Peta politik Aceh menjelang pilkada benar-benar membingungkan, khususnya bagi para mantan kombatan. Arah politik elite GAM semakin sulit untuk bisa ditebak. Ada yang mendukung Humam-Hasbi (H2O), tak sedikit pula—khususnya arus bawah—mendukung pasangan Irwandi-Nazar (Irna). Anggota GAM di lapangan jelas semakin bimbang.
Perkembangan itu dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang sedang berjalan di Aceh. Meski banyak pihak terlanjur percaya, telah terjadi keretakan di tubuh GAM. Jika demikian adanya politik di internal GAM, bagaimana dengan nasib UU PA sendiri, di mana sejauh ini UU PA tersebut masih dipersoalkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat sipil Aceh?
Hal ini sepertinya menarik untuk disimak; karena di satu sisi GAM sudah terjun ke politik praktis, yang langsung bersinggungan dengan kekuasaan, sementara di sisi lain, ada kewajiban GAM untuk menyempurnakan UU PA sebagaimana amanah MoU Helsinki dan juga aspirasi masyarakat Aceh.
Demokrasi GAM
Pasca-MoU Helsinki, GAM sudah menyatakan mengubah pola perjuangan; dari gerakan bersenjata ke gerakan politik. Pilkada dan partai lokal merupakan corong bagi mereka sebagai “medan perang” baru.
Upaya ke arah itu terlihat jelas dalam Duek Pakat Bansa Aceh Ban Sigom Donja, 20-21 Mei 2006 di Gedung Dayan Dawood, di mana GAM sudah berjalan jauh dengan mengadakan konvensi mencalonkan kader-kadernya bertarung dalam Pilkada 2006 di Aceh. Tgk Nashiruddin bin Ahmed-Muhammad Nazar secara mengejutkan mengungguli calon-calon yang lain seperti pasangan Tgk Hasbi Abdullah-Humam Hamid, yang dijagokan oleh elite GAM.
Aroma ketidakharmonisan pun lalu tercium. Bahwa dalam penentuan kandidat untuk bertarung dalam pilkada, GAM tak kompak. Media juga terlanjur menulis, ada gesekan antara kelompok tua dan kalangan muda. Kelompok tua menginginkan Hasbi-Humam yang maju, sementara kalangan muda lebih tertarik kepada pasangan Tgk Nashiruddin-Nazar.
Namun secara mengejutkan, Tgk Nashiruddin bin Ahmed yang terpilih dalam konvensi itu membuat keputusan mendadak, menyatakan mundur dari calon gubernur. Lalu untuk meredam isu perpecahan yang kian gencar, GAM menyatakan tidak ikut Pilkada 2006 dan akan fokus mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2009 dengan membentuk partai lokal.
Meski ada pernyataan seperti itu, godaan politik untuk GAM timbul dalam warna baru. Tgk Hasbi digandeng oleh PPP untuk disandingkan dengan Humam Hamid, kader yang diusung partai ini sebagai calon gubernur. Tgk Hasbi dipinang sebagai calon wakil gubernur. Keputusan ini tentu saja sebuah ironi, karena sebelumnya posisi Tgk Hasbi adalah calon gubernur.
Isu perpecahan di tubuh GAM kemudian bukannya mereda, malah semakin melebar. Apalagi, hadir sosok Irwandi Yusuf sebagai kandidat gubernur yang didampingi Muhammad Nazar, sebagai wakil-nya. Mayoritas Ketua KPA menghendaki adanya reformasi di tubuh GAM dan menyatakan dukungan terhadap pasangan ini.
Majunya pasangan ini juga tak terlepas dari keinginan menjaga marwah perjuangan GAM yang tidak boleh lagi menuntut merdeka. Bahwa GAM masih memiliki pegangan ideologis. Apalagi, secara terang-terangan muncul pernyataan dari arus bawah, bahwa kita berjuang puluhan tahun bukan untuk melegitimasi dan mendukung PPP.
