Kamis (3/8/2017) sore, penulis novel Kura-kura Berjanggut, Azhari Aiyub sedang ngopi bersama Reza Idria dan Muhajir Pemulung di Cek Yuke, sebuah warung kopi di pinggiran Krueng Aceh, Banda Aceh. Azhari sengaja memilih warung kopi yang tak jauh dari Masjid Raya itu sebagai tempatnya nongkrong sekaligus lokasi untuk menulis. Dia merasa nyaman dengan suasananya.
Dia selalu memilih duduk di kursi yang berada di bagian depan. "Di sini kita bisa melihat markas Kodam lebih jelas," katanya saat saya tanya mengapa memilih duduk di luar. Saya tak yakin dia bermaksud serius dengan jawabannya, dan hal itulah yang membuat saya tidak percaya. Selepas itu, kami tertawa lepas.
Dia selalu memilih duduk di kursi yang berada di bagian depan. "Di sini kita bisa melihat markas Kodam lebih jelas," katanya saat saya tanya mengapa memilih duduk di luar. Saya tak yakin dia bermaksud serius dengan jawabannya, dan hal itulah yang membuat saya tidak percaya. Selepas itu, kami tertawa lepas.
Di jagat kepenulisan Aceh (mungkin juga Indonesia), nama Azhari menjadi garansi jika bicara soal mutu dan kualitas sebuah karya. Dia menekuni bidang ini sejak masih belia. Ketika cerpen pertamanya, Karnaval, dimuat di koran lokal, dia masih duduk di kelas 1 SMU. Itu terjadi tahun 1998, ketika kekuasaan Orde Baru menuju senja kala. Saat itu, dia memang sedang intens berhubungan dengan para seniman yang berhimpun di Dewan Kesenian Aceh (DKA), sebuah lembaga yang kini ingin dijauhinya.
Azhari ikut merasakan gemuruh reformasi, ketika ia terlibat dalam demo melawan Soeharto di Aceh. Dia masih berbaju sekolah menengah atas kala itu. Namun, tak seperti anak muda Aceh lainnya memilih jalan perang, Azhari lebih memilih cara berjuang yang lebih elegan. Pena lebih dia pilih tinimbang memanggul senjata. "Aku ingin menyumpal mulut senapan dengan puisi," kata lelaki kelahiran Lamjame, Banda Aceh pada 5 Oktober 1981, seperti ditulis oleh koran Kompas, tahun 2006 silam.
Saya pertama kali bertemu Azhari di warung Bulungan, Jakarta Selatan tahun 2004. Saya hadir saat peluncuran buku kumpulan cerpennya, Perempuan Pala. Ketika itu saya tidak tahu apa-apa tentang sosok Azhari, dan hanya sekilas saja mendengar kisahnya dari seorang teman.
Di acara itu, terus terang, saya tidak begitu antusias menyimak saat bukunya dibedah, melainkan lebih tertarik pada seorang seniman Aceh, Fauzan Santa, membaca cerpen Pedagang Kacang dari Berenun (Beureuneuen, pen) Ramsat Rangkuti serta bertemu teman-teman Aceh lainnya. Lalu, seorang kawan berseru, "Penulis Perempuan Pala lagi sendiri, suruh teken bukunya," sementara saya masih asyik melihat gaya Fauzan Santa membaca cerpen. "Azhari akan jadi penulis hebat, dan tekenan di bukumu akan bersejarah," sambung kawan saya lagi.
Saya pun bergegas, dan dengan sedikit canggung menyedorkan buku yang baru saya beli untuk diteken oleh Azhari. Hingga tiba di kost tengah malam, saya tidak tahu apa-apa tentang Azhari. Saya termasuk telat mengenalnya, dan itu baru terjadi sekitar tahun 2006. Ya, tahun 2006.
Sedikit-demi-sedikit saya mengenalnya, bahkan kami menjadi akrab hingga sekarang. Saya bisa menerima alasannya tidak mengunjungi Museum Tsunami untuk alasan yang sangat personal (dan masuk akal). Tsunami pada 26 Desember 2004 merenggut bapak dan ibunya, serta adiknya Wardiati (22).
