Korupsi di Serambi Mekkah

Pada Agustus 2002 lalu, saya berkesempatan mengunjung Banjarmasin, Kalimantan Selatan mengikuti Diklat Jurnalis Kampus se-Indonesia yang dibuat oleh IAIN Antasari. Seperti diketahui, Banjar adalah nama sebuah kerajaan Islam yang cukup terkenal di Nusantara pada abad ke-17, sekarang dikenal dengan Banjarmasin. Selesai Diklat, saya menyempatkan diri berbelanja di Pasar tradisional Martapura, yang di sana dikenal sebagai pusat Islam di Kalimantan. Mereka menyebutnya Serambi Mekkah.

Pasarnya berbentuk Mesjid dan sangat indah dengan berbagai lukisan kaligrafi. Jika pertama kali melihatnya, pasti orang akan menduga sudah memasuki kawasan mesjid. Tetapi itu bukan mesjid. Benar-benar pasar. Di sebuah toko, saya berbincang-bincang dengan seorang penjaga toko yang menjual barang-barang antik khas Kalimantan. Dia bercerita tentang kota Martapura yang dikenal sebagai pusat Islam di Kalimantan Selatan. Kota Martapura oleh masyarakat di sana disebut sebagai kota Serambi Mekkah. Saya yang dari Aceh sangat terkejut mendengarnya. Saya mengatakan padanya bahwa di Nusantara yang disebut Serambi Mekkah itu hanya Aceh. Sebutan Serambi Mekkah di Aceh bukan sebutan biasa tapi sangat kental dengan peran Aceh di masa lalu. Aceh pernah menjadi pangkalan untuk keberangkatan jamaah ke tanah suci. Aceh juga dikenal sebagai daerah yang pertama menerima agama Islam di Nusantara dan kemudian menyebarkannya ke seluruh Nusantara.

Saya sempat berdebat lama sekali dengan dia. Saya menjelaskan kepadanya alasan-alasan historis kenapa Aceh disebut Serambi Mekah. Termasuk juga pemberian gelar daerah Istimewa kepada Aceh yang meliputi bidang Agama, Adat dan Pendidikan. Walaupun begitu, dia tetap yakin bahwa Serambi Mekkah hanyalah Martapura.

Saya tidak begitu peduli, karena dalam hati saya, Aceh tetaplah Serambi Mekkah. Sebutan Serambi Mekkah tidak akan hilang walau ada beberapa orang dari daerah lain meragukannya, begitu pikirku saat itu.

Tetapi akhir-akhir ini saya semakin ragu dengan sebutan Serambi Mekkah untuk Aceh. Tidak seperti ketika saya menjelaskannya kepada seorang penjual di pasar Martapura, saya ragu karena akhir-akhir ini sebutan Serambi Mekkah kepada Aceh hanya untuk menyenangkan orang Aceh saja serta hanya sebutan simbolik dan sama sekali tidak memiliki bobot dalam aktualisasi atau dalam kenyataan sehari-hari.

Dulu saya mendengar dari orang-orang tua, kalau orang Aceh pergi ke luar daerah pasti diminta menjadi imam salat dan khatib Jumat pada hari Jumat. Orang Aceh sangat dihormati karena sangat kental dan memegang teguh ajaran Islam. Daerah Aceh dikenal oleh seluruh wilayah Nusantara sebagai daerah yang mempraktikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan adatnya dikenal sangat Islami. Tak akan pernah kita mendengar sebelumnya ada daerah yang berani menyebut diri Serambi Mekkah kecuali Aceh. Jika pun ada pasti hanya sebagai Serambi Mekkah kedua setelah Aceh seperti wilayah Pandeglang atau lain-lain.

Ketika saya masih sekolah di Pesantren Modern Terpadu “Al Furqan” Bambi, kebetulan banyak ustadz atau guru yang berasal dari Pesantren Gontor Ponorogo dan pesantren lain di Jawa untuk mengajari bahasa Arab dan Inggris. Mereka tertarik dan tertantang datang ke Aceh untuk melihat langsung daerah yang menurut mereka sangat kental dengan budaya Islamnya. Berkunjung ke Aceh menjadi impian mereka. Tetapi seperti disampaikan kepada kami suatu ketika di dalam kelas, bahwa dia kecewa, karena ternyata Aceh tidak seperti yang pernah dia pikirkan. Kenyataan yang terlihat memberikan pemahaman lain bahwa Aceh hanya dikenal dengan Serambi Mekkah dalam sebutan saja. Tidak lebih.

