Saya termasuk orang yang tidak percaya pada faktor kebetulan sejarah. Karena itu, segala sesuatu yang memiliki hubungan historis dalam perjalanan sejarah Aceh saya dalami dan coba mencari korelasinya dengan kondisi sekarang. Seperti misalnya, mengapa mesti tanggal 26 Maret pemerintah menetapkan tenggat waktu keberadaan tentara dan relawan asing di Aceh? Kenapa tidak pada tanggal yang lain? Bukan faktor kebetulan pemerintah memberi batas waktu untuk tentara asing meninggalkan dan mengakhiri bantuan kemanusiaan untuk Aceh pada 26 Maret ini. Bukan sekedar karena tanggal itu merupakan tiga bulan peristiwa gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Bukan pula batas darurat kemanusiaan yang ditetapkan pemerintah untuk membantu korban tsunami. Semuanya bukan faktor kebetulan.
Hal yang meyakinkan saya bahwa itu bukan kebetulan adalah sebuah contoh yang dekat dengan kita. Kebijakan pemerintah mengirim para tahanan politik Aceh ke pulau Jawa atau luar Aceh. Di mana kebijakan serupa pernah dilakukan Belanda ketika membuang para tahanan Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan lain-lain. Alasan yang digunakan pemerintah ketika membuang tahanan politik GAM tersebut untuk memutuskan penyebaran ideologi politik GAM kepada masyarakat. Alasan ini pernah digunakan Belanda ketika membuang para pejuang Aceh sebagai untuk memutuskan daya juang dan militansi rakyat.
Bukan itu saja, pejuang Aceh yang dibuang ke luar Aceh diperlakukan sangat kasar, seperti mengikat dan merantai tangan mereka untuk menciptakan ketakutan dan melemahkan mental pejuang Aceh. Hal serupa ini rupanya diadopsi pula oleh pemerintah Indonesia, ketika membuang para tahanan politik GAM. Para tahanan ini dirantai tangannya, dan diperlakukan seperti binatang.
Di sinilah kemudian saya menarik sebuah benang merah, pemberian tenggat waktu sampai tanggal 26 Maret kepada relawan dan tentara asing untuk meninggalkan Aceh banyak nuansa politisnya. Jangan-jangan menjadi benarlah dugaan sebagian rakyat Aceh, pemerintah Indonesia tidak lebih adalah perpanjangan tangan kolonialis Belanda terhadap bangsa Aceh. Dugaan ini sudah menjadi wacana umum di Aceh, seperti misalnya sebutan NKRI sebagai kepanjangan dari Neo-Kolonialis Republik Indonesia, yang sering digunakan organisasi perjuangan rakyat Aceh semacam SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).
Persyarikatan Rakyat Aceh
Dalam sejarah Aceh, tanggal 26 Maret memiliki makna khusus bagi rakyat Aceh. Tanggal itu masih dikenang sampai sekarang. Setidaknya, bagi gerakan perlawanan rakyat Aceh seperti Persyarikatan Rakyat Aceh (PRA), yang beberapa tahun lalu serius melakukan aksi di kedutaan Belanda untuk menuntut pencabutan maklumat perang Belanda atas kerajaan Aceh.
Argumentasi yang mereka ajukan adalah, selama maklumat itu belum dicabut, berarti perang antara Aceh dan Belanda sampai sekarang masih berlangsung. Artinya, klaim Aceh bagian dari negara Indonesia sama sekali keliru. Karena itu mereka serius menuntut pencabutan maklumat itu dan pemulihan kedaulatan Aceh.
Seperti diketahui, Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Hindia Belanda, memaklumkan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh di atas sebuah kapal perang, Cidatel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873. Pada hari itu juga, serdadu Belanda mendarat di sekitar Ulee Lheue.
Pernyataan perang itu dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, dan tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat Malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat tersebut dan melakukan sabotase atas kapal dagang Belanda. Selain itu, kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki serta dengan beberapa negara lainnya seperti Perancis, Italia, dan Amerika.
Pernyataan itu direspon cukup keras oleh negara Aceh. Dalam sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh, maklumat perang Belanda itu dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe bek ka teumeung raba” (Jangankan merebut negeri, ayam yang tanpa gigi pun tak mampu kamu sentuh). Dan kemudian dibuktikan dengan kegigihan pejuang Aceh mempertahankan tanah Aceh dari penjajah kaphe Belanda.