Argumentasi yang diajukan kelompok ini adalah jika GAM mendukung kandidat yang diusung oleh partai politik sama saja GAM membunuh benih-benih pembentukan partai lokal. GAM dianggap memperkuat posisi partai politik yang ada, bukan melawannya lewat pembentukan partai lokal.
Selain itu, dalam perundingan Helsinki juga GAM sudah jelas-jelas meminta adanya peluang bagi rakyat Aceh membentuk partai lokal. GAM bahkan menolak tawaran pemerintah yang meminta GAM menggunakan partai politik nasional sebagai kendaraan untuk menduduki posisi gubernur. Alasan yang diajukan oleh pihak GAM saat itu adalah bahwa GAM berjuang bukan hanya untuk GAM saja.
Nasib UU PA
Terlepas dari permasalahan politik di atas, sebenarnya ada persoalan besar yang mesti diselesaikan secara cepat yaitu penyempurnaan UU PA. Sejauh ini UU PA masih menyisakan banyak masalah, karena banyak point di dalam UU PA yang tidak sejalan dengan MoU Helsinki.
Tentu ini masalah yang serius. Apalagi, kalangan sipil di Aceh dalam aksi massa tanggal 15 Agustus silam secara tegas menyatakan menolak UU PA versi pemerintah, dan meminta pemerintah menyempurnakan UU tersebut. Suara tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tentu saja masyarakat Aceh menjadi bingung dengan kondisi yang ada. Di satu sisi, bingung dalam menentukan pilihan terhadap calon gubernur karena tak bisa lagi membedakan calon mana yang sebenarnya didukung oleh GAM, Humam-Hasbi atau Irwandi-Nazar?
Di sisi lain, masalah penyempurnaan UU PA juga penting karena menyangkut nasib Aceh di masa mendatang. Lewat UU PA itulah, penyelesaian Aceh akibat konflik dan tsunami menjadi tolak ukurnya. Jika sampai UU PA itu justru memangkas kewenangan Aceh bakal menuai perlawanan lebih besar lagi. Apalagi, rakyat Aceh tetap menghendaki UU PA sesuai dengan MoU Helsinki. Mudah-mudahan kita tidak sedang menulis ulang lembaran konflik.
Note: Tulisan ini sudah dimuat di harian Serambi Indonesia, Rabu 2 November 2006
Perkembangan itu dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang sedang berjalan di Aceh. Meski banyak pihak terlanjur percaya, telah terjadi keretakan di tubuh GAM. Jika demikian adanya politik di internal GAM, bagaimana dengan nasib UU PA sendiri, di mana sejauh ini UU PA tersebut masih dipersoalkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat sipil Aceh?
Hal ini sepertinya menarik untuk disimak; karena di satu sisi GAM sudah terjun ke politik praktis, yang langsung bersinggungan dengan kekuasaan, sementara di sisi lain, ada kewajiban GAM untuk menyempurnakan UU PA sebagaimana amanah MoU Helsinki dan juga aspirasi masyarakat Aceh.
Demokrasi GAM
Pasca-MoU Helsinki, GAM sudah menyatakan mengubah pola perjuangan; dari gerakan bersenjata ke gerakan politik. Pilkada dan partai lokal merupakan corong bagi mereka sebagai “medan perang” baru.
Upaya ke arah itu terlihat jelas dalam Duek Pakat Bansa Aceh Ban Sigom Donja, 20-21 Mei 2006 di Gedung Dayan Dawood, di mana GAM sudah berjalan jauh dengan mengadakan konvensi mencalonkan kader-kadernya bertarung dalam Pilkada 2006 di Aceh. Tgk Nashiruddin bin Ahmed-Muhammad Nazar secara mengejutkan mengungguli calon-calon yang lain seperti pasangan Tgk Hasbi Abdullah-Humam Hamid, yang dijagokan oleh elite GAM.
Aroma ketidakharmonisan pun lalu tercium. Bahwa dalam penentuan kandidat untuk bertarung dalam pilkada, GAM tak kompak. Media juga terlanjur menulis, ada gesekan antara kelompok tua dan kalangan muda. Kelompok tua menginginkan Hasbi-Humam yang maju, sementara kalangan muda lebih tertarik kepada pasangan Tgk Nashiruddin-Nazar.