Kita boleh saja tidak setuju dengan anggapan mereka. Tetapi itulah kenyataan yang harus kita terima. Bahwa sebutan Serambi Mekkah kepada kita harus dikaji ulang. Dengan kenyataan yang tampak sekarang, masih layakkah Aceh menyandang gelar tersebut di masa datang?

Serambi Korupsi
Kita tidak perlu marah jika Aceh sekarang tidak lagi dikenal sebagai Serambi Mekkah, melainkan sebagai Serambi Korupsi. Setidaknya inilah wacana yang berkembang akhir-akhir tentang Aceh. Selain sebagai daerah yang berkonflik, Aceh juga dikenal sebagai serambi korupsi. Sebutan itu Saya baca dalam sebuah berita di koran nasional (Koran Tempo, 24/08) ketika menyoroti kasus korupsi yang terjadi di Aceh, khususnya korupsi yang dilakukan Abdullah Puteh dan temuan Tim Monitoring Terpadu. Mereka menemukan indikasi korupsi 2,7 triliun selama berlangsungnya proyek Darurat Militer di Aceh.

Seperti sudah diketahui, dalam laporan Tim Monitoring itu, hampir semua sektor dan instansi pemerintahan terlibat dalam korupsi berjamaah. Termasuk dalam empat jenis operasi yang dipayungi oleh operasi terpadu, selain korupsi yang melibatkan anggota DPRD Kota Banda Aceh. Semua itu semakin membenarkan asumsi bahwa Aceh tidak layak lagi disebut sebagai Serambi Mekkah.

Di daerah yang sudah dideklarasikan syariat Islam, seharusnya praktik terkutuk itu tidak ditemukan atau terjadi lagi. Tetapi praktik ini yang tumbuh subur. Kondisi daerah yang tidak normal karena masih didera oleh konflik politik ternyata tidak membuat praktik ini dijauhi. Malah kondisi abnormal ini dimanfaatkan untuk melakukan korupsi secara berjamaah.

Kini semua orang jika berbicara masalah korupsi pasti merujuk ke Aceh. Aceh dijadikan contoh untuk menjelaskan praktik korupsi. Bahkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu gencara-gencarnya memeriksa Abdullah Puteh atas dugaan korupsi, isu ini menjadi headline beberapa media nasional. Kondisi Darurat Sipil yang tensi kontak senjata dan jatuhnya korban sipil tidak menarik media untuk memberitakannya. Pihak media lebih tertarik untuk memuat berita tentang korupsi sang Gubernur.

Bahkan saya pernah diberitahu oleh seorang wartawan koran nasional, ketika Puteh diperiksa oleh KPK, para wartawan yang menungguinya untuk wawancara melontarkan kata-kata “maling” kepada Abdullah Puteh karena tidak mau diwawancara. Bukankah ini sudah lebih dari cukup proses demoralisasi dan desakralisasi sebutan Serambi Mekkah. Daerah yang begitu kuat memegang syariat Islam ternyata dipimpin oleh seorang—meminjam istilah sang wartawan tadi--maling.

Dan perilaku sang Gubernur itu diikuti oleh bawahannya dan juga anggota dewan yang terhormat. Korupsi berlangsung sangat sistemik dan melibatkan semua instansi pemerintahan. Yang menyakitkan, bantuan yang seharusnya diperuntukkan bagi korban konflik ternyata masuk ke kantong-kantong mereka. Mereka tidak lagi memiliki sense of crisis. Rakyat dibiarkan bergulat dengan kegetiran hidup sebagai imbas dari konflik, sementara elite mereka justru menikmati kepedihan rakyat dengan limpahan dana yang besar dengan cara mengorupsinya.

