Gus Dur dan Rasionalitas Politik Kita

Dua buah iklan yang dipasang di Hr Kompas (2, 4 dan 10 Mei 2004) cukup menarik disimak. Pada iklan pertama, Gus Dur digambarkan sebagai pejuang bagi rakyat yang tertindas dan dizalimi, tapi kini Gus Dur yang dizalimi oleh KPU. Sementara dalam iklan kedua, lebih menusuk lagi dan tegas, dengan mempertanyakan mengapa orang yang cacat fisik tidak diterima menjadi capres sementara yang cacat moral justru bebas mencalonkan diri. Semua yang membaca iklan ini pasti setuju dengan argumentasi tersebut.

Belakangan ini, rasionalitas politik kita memang sedang diuji dengan hal-hal seperti itu. Kita sedang dihadapkan pada dua pilihan: memilih orang yang cacat fisik tapi sehat moral atau memilih orang cacat moral namun sehat fisik. Publik kita tentu menginginkan figur yang sempurna: fisiknya sehat dan moralnya juga baik. Namun, walaupun begitu Gus Dur tetap tidak kehilangan haknya untuk dipilih dalam pemilu nanti. Sangat tidak etis ada diskriminasi seperti aturan yang dibuat oleh KPU.

Keinginan Gus Dur maju kembali dalam Pilres 2004, seperti hendak menyadarkan publik pemilih: mau dipimpin oleh orang yang cacat moral atau mau dipimpin oleh yang cacat fisik tapi punya komitmen moral? Ini merupakan pendidikan politik yang sangat penting untuk dilakukan. Dan Gus Dur telah memulainya. Jika dalam pemilihan legislatif kemarin, pihak LSM berkampanye tidak memilih politisi busuk, maka dalam pemilu presiden gaungnya menjadi lain dan ini sudah dilakukan Gus Dur lewat beberapa iklannya di Kompas. Ada kesamaan nada dengan yang pernah dilakukan oleh kalangan LSM.

Tulisan ini akan melihat hubungan antara kampanye Gus Dur tersebut dengan upaya penjegalan dirinya untuk menjadi salah satu capres yang lolos verifikasi KPU. Melihat sejarah perjalanan Gus Dur yang selalu mampu mengatasi berbagai rintangan yang menghalanginnya, kita sangat yakin Gus Dur juga mampu keluar dari hambatan-hambatan yang dipasang untuk menghalangi praksis politiknya. Bukan tidak mungkin ada banyak kejutan yang bakal muncul lagi menjelang pemilihan atau pasca pemilihan presiden.

***
Bukan kali ini saja, Gus Dur membuat panggung politik Indonesia ramai. Dalam perjalanan sejarahnya sebagai Ketua PBNU, sosok Gus Dur menyimpan banyak kisah dan cerita. Perjalanan karirnya cucu pendiri NU ini menarik untuk ditelaah. Sikapnya yang selalu oposan dan mengeritik penguasa, membuat dia sangat dimusuhi oleh Soeharto, presiden yang sangat berkuasa waktu itu. Ketidaksenangan penguasa terhadapnya, terlihat dari beberapa kali konspirasi untuk menjegal terpilihnya kembali sebagai ketua PBNU.

Dalam muktamar NU ke-28 di Jogjakarta Tahun 1989, misalnya, mempertegas garis permusuhannya dengan penguasa secara frontal. Muktamar itu merupakan awal bagi Gus Dur vis a vis dengan Soeharto (penguasa). Soeharto yang mulai gerah dengan berbagai sepak terjang yang dilakukan Gus Dur, melakukan manuver-manuver dan konspirasi agar Gus Dur tidak terpilih lagi sebagai ketua PBNU. Hasilnya, diluar dugaan, Gus Dur menjadi calon tunggal dan terpilih secara telak.

Terpilihnya Gus Dur, membuka front yang lebih frontal lagi dengan Soeharto. Bahkan, Gus Dur menyebut Soeharto sebagai orang bodoh dalam buku A Nation in Waiting karya Adam Schwarz, jurnalis asal Australia. Schwarz menulis,“Presiden Soeharto mengabaikan pendapat Abdurrahman Wahid adalah karena kebodohannya dan karena ketidakinginan presiden akan adanya orang yang berada di luar kendalinya tumbuh menjadi kuat." (Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, dalam biografi hal 22, Grasindo, 1999).

Sikap kritis Gus Dur ini, membuat Soeharto menggarap secara serius penjegalannya menjadi ketua PBNU dalam muktamar Cipasung tahun 1994. Ternyata Gus Dur bermain cukup cantik dengan mengatakan dirinya tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai ketua PBNU. Melihat permainan Soehar to yang cukup kencang dan serius, Gus Dur membuat keputusan mendadak menjelang tiga bulan akan berlangsungnya muktamar Cipasung. Lagi-lagi, dalam muktamar ini Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU.

Tahun 1999 lalu, Gus Dur juga membuat kejutan. Padahal, dalam berbagai pernyataan di media Gus Dur selalu mengatakan mendukung Megawati menjadi presiden. Namun, berkat strategi yang dibangun partai-partai berbasis Islam yang dikomandoi Amien Rais, Gus Dur menjadi presiden kejutan MPR. Gus Dur, saat itu dibutuhkan karena dianggap punya karisme untuk menjadi lawan kuat Megawati. Semua pihak membutuhkan Gus Dur untuk meloloskan kepentingan politik beberapa politisi di Parlemen.