Namun secara mengejutkan, Tgk Nashiruddin bin Ahmed yang terpilih dalam konvensi itu membuat keputusan mendadak, menyatakan mundur dari calon gubernur. Lalu untuk meredam isu perpecahan yang kian gencar, GAM menyatakan tidak ikut Pilkada 2006 dan akan fokus mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2009 dengan membentuk partai lokal.
Meski ada pernyataan seperti itu, godaan politik untuk GAM timbul dalam warna baru. Tgk Hasbi digandeng oleh PPP untuk disandingkan dengan Humam Hamid, kader yang diusung partai ini sebagai calon gubernur. Tgk Hasbi dipinang sebagai calon wakil gubernur. Keputusan ini tentu saja sebuah ironi, karena sebelumnya posisi Tgk Hasbi adalah calon gubernur.
Isu perpecahan di tubuh GAM kemudian bukannya mereda, malah semakin melebar. Apalagi, hadir sosok Irwandi Yusuf sebagai kandidat gubernur yang didampingi Muhammad Nazar, sebagai wakil-nya. Mayoritas Ketua KPA menghendaki adanya reformasi di tubuh GAM dan menyatakan dukungan terhadap pasangan ini.
Majunya pasangan ini juga tak terlepas dari keinginan menjaga marwah perjuangan GAM yang tidak boleh lagi menuntut merdeka. Bahwa GAM masih memiliki pegangan ideologis. Apalagi, secara terang-terangan muncul pernyataan dari arus bawah, bahwa kita berjuang puluhan tahun bukan untuk melegitimasi dan mendukung PPP.
Argumentasi yang diajukan kelompok ini adalah jika GAM mendukung kandidat yang diusung oleh partai politik sama saja GAM membunuh benih-benih pembentukan partai lokal. GAM dianggap memperkuat posisi partai politik yang ada, bukan melawannya lewat pembentukan partai lokal.
Selain itu, dalam perundingan Helsinki juga GAM sudah jelas-jelas meminta adanya peluang bagi rakyat Aceh membentuk partai lokal. GAM bahkan menolak tawaran pemerintah yang meminta GAM menggunakan partai politik nasional sebagai kendaraan untuk menduduki posisi gubernur. Alasan yang diajukan oleh pihak GAM saat itu adalah bahwa GAM berjuang bukan hanya untuk GAM saja.
Nasib UU PA
Terlepas dari permasalahan politik di atas, sebenarnya ada persoalan besar yang mesti diselesaikan secara cepat yaitu penyempurnaan UU PA. Sejauh ini UU PA masih menyisakan banyak masalah, karena banyak point di dalam UU PA yang tidak sejalan dengan MoU Helsinki.
Tentu ini masalah yang serius. Apalagi, kalangan sipil di Aceh dalam aksi massa tanggal 15 Agustus silam secara tegas menyatakan menolak UU PA versi pemerintah, dan meminta pemerintah menyempurnakan UU tersebut. Suara tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Tentu saja masyarakat Aceh menjadi bingung dengan kondisi yang ada. Di satu sisi, bingung dalam menentukan pilihan terhadap calon gubernur karena tak bisa lagi membedakan calon mana yang sebenarnya didukung oleh GAM, Humam-Hasbi atau Irwandi-Nazar?
Di sisi lain, masalah penyempurnaan UU PA juga penting karena menyangkut nasib Aceh di masa mendatang. Lewat UU PA itulah, penyelesaian Aceh akibat konflik dan tsunami menjadi tolak ukurnya. Jika sampai UU PA itu justru memangkas kewenangan Aceh bakal menuai perlawanan lebih besar lagi. Apalagi, rakyat Aceh tetap menghendaki UU PA sesuai dengan MoU Helsinki. Mudah-mudahan kita tidak sedang menulis ulang lembaran konflik.
Note: Tulisan ini sudah dimuat di harian Serambi Indonesia, Rabu 2 November 2006
Tags:
Artikel