Belajar dari Kasus Singkil

Ketenangan dan kerukunan antar-masyarakat di Singkil tiba-tiba terkoyak. Satu unit rumah ibadah (gereja) umat Nasrani di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Singkil dibakar massa pada 13 Oktober lalu. Satu orang tewas dan empat lainnya luka-luka.  

Kasus Singkil itu segera menyita perhatian media lokal, nasional dan internasional. Alhasil, Aceh berada dalam posisi tersudut: Aceh dianggap tidak toleran terhadap kaum minoritas. Pendapat ini lebih banyak diwakili oleh kalangan yang melihat Aceh hanya dari pemberitaan di media.

Di media sosial, kasus pembakaran gereja itu menyebar cepat, dan memunculkan respon beragam. Ada pihak (terutama publik luar Aceh) mengaitkan kasus pembakaran gereja itu dengan posisi Aceh sebagai wilayah penerapan Syariat Islam. Kutub debat pun lalu diarahkan dengan menyalahkan hukum Syariat Islam sebagai pemicu masalah di Singkil dan di Aceh pada umumnya.

Padahal, mengaitkan kasus Singkil dengan Syariat Islam Aceh sama sekali tidak memiliki relevansi. Apa yang terjadi di Singkil, saya kira, sebuah gumpalan gunung es dari dari persoalan besar di negeri ini: tidak tegasnya aturan pendirian rumah ibadah. Kasus Singkil membuka mata kita, bahwa ada problem besar yang perlu segera diselesaikan. Jika tidak, kasus serupa akan terus terulang dan menjalar.

***
Jika didalami, kasus Singkil sebenarnya sangat sederhana: soal interaksi dan komunikasi. Bagaimana cara kelompok minoritas membawa diri di satu sisi, dan kewajiban kelompok mayoritas melindungi minoritas di sisi yang lain. Ketika dua hal ini macet pasti muncul persoalan. Hal serupa bisa juga dilacak dalam kasus pembakaran masjid di Karabuga, Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015 silam. Kasus ini terjadi karena kelompok minoritas gagal membawa diri di tengah kelompok mayoritas.  

Dalam kedua kasus itu, kita perlu belajar dari kearifan lokal masyarakat Aceh. Di luar pemerintahan resmi, Aceh memiliki satuan pemerintahan lokal atau wilayah adat terkecil  (gampong), yang berada di bawah Mukim. Gampong (Bahasa Indonesia: kampung atau desa) merupakan bagian dari masa lalu Aceh, sebagai modal sosial dalam membangun Aceh secara lebih luas.

Keberadaan Gampong dan Mukim itu diatur dalam Undang-undang dan diakui secara resmi oleh pemerintah. Ciri-ciri yang melekat pada sebuah Gampong adalah keberadaan sebuah Meunasah (surau), sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan (terutama Salat lima waktu). Pendirian Meunasah diatur dengan kebijaksanaan perangkat Gampong dan kearifan lokal yang berlaku di tempat itu. Peraturan tak tertulis itu dipegang cukup ketat.

Jadi, jika ada sebagian anggota masyarakat hendak membangun Meunasah baru di gampong tersebut, tak boleh dilakukan secara sembarangan. Selain harus melalui persetujuan anggota dan petua Gampong (perangkat desa), juga ada faktor lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, keberadaan meunasah yang cukup jauh bagi sebagian masyarakat dan tak muat lagi menampung jamaah salat.

Begitu juga yang berlaku di sebuah Mukim, sebuah persekutuan atau federasi beberapa gampong (minimal tiga gampong) yang dipimpin oleh Imum Mukim. Di masa Orde Baru, keberadaan Mukim sempat dibonsai dan ditiadakan, tapi di beberapa daerah masyarakat masih mempertahankan strukturnya. Sebagai sebuah pemerintahan adat, Mukim (dan juga gampong) punya kuasa penuh atas wilayahnya, dan menerapkan aturan tersendiri yang wajib dipatuhi oleh siapa pun. Salah satu ciri yang melekat dari sebuah Mukim adalah keberadaan sebuah Masjid Jamik sebagai tempat melaksanakan Salat Jumat.

Di beberapa Kabupaten di Aceh, Mukim-mukim masih mempertahankan tradisi Salat Jumat di Masjid Jamik demi menjaga kohesi sosial dan persatuan masyarakat. Tak ada gampong di dalam Mukim itu yang berencana membangun Masjid sendiri, karena dianggap tak kompak. Pun demikian, bukan tidak ada dalam satu Mukim berdiri lebih dari satu masjid. Di Mane, Pidie, misalnya. Kecamatan yang memiliki empat Gampong dan satu Mukim tersebut punya 8 masjid dan 24 meunasah. Ini dimungkinkan setelah mempertimbangkan faktor geografis (letak satu kampung dengan kampung lain berjauhan) dan ukuran masjid yang tak lagi mampu menampung jamaah.