Implikasi dari Maklumat perang itu, menyebabkan sekitar 70.000 lebih korban di pihak pejuang Aceh, sementara di pihak Belanda jatuh korban sekitar 35.000 jiwa dan menderita kerugian material yang cukup besar. Perang Aceh ini, oleh Belanda dianggap sebagai perang yang melelahkan dan mengakibatkan kerugian besar di pihak Belanda.
Bahkan seorang Jenderal Belanda, Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam perang di Masjid Raya Baiturrahman. Kematian itu menyebabkan keruntuhan mental para serdadu Belanda. Dan di tempat meninggalnya Kohler di halaman Masjid Raya sudah dibuat monumen untuk menjadi peringatan kepada Belanda. Malah dalam satu riwayat, di monumen tersebut dibuat gambar ular yang menggigit ekornya sendiri sebagai sindiran kepada generasi Belanda untuk tidak membuat kesalahan yang sama.
Tak jelas apa maksudnya, tapi sepertinya punya pesan khusus, sebagaimana berkembang di Aceh sepanjang tahun 1999-2000, di mana muncul tuntutan kepada pihak Belanda untuk mencabut maklumat perang 26 Maret tersebut. Karena sejak maklumat perang tersebut dimaklumkan, sampai Belanda keluar dari Aceh pada tahun 1942, maklumat itu tidak pernah dicabut Belanda.
Duka 136 tahun silam
Bagi rakyat Aceh, tanggal 26 Maret mempunyai makna yang dalam. Tanggal itulah puncak dari segala prahara dan bencana di bumi Acheh. Sampai sekarang ekses dari maklumat perang itu masih terasa. Sepertinya, tanggal itu menegaskan garis panjang pergolakan Aceh. Wajar, setiap tanggal itu selalu diperingati oleh rakyat Aceh sebagai awal mula kehilangan kemerdekaan Aceh.
Kenangan peristiwa 26 Maret itu teringat kembali ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan memberikan tenggat waktu sampai 26 Maret kepada para relawan dan tentara asing yang berada di Aceh untuk meninggalkan tanah Serambi Mekkah. Kebijakan itu kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan di media. Malah ada yang menyebutkan, pemerintah tidak tahu berterimakasih.
Ada juga yang bilang, kebijakan itu untuk menutupi kelemahan pemerintah dan menutupi kebusukan kinerja pemerintah dalam proses rekontruksi Aceh. Karena sebagaimana umumnya, setiap ada proyek yang melibatkan biaya yang besar, selalu diikuti dengan penyelewengan dan korupsi. Sementara jika tentara dan relawan asing masih bertahan di Aceh, perbuatan itu akan menjadi sorotan.
Tapi sebenarnya, “pengusiran” tentara asing ini hampir sama dengan kejadian 130 tahun yang lalu ketika pemerintah Belanda menyerang Aceh. Di mana pemerintah Belanda mengultimatum negara asing untuk tidak ikut campur dalam masalah Aceh. Atas alasan ini pula menjadi salah satu alasan Belanda menyerang Aceh karena masih berhubungan dengan beberapa negara seperti telah disebutkan di atas.
Hal itu sekarang yang berlangsung di Aceh. Di mana keberadaan asing di Aceh sangat mengganggu “kinerja” pemerintah, apalagi disinyalir keberadaan mereka membawa kepentingan lain di luar isu kemanusiaan. Padahal, keberadaan tentara asing sangat diterima oleh masyarakat Aceh. Malah, seorang pengamat politik menulis di sebuah media nasional bahwa yang dimaksud ‘asing’ oleh rakyat Aceh sebenarnya bukanlah asing yang selama ini dipahami, melainkan yang disebut asing sebenarnya adalah pemerintah sendiri.
Karena itulah kemudian, pemberian batas waktu sampai 26 Maret kepada tentara dan relawan asing untuk meninggalkan Aceh, lebih sebagai bentuk pengulangan sejarah kelam yang pernah dibuat oleh Belanda. Seperti kita tahu, pasca-26 Maret 1873 sampai sekarang kondisi Aceh terus memburuk.
Jika kemudian, pasca-26 Maret ini semua relawan dan tentara asing harus meninggalkan Aceh, sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan dan kapasitas membangun Aceh berarti pintu kedukaan Aceh sudah dibuka lagi. Kebijakan yang diambil ini akan berdampak terhadap perjalanan Aceh selanjutnya seperti kesalahan Belanda memaklumkan perang terhadap kerajaan Aceh 136 tahun silam.
