menuliskan setiap mimpi-mimpinya menjadi drama, cerita pendek atau membuat lukisan, sementara Mualem tidak. Mualem memilih menceritakan mimpi-mimpinya, entah untuk kepentingan apa, kita tak pernah tahu.
Bagi Ionesco, mimpi adalah drama! Katanya, “bila kita bermimpi, kita selalu menjadi tokoh, menjadi sebuah karakter.” Dalam setiap mimpi, kita kadang menjadi orang lain, menjadi aktor, penonton atau sosok hebat yang bisa terbang. “Tapi, mimpi lebih mendalam ketimbang apa yang kita sebut realitas,” katanya.
Hebatnya, dari bermimpi, Ionesco sukses menghasilkan beberapa karya drama seperti The Killer, Journeys among the Dead atau The Bald Soprano. Bahkan, drama Amandee merupakan mimpinya tentang mayat di sebuah lorong besar dan gelap di apartemen tempatnya tinggal. Saya membayangkan saja sudah ngeri, dan pasti tak berani lagi tinggal di situ kalau sempat mengalami mimpi buruk begitu.
Saya membayangkan, Mualem akan menjadi penulis drama atau cerita pendek yang hebat sekiranya mampu memperlakukan mimpi seperti dilakukan Eugene Ionesco. Pasalnya, Mualem punya kemampuan mendongeng yang mumpuni. Buktinya, Abu Razak dan peserta rapat Partai Aceh sampai terisak-isak mendengar cerita mimpinya. Atas alasan itulah, saya jadi berandai-andai, sekiranya Mualem berjumpa dengan Eugene Ionesco, pasti hasilnya lebih luar biasa lagi. Namun, saya sadar, itu sebuah harapan yang mustahil!
Ide cerita ini, untuk kalian tahu, berawal saat membaca sebuah postingan di jejaring facebook tentang cerita Mualem, sapaan akrab Muzakkir Manaf, yang bermimpi ketemu Teungku Muhammad Hasan di Tiro, deklarator Aceh Merdeka. Sialnya, ketika menulis cerita ini, saya tak tahu lagi di mana harus baca postingan tersebut. Bagi saya, cerita itu menarik, tak hanya karena melibatkan dua sosok paling dikenal di Aceh, Hasan Tiro dan Muzakkir Manaf, melainkan juga terkait soal mimpi.
Ya, ketertarikan saya memang pada hal-ihwal mimpi. Bukan sembarang mimpi, loh. Ini mimpi Muzakkir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menduduki kursi Wakil Gubernur Aceh. Apa istimewanya mimpi sosok yang kerap disapa Mualem itu? Bukannya, semua mimpi sama saja, hanya konstruksi alam bawah sadar yang ketika terbagun jadi lupa-lupa ingat!
Muzakkir Manaf | foto fb rakan mualem |
Tapi, kita patut berbangga, karena Mualem hadir menyelamatkan kita semua justru di saat yang tepat. Lewat Mualem, Hasan Tiro ‘membangunkan’ kita dari lena panjang dan perilaku ‘si puntong ban meurumpok jaroe’. Pasalnya, masing-masing kita sudah larut dalam godaan kekuasaan, buah dari perjuangan panjang dan melelahkan, sekaligus perjuangan yang tak selesai itu. Dan, Wali menyindir kita semua melalui mimpi Mualem. Mimpi yang terlalu penting untuk dilewatkan.
Dalam rapat koordinasi DPA Partai Aceh, Jumat, 7 Agustus 2015 pagi, Mualem membeberkan kisah mimpinya itu. “Nyoe jeut neupateh jeut han, lon beuklam meulumpoe meureumpok ngon Wali (Ini bisa dipercaya atau tidak, semalam saya bermimpi ketemu wali),” kata Mualem.
Dalam mimpinya, Hasan Tiro bertanya, “Oh na ka perjuangan?” sama Mualem. Ingat, hanya kepada Mualem, bukan kepada dr Zaini Abdullah, Malek Mahmud atau Zakaria Saman. Boleh jadi, Wali tak pernah hadir dalam mimpi-mimpi mereka. Alasannya, bisa macam-macam.