Kompas menulis cerita Azhari ini sedikit dramatis, "... Dia tiba di Banda Aceh, tetapi hanya menemukan cangkul bapak dan selembar kain ibu di antara puing rumahnya yang telah hancur..." Azhari tidak bisa menerima alasan bahwa pembangunan museum tsunami yang menghabiskan banyak dana itu lebih penting tinimbang membereskan masalah rumah untuk korban tsunami. Dia pun kecewa dengan klaim keberhasilan program rehab-rekon ketika soal rumah untuk korban tsunami tak kunjung usai. Bahkan hingga kini ada korban yang sama sekali tidak mendapatkan rumah.
Belakangan ini saban sore saya ngopi dengannya, dan kadang-kadang duduk persis di sampingnya sementara dia asyik merampungkan novelnya, Kura-kura Berjenggot, yang sudah mulai ditulisnya sejak 2006. "Novel ini sudah 10 tahun tidak selesai-selesai," katanya. Saya pikir, dia tidak main-main menggarap novel yang sebagian fragmen-nya sudah dimuat di media, terutama Koran Tempo. Awalnya dia mengaku tidak memiliki gambaran dan bagaimana bentuk novelnya, "tapi plot-nya sudah ada di kepala saya," lanjutnya.
Cukup lama draf novel itu dia simpan di hard-disk, dan tidak dipegangnya sama sekali. Bahkan pernah selama dua tahun sama sekali tidak dijamahnya. Hal ini dilakukannya ketika pikirannya sedang buntu atau lagi sibuk dengan pekerjaannya sebagai Direktur Tikar Pandan. Kadang-kadang untuk menulis sebuah adegan dalam novelnya mengenai dunia perompak, dia membenamkan dirinya bermain game tentang perompak di Facebook. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan bermain game ini hingga lupa untuk merampungkan novelnya.
Dua tahun belakangan ini dia mulai benar-benar serius merampungkan novelnya itu. Saya sering melihatnya menulis di warung kopi Cek Yuke, membaca draf yang sudah ditulis sebelumnnya atau mengembangkan cerita yang idenya sudah diberi tanda dengan warna berbeda-beda. Hal itu saya tahu karena sering-kali mengintip ke layar notebook Appel miliknya, dan sering pula saya ikut membacanya. Setiap kali dia mau menulis beberapa kalimat, matanya seringkali menyapu ke sana kemari sementara mulutnya komat-kamit persis seperti orang lagi baca mantra. Ketika saya memperhatikannya agak lama, dia pasti menyodorkan tangan yang kedua jarinya saling mengaitkan dan saya memasukkan jari saya di antara celah itu, lalu kami tertawa lepas.
Dia sudah sering memberitahu saya bahwa novelnya akan terbit tahun ini. Draftnya pun sudah dia kirimkan ke penerbit. Dia mengaku proses penerbitan novelnya sedikit lama dari yang diharapkannya. Pasalnya, dia seringkali tidak puas dengan apa yang sudah ditulisnya, dan kemudian terpaksa membongkarnya lagi. Apalagi, jika tokoh dalam novelnya bertemu dengan tokoh baru lagi, dia harus menulis lebih panjang lagi, dan itu bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. "Yang paling capek itu ketika tokoh yang sudah ada bertemu dengan tokoh baru," jelasnya. "Saya pun harus menceritakannya agar ceritanya terus berkait," lanjutnya.
Saya sangat yakin novelnya akan menjadi sebuah karya yang hebat, bukan hanya karena dia menggarapnya lebih 10 tahun melainkan dia benar-benar melakukan riset untuk novelnya itu. Benar seperti kata kawan saya, bahwa Azhari akan menjadi penulis hebat dan berpengaruh di Aceh. Penerima Free World Award dari Poets of All Nation (PAN) Belanda tahun 2005 itu pantas mendapatkan reputasi demikian. []
NOTE: Novel KURA-KURA BERJANGGUT sudah terbit pada Mei 2018. Silakan berburu di toko-toko buku kesayangan Anda.
Tags:
buku