Penting dipahami di sini adalah, di Aceh, di luar pemerintahan resmi ada struktur pemerintahan adat yang memiliki kuasa penuh atas wilayahnya. Keberadaan lembaga adat ini tak boleh dinafikan, terutama dalam hal apapun yang melibatkan masyarakat gampong dan mukim. Mereka kadang-kadang memiliki aturan tersendiri yang harus dipatahui siapa pun di dalam wilayah itu. Publik luar Aceh kadang-kadang jarang memahami hal ini, dan cenderung mengabaikannya.

***
Sesaat setelah kasus Singkil meledak, pernyataan yang muncul di media massa dan media sosial, nyaris seragam. Sepanjang yang saya amati, kata kuncinya adalah ‘intoleransi’. Umat Islam Aceh dianggap tidak toleran serta tak melindungi kaum minoritas. Sebagian menyalahkan Syariat Islam yang diterapkan di Aceh, tak lupa dibumbuhi dengan sejumlah kebijakan kontrovesi yang pernah muncul di Aceh.

Ada ungkapan yang hidup di masyarakat Aceh yaitu peumulia Jamee adat geutanyoe (memuliakan tamu adalah adat orang kita). Adat memuliakan tamu itu sudah dipegang secara turun-temurun. Siapa pun yang datang ke Aceh diterima dengan lapang dada. Lihat saja dalam acara penyambutan tamu, orang Aceh sering menyuguhkan tari Ranup Lampuan yang diikuti penyajian ranub (tradisi makan sirih) kepada tamu yang datang. Pemberian ranub sebagai simbol penghormatan dan penerimaan sebagai saudara.

Simbol pemberian ranub atau sirih itu punya makna filosofi yang mendalam. Pertama, sirih memiliki rasa yang pedas. Ini semacam pesan halus kepada sang tamu agar berhati-hati dalam berbicara. Sebab, kata-kata orang Aceh (tuan rumah) bisa lebih pedas dari rasa sirih.

Kedua, sirih kalau dikunyah akan mengeluarkan warna merah. Secara simbolik, ini pesan kepada tamu untuk berbicara secara jelas, tidak bertele-tele dan tidak ambigu. Dia harus bicara sejelas warna merah di bibir dan mulut mereka saat mengunyah sirih.

Selama tamu menghormati adat dan budaya masyarakat Aceh, mereka akan diterima dengan baik dan bahkan dianggap saudara. Jarang muncul konflik. Keliru kalau ada anggapan orang Islam di Aceh tidak toleran. Kasus pembakaran gereja di Singkil tak dapat dijadikan justifikasi.

Sepanjang ingatan saya, saat Aceh masih dibalut konflik hampir tak ada kasus pembakaran gereja, vihara dan rumah ibadah pemeluk agama lain. Kasus pembakaran gereka di Singkil benar-benar kejadian langka. Aparat keamanan perlu mengungkap aktor intelektual dan provokator yang memicu retaknya kohesi sosial masyarakat di Singkil yang dikenal sangat majemuk dan heterogen.

Banyak pihak tak senang dengan perdamaian Aceh yang sudah lebih 10 tahun. Upaya-upaya menggiring Aceh kembali ke masa konflik terus diupayakan. Caranya macam-macam, seperti mengadu domba antara masyarakat Aceh pesisir dengan masyarakat dataran tinggi, meniupkan isu terorisme, pertentangan Sunni dengan Syiah dan Wahabi hingga yang terakhir, pembakaran gereja.

Apa yang terjadi di Singkil mudah-mudahan tidak sampai merusak nilai-nilai keberagaman di masyarakat. Tidak ada sentimen anti-Islam atau anti-Kristen di Singkil. Mari merajut kembali benang persaudaraan. Selalu bangun interaksi sosial dan komunikasi dalam menyelesaikan setiap persoalan.

Di atas segalanya, apa yang terjadi di Singkil dan Tolikara menjadi catatan berharga untuk bangsa ini. Ada pekerjaan rumah yang perlu segera dituntaskan, terutama bagaimana menjaga nilai-nilai keberagaman sebagai modal sosial. Jika tidak, semangat pendiri bangsa yang merangkul semua kelompok saat mendirikan negara ini menjadi sia-sia sana. 

[Sudah dimuat di Majalah Sindoweekly, 4 November 2015]

Post a Comment

Previous Post Next Post