Jangan lupa, seseorang akan hadir dalam mimpi-mimpi kita kalau kita sering memikirkannya, dan hal itu akan terbawa ke alam mimpi. Tapi, saya tak berani mengatakan, bahwa selain Mualem, orang-orang tua kita itu tak pernah memikirkan Wali. Saya tak bernyali menduga-duga.
Lalu, apa jawab Mualem mendengar pertanyaan yang sangat menohok itu? Sembari meminta maaf sama Wali, Mualem mengatakan bahwa perjuangan masih dalam proses dan belum sesuai dengan harapan Wali. Kita tidak tahu, apa reaksi Wali ketika mendengar jawaban itu, karena Mualem tak menceritakannya.
Selanjutnya, cerita Mualem, Wali menanyakan apakah Karim di Tiro (putra semata wayangnya) pernah pulang ke Aceh? “Lon jaweub golom Wali, karena mak gobnyan saket,” kata Mualem. Mendengar itu, seperti saya baca di facebook, sebagian besar tokoh yang hadir berlinang air mata, di antaranya Abu Razak.
Di akhir mimpinya itu, kata Mualem, Hasan Tiro meminta agar mereka sering mengunjungi dirinya. “Wali neu wasiet yue saweu droe. Seweub gobnyan hanjeut geusaweue geutanyoe le,” kata Muelam dengan linangan air mata.
Percaya atau tidak, saat menulis kembali kisah ini, saya sudah memaksakan diri untuk menangis, tapi air mata tak kunjung keluar. Sekali pun tak kenal dekat Hasan Tiro, kecuali melalui buku yang ditulisnya, saya merasa ikut tersindir. Belum sekali pun saya berkunjung ke makamnya di Meureu, tempat di mana saya pernah menghabiskan banyak malam di sana.
Ketika pertama kali membaca cerita mimpi Mualem itu, pikiran saya langsung melayang pada sosok Eugene Ionesco. Dari namanya, dia jelas bukan orang Aceh. Eugene Ionesco lahir di Rumania tahun 1912, dari seorang ibu berkebangsaan Perancis. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di Perancis dan Inggris. Dia dikenal sebagai penulis drama dan pelukis yang sangat disegani, tergabung dalam kelompok “the theatre of absurd”. Drama pertama yang ditulisnya di tahun 1950 berjudul La Cantatrice Chauve (The Bald Soprano) membuatnya terkenal.
Kalian pasti bertanya-tanya (dalam hati), kenapa saya membandingkan Muzakkir Manaf dengan Eugene Ionesco, kan? Apa yang membuat kedua orang ini terasa dekat? Ya, titik-temu keduanya ada pada mimpi. Hanya, bedanya, Ionesco menuliskan setiap mimpi-mimpinya menjadi drama, cerita pendek atau membuat lukisan, sementara Mualem tidak. Mualem memilih menceritakan mimpi-mimpinya, entah untuk kepentingan apa, kita tak pernah tahu.
Bagi Ionesco, mimpi adalah drama! Katanya, “bila kita bermimpi, kita selalu menjadi tokoh, menjadi sebuah karakter.” Dalam setiap mimpi, kita kadang menjadi orang lain, menjadi aktor, penonton atau sosok hebat yang bisa terbang. “Tapi, mimpi lebih mendalam ketimbang apa yang kita sebut realitas,” katanya.
Hebatnya, dari bermimpi, Ionesco sukses menghasilkan beberapa karya drama seperti The Killer, Journeys among the Dead atau The Bald Soprano. Bahkan, drama Amandee merupakan mimpinya tentang mayat di sebuah lorong besar dan gelap di apartemen tempatnya tinggal. Saya membayangkan saja sudah ngeri, dan pasti tak berani lagi tinggal di situ kalau sempat mengalami mimpi buruk begitu.
Saya membayangkan, Mualem akan menjadi penulis drama atau cerita pendek yang hebat sekiranya mampu memperlakukan mimpi seperti dilakukan Eugene Ionesco. Pasalnya, Mualem punya kemampuan mendongeng yang mumpuni. Buktinya, Abu Razak dan peserta rapat Partai Aceh sampai terisak-isak mendengar cerita mimpinya. Atas alasan itulah, saya jadi berandai-andai, sekiranya Mualem berjumpa dengan Eugene Ionesco, pasti hasilnya lebih luar biasa lagi. Namun, saya sadar, itu sebuah harapan yang mustahil!
Tags:
Essay