Syariat Islam yang seharusnya membuat orang menjadi saleh sosial dan sadar justru menjadi koruptor-koruptor jahannam. Syariat Islam tidak mampu memperbaiki moral elite politik di daerah, melainkan membuat mereka semakin tidak bermoral. Syariat Islam kemudian berubah seperti disindir oleh banyak pihak sebagai syariap, yang membuka peluang untuk mencari kebutuhan perut.

Ironisme Konflik Aceh
Dulu Saya sering bertanya-tanya dalam hati, kenapa pejabat di Aceh sangat kaya-kaya? Mereka membangun rumah besar-besar, punya mobil mewah dan sering berbelanja ke luar daerah (budaya hedonisme dan konsumtif yang berlebihan). Saya berpikir mereka kaya karena pekerjaan atau status sosial lebih tinggi dibanding rakyat kebanyakan, atau karena mereka punya kekayaan warisan orang tua mereka atau karena mereka bekerja giat. Saya juga berpikir, jika ingin kaya maka harus menjadi pejabat. Terbukanya beberapa kasus korupsi sekarang yang melibatkan hampir semua tokoh, elite dan instansi pemerintahan di Aceh membalik keyakinan saya. Mereka kaya karena merampok uang rakyat!

Deklarasi syariat Islam yang sudah berjalan beberapa tahun, tetapi tidak membawa pengaruh apa-apa dalam kehidupan masyarakat. Walaupun Mesjid terus dibangun dan terisi penuh oleh jamaah, banyak orang pergi ke tanah suci, pengajian yang marak, tetapi itu sama sekali tidak memberikan pengaruh pada kesalehan sosial. Kita semakin bertanya-tanya: muslim kok korupsi! Aneh

Yang membuat kita heran justru ketika perayaan hari besar agama, di mana banyak sekali dipasang spanduk di kantor-kantor pemerintahan yang menyatakan siap menjalankan syariat Islam secara kaffah. Tetapi, spanduk-spanduk tersebut sama sekali tak menyinggung bahwa praktik korupsi sebagai perbuatan dosa dan tidak sesuai dengan semangat syariat Islam. Spanduk-spanduk itu kemudian tidak lebih sebagai penampakan kemunafikan mereka dan suatu bentuk pengkhianatan pada kata yang dipertontonkan di muka umum. Ironis memang!

Sekarang pun kita masih disuguhi gairah untuk melanggengkan budaya korup. Misalnya beberapa hari lalu, datang rombongan dari Aceh Singkil betemu DPR yang meminta pemekaran. Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Tidak cukupkah kita belajar dari kondisi hari ini. Bahwa jika pemekaran sampai terjadi, orang-orang yang ambisi dengan kekuasaan akan memegang posisi, dana peluang terjadi korupsi menjadi lebih besar.

Korupsi di satu sisi, selain mendemoralisasikan Aceh sebagai Serambi Mekkah, juga menjadi sebuah ironisme. Aceh yang didera dengan konflik yang parah, di mana kehidupan masyarakat semakin susah masih ada saja orang yang tega menari-nari di atas penderitaan rakyat. Rakyat untuk bekerja saja susah karena kondisi keamanan yang tidak kondusif, tapi elite pejabat dengan seenaknya main korupsi. Inilah bentuk lain ironisme dari konflik Aceh. Moral pejabat kita sudah jatuh di titik nadir.

Bahkan kita bisa mereka-reka, pemberlakuan DM di Aceh tidak luput dari konspirasi elite lokal untuk memuluskan niat mereka melakukan korupsi. Karena dengan kondisi abnormal, semua pihak bisa dengan bebas menjarah uang rakyat tanpa takut ada protes atau perlawanan. Hasil temuan Tim Monitoring seharusnya harus dilihat dalam kontek ini. Dalam suasana DM di mana kebebasan berpendapat tercabut, membuka kran yang besar untuk pejabat melakukan korupsi. Dan terbongkarnya beberapa kasus korupsi dalam beberapa bulan terakhir ini membenarkan asumsi kita ini.

Dan kita menjadi semakin ragu, benarkah Aceh masih Serambi Mekkah? Atau sudah berganti menjadi Serambi Koruptor!!! Hom Hai

--- Tulisan ini sudah dimuat di Serambi Indonesia (tahun 2004)

Post a Comment

Previous Post Next Post