Pemilu 2004, suasananya sangat jauh berbeda. Gus Dur terganjal syarat kesehatan calon presiden yang dikeluarkan KPU. Namun begitu, Gus Dur tetaplah seorang politisi ulung yang sulit ditebak arah permainannya. Gus Dur masih mampu memainkan irama politik berjalan sesuai seleranya. Boleh dikatakan, pemilu presiden langsung ini sebagai panggungnya praksis jurus maut Gus Dur. Setiap hari, pernyataannya menarik untuk dikutip oleh media. Beragam persoalan dikomentari dan diminta komentar darinya.

Koalisi partai politik bahkan sangat ditentukan oleh keberadaan dirinya. Seolah-olah seorang Gus Dur bisa menentukan, koalisi bagaimana yang diinginkannya. Semua tergantung pada ‘permainan’ Gus Dur. Memang, beralasan mengatakan sosok Gus Dur adalah pribadi yang penuh warna, sering disalah-pahami bahkan sosok ajaib.

Sikap PKB yang tetap mencalonkan Gus Dur sebagai calon presiden pasca keputusan final MA yang tidak bisa melakukan judicial review atas UU Pilpres tidak menjadi problem bagi Gus Dur. Semua pihak berharap pasca keputusan MA itu, niat Gus Dur untuk maju sebagai salah satu kandidat capres dibatalkan. Bukan tidak punya alasan, berbagai pihak sangat mengharapkan, Gus Dur bisa menunjuk seorang calon yang dia dukung dari PKB, apakah sebagai wapres atau capres, sehingga peta politik menjadi lebih jelas. Tetapi permainan Gus Dur belum berakhir sampai di sini. Tidak ada yang bisa memprediksikan bagaimana sebenarnya ‘ending’ yang diinginkan Gus Dur dari pemilihan presiden ini.

***
Berpolitik, jika melihat sepak terjang Gus Dur adalah persoalan sepele dan gampang. Tidak terlalu pusing dan ruwet. Berpolitik bagi Gus Dur mungkin seni beradu taktik dan triks. Dan ini yang hendak dia perlihatkan kepada publik melalui berbagai manuver yang dilakukannya. Apapun yang dikatakan orang kepadanya, Gus Dur hanya menjawab singkat: liat aja nanti siapa yang akan benar dalam sejarah. Tidak diragukan, memang banyak hal yang dilakukan Gus Dur, terbukti dikemudian hari. Semakin hari, Gus Dur semakin memperlihatkan seorang negarawan yang hebat.

Saya termasuk orang yang paling membenci Gus Dur sebelumnya. Kebencian saya, pertama karena sikap Gus Dur yang menyatakan orang yang meminta Referendum di Aceh cuma 500 orang. Semua orang Aceh marah. Gus Dur ditolak oleh mahasiswa Aceh ketika berkunjung dan ingin berdialog dengan mahasiswa. Di tambah lagi, sikap hipokrisi Gus Dur yang menjanjikan referendum 7 bulan lagi pasca Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh. Ternyata masa itu digunakan Gus Dur untuk melakukan berbagai triks agar rakyat Aceh tidak meminta referendum. Pada masa itu juga banyak terjadi pelanggaran HAM dan membuat Aceh kembali mencekam.

Komitmennya terhadap demokrasi dan ajaran tanpa kekerasan Mahatma Gandhi, membuktikan kalau Gus Dur seorang demokrat. Negosiasi dengan GAM, padahal sebelumnya sangat tabu, bisa berlangsung ketika Gus Dur berkuasa. Upaya pencarian solusi dengan jalan damai dirintis pada masa kepemimpinan Gus Dur. Berhasilnya penandatangan CoHA tidak bisa dilepaskan dari usaha yang pertama dirintis Gus Dur. Gus pula yang pertama membuka kebekuan hubungan antara pemerintah RI dan GAM.

Gus Dur seperti katanya sendiri sedang dizalimi. Padahal, dia sedang ingin berbuat baik untuk kemaslahatan rakyat. Persyaratan Capres yang dibuat KPU, sangat menyulitkan Gus Dur untuk bisa lolos menjadi salah satu kandidat yang memperebutkan kursi presiden yang dulu pernah didudukinya. Tetapi, melihat perjalanan hidup Gus Dur yang penuh liku, sulit untuk meramalkan bagaimana ending dari permainan Gus Dur dalam pemilihan Presiden? Tetapi bukankah sejarah negeri ini selalu mencatat, bahwa Gus Dur selalu bisa menyingkirkan segala onak duri yang menghalangi jalannya? Bukankah politik penuh kejutan-kejutan?

Jawaban ini terjawab sudah ketika Gus Dur tereliminasi dan tidak bias ikut dalam pemilu putaran pertama karena terganjal syarat kesehatan. Di mana kemudian dia menggugat KPU 1 triliun. Dan menyatakan dirinya golput. Tetapi tetap bermain manuver sampai pada akhirnya mendukung Adiknya Solahuddin Wahid yang berpasangan dengan Wiranto walau kemudian harus mengakui keunggulan Mega-hasyim dan SBY-JK.

Kini, dalam pemilu putaran kedua, sulit menebak Gus Dur mendukung siapa, walau anaknya—yenny—dititip kepada SBY. Tetapi arahnya memang dia cenderung mendukung SBY-Jk. Tetapi siapa yang bisa menebak langkah Gus Dur, apalagi nampaknya dia sedang menguji keampuhan strategi melawan Akbar Tanjung yang menggalang koalisi kebangsaan untuk mendukung Mega-Hasyim. Seolah-olah keduanya ingin bersaing menjadi manusia unggul walaupun bukan pemain utama (baca: calon presiden) dalam pemilu presiden 2004. Nah, siapakah manusia unggul sebenarnya: Gus Dur atau Akbar Tanjung? Layak ditunggu!

Post a Comment

Previous Post Next Post