Implikasi politik ini tidak akan hilang dengan sendirinya begitu pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang memperpanjang izin tinggal tentara dan relawan asing di Aceh. Karena sebenarnya tanggal 26 Maret inilah awal semua bencana Aceh dimulai. [A]
*) Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS), peneliti pada HRI Jakarta
sumber: www.acehkita.com [2005-03-25 09:41:15]
Hal yang meyakinkan saya bahwa itu bukan kebetulan adalah sebuah contoh yang dekat dengan kita. Kebijakan pemerintah mengirim para tahanan politik Aceh ke pulau Jawa atau luar Aceh. Di mana kebijakan serupa pernah dilakukan Belanda ketika membuang para tahanan Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan lain-lain. Alasan yang digunakan pemerintah ketika membuang tahanan politik GAM tersebut untuk memutuskan penyebaran ideologi politik GAM kepada masyarakat. Alasan ini pernah digunakan Belanda ketika membuang para pejuang Aceh sebagai untuk memutuskan daya juang dan militansi rakyat.
Bukan itu saja, pejuang Aceh yang dibuang ke luar Aceh diperlakukan sangat kasar, seperti mengikat dan merantai tangan mereka untuk menciptakan ketakutan dan melemahkan mental pejuang Aceh. Hal serupa ini rupanya diadopsi pula oleh pemerintah Indonesia, ketika membuang para tahanan politik GAM. Para tahanan ini dirantai tangannya, dan diperlakukan seperti binatang.
Di sinilah kemudian saya menarik sebuah benang merah, pemberian tenggat waktu sampai tanggal 26 Maret kepada relawan dan tentara asing untuk meninggalkan Aceh banyak nuansa politisnya. Jangan-jangan menjadi benarlah dugaan sebagian rakyat Aceh, pemerintah Indonesia tidak lebih adalah perpanjangan tangan kolonialis Belanda terhadap bangsa Aceh. Dugaan ini sudah menjadi wacana umum di Aceh, seperti misalnya sebutan NKRI sebagai kepanjangan dari Neo-Kolonialis Republik Indonesia, yang sering digunakan organisasi perjuangan rakyat Aceh semacam SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).
Persyarikatan Rakyat Aceh
Dalam sejarah Aceh, tanggal 26 Maret memiliki makna khusus bagi rakyat Aceh. Tanggal itu masih dikenang sampai sekarang. Setidaknya, bagi gerakan perlawanan rakyat Aceh seperti Persyarikatan Rakyat Aceh (PRA), yang beberapa tahun lalu serius melakukan aksi di kedutaan Belanda untuk menuntut pencabutan maklumat perang Belanda atas kerajaan Aceh.
Argumentasi yang mereka ajukan adalah, selama maklumat itu belum dicabut, berarti perang antara Aceh dan Belanda sampai sekarang masih berlangsung. Artinya, klaim Aceh bagian dari negara Indonesia sama sekali keliru. Karena itu mereka serius menuntut pencabutan maklumat itu dan pemulihan kedaulatan Aceh.
Seperti diketahui, Kerajaan Belanda melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris Gubernemen Hindia Belanda, memaklumkan pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh di atas sebuah kapal perang, Cidatel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873. Pada hari itu juga, serdadu Belanda mendarat di sekitar Ulee Lheue.
Pernyataan perang itu dikeluarkan karena kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Belanda, dan tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol selat Malaka. Belanda bahkan menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di selat tersebut dan melakukan sabotase atas kapal dagang Belanda. Selain itu, kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki serta dengan beberapa negara lainnya seperti Perancis, Italia, dan Amerika.
Pernyataan itu direspon cukup keras oleh negara Aceh. Dalam sebuah riwayat yang beredar di dalam masyarakat Aceh, maklumat perang Belanda itu dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe bek ka teumeung raba” (Jangankan merebut negeri, ayam yang tanpa gigi pun tak mampu kamu sentuh). Dan kemudian dibuktikan dengan kegigihan pejuang Aceh mempertahankan tanah Aceh dari penjajah kaphe Belanda.
Implikasi dari Maklumat perang itu, menyebabkan sekitar 70.000 lebih korban di pihak pejuang Aceh, sementara di pihak Belanda jatuh korban sekitar 35.000 jiwa dan menderita kerugian material yang cukup besar. Perang Aceh ini, oleh Belanda dianggap sebagai perang yang melelahkan dan mengakibatkan kerugian besar di pihak Belanda.
