Sebuah Pengantar untuk Buku Mbong



Terus terang saya kaget ketika bapak Sulaiman Tripa menyodorkan draf buku Mbong, buku kompilasi tulisan kolomnya di Harian Aceh dan meminta saya menulis kata pengantar. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, saya merasa bukan orang yang layak memberikan pengantar untuk buku ini. Rasa minder segera menyeruak dalam diri saya. Siapa pun tahu reputasi dan jam terbang Sulaiman Tripa dalam jagat literasi di Aceh.

Kedua, saya tidak menduga artikel-artikelnya yang pernah menghiasi rubrik dan kolom analisis Harian Aceh kemudian dikodifikasi dalam bentuk buku. Jarang sekali ada penulis yang menyimpan begitu rapi buah pemikiran dalam bentuk tulisan, dan kemudian menggubah tulisan-tulisan yang berserak tersebut menjadi buku seperti judul yang kini ada di hadapan sidang pembaca. Seingat saya, penulis lain yang sudah menerbitkan buku dari tulisan-tulisannya di Harian Aceh adalah Affan Ramli, yang berjudul Merajam Dalil Syariat.

Meski pada awalnya sempat kaget saat draf buku Mbong disodorkan, tapi kemudian ada perasaan gembira yang muncul seketika. Soalnya, di kala Harian Aceh sudah berhenti terbit, tiba-tiba ada 'mantan' penulis kolom membangkitkan ingatan saya tentang koran yang pernah mewarnai dunia penerbitan di Aceh itu. Sebagai orang yang pernah bekerja lebih tiga tahun di Harian Aceh, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya tidak bahagia dengan hadirnya buku ini.

Membaca draf buku Mbong, ingatan saya langsung tertuju pada kolom analisis Harian Aceh. Saya ingat, tujuan awal kita menggagas kolom analisis adalah untuk memberi ruang kepada penulis spesialis bidang keilmuan tertentu membagikan pengetahuannya kepada pembaca Harian Aceh. Setiap hari, secara rutin, hadir tulisan dari penulis berbeda mengisi kolom yang letaknya di bagian kanan bawah.

Untuk menghadirkan rubrik analisis, kita berkomunikasi dengan sejumlah penulis untuk bersedia menulis dan mengisi kolom tersebut. Di antaranya (untuk menyebut beberapa nama) ada nama Fahmi Yunus, Affan Ramli, Teuku Kemal Fasya, Sulaiman Tripa dan perwakilan dari Komunitas Tikar Pandan. Namun, tidak semua penulis memiliki waktu dan kesempatan untuk mengisi kolom yang kami maksudkan sebagai universitas-nya Harian Aceh.

Dari banyak rubrik yang hadir ketika itu, seperti Fokus, Catatan Sepakbola dan Tamaddun, kolom analisis termasuk rubrik istimewa. Kami menempatkannya di halaman depan dengan bentuk tata-letak (layout) yang menarik. Keberadaannya yang mudah terlihat, kami maksudkan untuk menggoda pembaca. Memajang foto penulis di samping judul tulisan juga penting mengajak pembaca melahap tulisan tersebut hingga tuntas.

Sebagai bentuk penghargaan, kami memberikan byline kepada para penulis kolom analisis Harian Aceh. Seperti kita tahu, byline adalah sebuah kata dari bahasa Inggris, by (oleh) dan line (garis) yang merujuk pada sebuah baris dekat judul cerita di mana ada nama orang yang menulis cerita tersebut di sana. Kami memberikan byline agar orang-orang tahu siapa penulis kolom tersebut, dan juga biar orang-orang mengetahui bahwa opini/pendapat tersebut bukan berasal dari institusi Harian Aceh.

Tidak semua orang mendapatkan previlese menulis kolom analisis Harian Aceh, karena biasanya kami menghubungi mereka secara khusus. Kami peduli pada sudut pandang dan perspektif yang dimiliki oleh para penulis ketika membahas sebuah persoalan, dan biasanya sudut pandang mereka lebih autentik dan segar. Jadi, byline itu kami berikan bukan cuma sebagai akuntabilitas melainkan "hadiah" bagi para penulis, yang sudah berbagi sudut pandang baru dengan pembaca. Bahkan sekalipun isinya tidak mencerminkan pendapat institusi Harian Aceh.

**
Membaca 38 tulisan Sulaiman Tripa di dalam buku ini seperti mengafirmasi bahwa kolom analisis sebagai universitas-nya Harian Aceh, seperti tujuan awal rubrik itu digagas. Latar-belakang sang penulis sebagai orang yang mendalami ilmu hukum tidak lantas membuatnya kaku ketika membahas sebuah persoalan, soal hukum maupun di luar soal hukum. Ia sama sekali tidak terjebak untuk mengutip banyak pasal dan ayat, bahkan ketika sebenarnya ia sedang membahas hukum.

Sebagai seorang akademisi, pun tidak membuatnya larut menggunakan pendekatan ilmiah ketika mengupas sebuah persoalan. Menariknya, ia justru enjoy membahasnya dari sudut pandang orang biasa, bahkan ketika membicarakan sebuah masalah serius. Soal ini misalnya dengan gamblang bisa kita baca dalam tulisannya Korupsi Berjamaah dari Sabang sampai Meurauke atau Gurihnya Parkir. Atau baca juga tulisan Kasta Penjara, ketika ia membahas soal fasilitas yang dinikmati para koruptor. Ia menemukan banyak sekali ironi: orang bersalah pun masih disanjung-sanjung di republik ini.
Pun begitu, tidak gampang bagi kita menarik kesimpulan di mana posisi Sulaiman Tripa setelah membaca 38 tulisan di dalam buku ini. Ia secara cerdas mampu menempatkan dirinya dari objek yang ditulis. Terlihat secara jelas bahwa ia tidak menulis demi membela kepentingan dirinya (untuk diakui oleh publik) apalagi kepentingan sebuah kelompok. Cukup cerdas ia menjaga diri dan hanya menulis untuk membela kepentingan soal saja.

Pada akhirnya, dari tulisan-tulisannya, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa sebagai penulis, Sulaiman Tripa berhasil melepaskan dirinya dari terjerat kepentingan segelintir/sekelompok orang. Boleh jadi, ia cukup sadar bahwa terlalu berat dan berisiko bertindak sebagai juru bicara sekelompok orang. Pun, dalam batas-batas tertentu, mungkin ia berhasil memerankan dirinya sebagai juru bicara (dalam beberapa hal) zamannya.

Kemampuan tersebut tentu saja tidak akan muncul dari penulis yang masih hijau. Di jagat ke-penulis-an Aceh, tidak akan ada orang yang berani meragukan kapasitas dan sepak terjang seorang Sulaiman Tripa, dan karena itulah saya sungguh merasa tak layak menulis pengantar untuk bukunya. Kalau pun pada akhirnya saya memberanikan diri, itu lebih karena faktor terkejut dan kaget saja.
Sebagai kata penutup, saya tidak akan mengganggu rasa ingin tahu pembaca dengan membahas topik di dalam buku ini satu persatu. Biarlah para pembaca dengan sikap 'mbong-nya' menyelami sendiri isi buku ini. Saya percaya, sekali mereka sudah menceburkan diri, maka mereka akan terus tenggelam di dalamnya. Begitulah cara Sulaiman Tripa menggoda kita. []
Previous Post Next Post