Bahkan seorang Jenderal Belanda, Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam perang di Masjid Raya Baiturrahman. Kematian itu menyebabkan keruntuhan mental para serdadu Belanda. Dan di tempat meninggalnya Kohler di halaman Masjid Raya sudah dibuat monumen untuk menjadi peringatan kepada Belanda. Malah dalam satu riwayat, di monumen tersebut dibuat gambar ular yang menggigit ekornya sendiri sebagai sindiran kepada generasi Belanda untuk tidak membuat kesalahan yang sama.
Tak jelas apa maksudnya, tapi sepertinya punya pesan khusus, sebagaimana berkembang di Aceh sepanjang tahun 1999-2000, di mana muncul tuntutan kepada pihak Belanda untuk mencabut maklumat perang 26 Maret tersebut. Karena sejak maklumat perang tersebut dimaklumkan, sampai Belanda keluar dari Aceh pada tahun 1942, maklumat itu tidak pernah dicabut Belanda.
Duka 136 tahun silam
Bagi rakyat Aceh, tanggal 26 Maret mempunyai makna yang dalam. Tanggal itulah puncak dari segala prahara dan bencana di bumi Acheh. Sampai sekarang ekses dari maklumat perang itu masih terasa. Sepertinya, tanggal itu menegaskan garis panjang pergolakan Aceh. Wajar, setiap tanggal itu selalu diperingati oleh rakyat Aceh sebagai awal mula kehilangan kemerdekaan Aceh.
Kenangan peristiwa 26 Maret itu teringat kembali ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan memberikan tenggat waktu sampai 26 Maret kepada para relawan dan tentara asing yang berada di Aceh untuk meninggalkan tanah Serambi Mekkah. Kebijakan itu kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan di media. Malah ada yang menyebutkan, pemerintah tidak tahu berterimakasih.
Ada juga yang bilang, kebijakan itu untuk menutupi kelemahan pemerintah dan menutupi kebusukan kinerja pemerintah dalam proses rekontruksi Aceh. Karena sebagaimana umumnya, setiap ada proyek yang melibatkan biaya yang besar, selalu diikuti dengan penyelewengan dan korupsi. Sementara jika tentara dan relawan asing masih bertahan di Aceh, perbuatan itu akan menjadi sorotan.
Tapi sebenarnya, “pengusiran” tentara asing ini hampir sama dengan kejadian 130 tahun yang lalu ketika pemerintah Belanda menyerang Aceh. Di mana pemerintah Belanda mengultimatum negara asing untuk tidak ikut campur dalam masalah Aceh. Atas alasan ini pula menjadi salah satu alasan Belanda menyerang Aceh karena masih berhubungan dengan beberapa negara seperti telah disebutkan di atas.
Hal itu sekarang yang berlangsung di Aceh. Di mana keberadaan asing di Aceh sangat mengganggu “kinerja” pemerintah, apalagi disinyalir keberadaan mereka membawa kepentingan lain di luar isu kemanusiaan. Padahal, keberadaan tentara asing sangat diterima oleh masyarakat Aceh. Malah, seorang pengamat politik menulis di sebuah media nasional bahwa yang dimaksud ‘asing’ oleh rakyat Aceh sebenarnya bukanlah asing yang selama ini dipahami, melainkan yang disebut asing sebenarnya adalah pemerintah sendiri.
Karena itulah kemudian, pemberian batas waktu sampai 26 Maret kepada tentara dan relawan asing untuk meninggalkan Aceh, lebih sebagai bentuk pengulangan sejarah kelam yang pernah dibuat oleh Belanda. Seperti kita tahu, pasca-26 Maret 1873 sampai sekarang kondisi Aceh terus memburuk.
Jika kemudian, pasca-26 Maret ini semua relawan dan tentara asing harus meninggalkan Aceh, sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan dan kapasitas membangun Aceh berarti pintu kedukaan Aceh sudah dibuka lagi. Kebijakan yang diambil ini akan berdampak terhadap perjalanan Aceh selanjutnya seperti kesalahan Belanda memaklumkan perang terhadap kerajaan Aceh 136 tahun silam.
Implikasi politik ini tidak akan hilang dengan sendirinya begitu pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang memperpanjang izin tinggal tentara dan relawan asing di Aceh. Karena sebenarnya tanggal 26 Maret inilah awal semua bencana Aceh dimulai. [A]
*) Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS), peneliti pada HRI Jakarta
sumber: www.acehkita.com [2005-03-25 09:41:15]
Tags:
Artikel